sebuah obrolan sendu

17 9 1
                                    

kamu membawaku mengangkasa hingga ke bumantara tertinggi, namun kamu juga membawaku terjerembab hingga ke petala buana terdalam.

⑅ • ⑅

Detik demi detik senantiasa bergulir. Menggelar masa lalu sebagai kenangan dan masa depan laksana angan. Sejarah kian bertambah dan harapan kian menyusut. Yang semula ada menjadi tiada; yang semula hujan berubah badai; yang semula pulih menjadi patah; dan yang semula bahagia berubah kecewa.

Tak ada yang tahu pasti apa yang akan terjadi sebelum segalanya berlalu. Sebab, pada akhirnya yang bisa membuktikan hanyalah waktu. Mungkin saat ini Zia bisa leluasa melepas tawa, bahagia. Mana tahu detik berikutnya dia tidak begitu.

Karena semua usai sesuai reglemennya masing-masing. Mentari boleh jadi terbit setelah hujan, begitu pun sebaliknya. Namun, tak ada salahnya memohon untuk sesuatu yang baik, kan?

Seandainya bisa, Zia berharap waktu berjeda barang sekejap. Lalu dia akan merekam dan mengabadikan semua tanpa ada yang terlewat. Akan tetapi, kenyataannya adalah tidak bisa. Sehingga gadis itu hanya dapat merekam semampu dirinya.

Netra Zia memperhatikan lamat-lamat bola oranye yang berkali-kali melambung masuk. Memicu kedua telapak tangannya beradu sebanyak bola lolos pada jejaring ring, takjub.

This one is easy for me.” Nathan menyunggingkan senyum miring selagi menyudahi permainannya. Membawa gerakan kakinya menjauh dari area street basketball, menyusuri permainan yang lain di sepanjang kawasan Timezone di mal yang mereka kunjungi.

“Semua hal akan terasa mudah jika kita suka dan bisa,” celetuk Zia menanggapi kalimat Nathan. Dia menyeret kakinya mengikuti cowok itu. Tepat melewati arena permainan bowling, Zia berhenti sejenak lantas memanggil Nathan. “Nathan, main itu?”

Nathan memandangi Zia singkat bersama benak yang berpikir. Arah kedua kakinya menghampiri, tanda sepakat dengan ajakan gadis itu.

“Yang gak berhasil jatuhin semua pin harus nerima hukuman,” cetus Zia menyuarakan syarat. Padahal, dia sendiri tak begitu cakap bermain permainan bola besar tersebut. “Gimana, setuju?”

“Siapa takut?” Nathan mendengus percaya diri dilanjutkan dengan mengangkat satu bola. Membidik sasaran lalu menggelindingkannya.

“Kesempatan hanya tiga kali,” peringat Zia melihat bola yang digeleserkan Nathan tak tepat sasaran.

Nathan menunjukkan kedua alisnya menyatu. Dunianya seolah fokus pada sepuluh buan pin bowling di depan sana. Untuk kedua kalinya, bola menggelundung. Namun, hanya seperdua pin yang berhasil jatuh. Cukup lebih baik dari dari sebelumnya. Sekali lagi, bola menggelundung. Sayangnya, tak sepenuhnya pin berhasil jatuh.

Zia sudah menyiapkan senyum kambingnya. Sementara Nathan sekadar menatap bersama wajah datar. Sekarang, kesempatan Zia untuk melakukan bidikan.

Percobaan pertama, cukup baik. Setengah dari seluruh pin habis. Percobaan kedua, sempurna. Semua pin berhasil jatuh. Percobaan terakhir, di luar dugaan! Seluruhnya berhasil.

“Yey! Gue menang!” Zia berseru semangat, sebelah alisnya menukik naik.

“Boleh jadi tadi cuma sebuah keberuntungan,” seloroh Nathan sedikit tidak terima.

“Keberuntungan atau tidak, intinya gue lebih baik hehehe.”

“Tapi, gak semua orang bisa melakukan banyak hal dengan seratus persen baik.”

Yeah, you're right. Ini sekedar permainan belaka, jangan terlalu terbawa suasana. Gue tahu lo cukup bisa banyak hal yang gak gue bisa. Is that pretty awesome, right?”

Pal in Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang