an invitation

16 8 0
                                    

Bel tanda bahwa pembelajaran selesai berdering memenuhi setiap penjuru sekolah sore itu. Tak dikecualikan kelas Zia yang seisinya lekas mengemasi barang-barang milik mereka masing-masing, lalu berdoa sesuai keyakinan, dan terakhir berhamburan keluar kelas.

Guys, gimana kalo weekend aja kita ke Edda Cafe? Gak bakal ketinggalan menu-menu enaknya, kan?” Di depan kelas, Zia dan Aya yang beriringan disambut hangat oleh pertanyaan Bhita.

“Astaga, baru juga keluar kelas.” Aya mengelus dada pura-pura terkejut. “Kata lo besok sore, jadi batal, nih?”

Tadinya tiga sejoli itu memiliki agenda ngafe bareng mencoba menu-menu dari coffee shop baru yang berjalan seminggu terkahir dan berjarak sekitar satu kilo dari dari sekolah.

Bhita mengangguk tak enak hati. “Besok gue ada acara ke rumah grandpa. Gak pa-pa, ya?”

Sepasang kaki dari mereka mulai menjemput langkah, menyusuri koridor menuju gerbang depan sekolah.

“Gue gak masalah,” Zia menyahut santai. Memang, gadis itu tidak merasa keberatan sedikit pun. Lagi pula tidak ada kegiatan khusus di akhir pekan yang akan dilakukan oleh gadis itu.

“Terserah deh. Weekend gue free juga, dan oke! Weekend?” Aya menengok ke samping kanan, di mana kedua temannya beriringan.

Yes!”

Lalu mereka bertiga saling bertos ria, menyepakati. Hitung-hitung melepas penat sebelum memulai pertempuran dengan sejumlah ujian di minggu-minggu selanjutnya. Tentu saja tak akan ada waktu untuk bermain-main lagi.

“Mama gue udah jemput tuh. Duluan!” Aya melanjutkan menyeberang setibanya di gerbang. Sementara Zia dan Bhita melanjutkan menyusuri langkah menuju halte yang tak jauh dari sana.

Take care, Aya!” seru keduanya bersama lambaian tangan.

“Salam buat Tante,” sambung Zia dan diangguki oleh Bhita. Aya menunjukkan gestur 'oke' dengan jari tangannya.

“Bhit, gue mau mampir ke minimarket dulu. Lo duluan aja kalo gitu,” sesampainya di halte, Zia memberitahu. Gadis itu menunjuk dengan kepala pada minimarket yang berdiri di seberang jalan.

“Lo gak pa-pa sendiri?” tanya Bhita meyakinkan. Pasalnya gadis itu merasa cemas dengan kondisi Zia sebab peristiwa malam minggu lalu. Padahal, tanpa Bhita tahu, Zia sempat bertemu kembali dengan sosok itu keesokan harinya.

“Selama gak ada kalian atau kalian gak masuk, emang gue sama siapa lagi?”

Bhita menarik sudut bibir, tertawa sekilas. Semoga kondisi Zia yang menunjukan tidak ada yang salah pada diri gadis itu benar nyata adanya. “Hahaha iya deh. Kalo gitu gue duluan, ya. Hati-hati nanti, Zia.”

“Siap. Lo juga.” Zia tersenyum tulus. Kemudian sepasang kaki yang terbalut sepatu pantofel hitam membawa dirinya melewati zebra cross selagi lampu merah masih menyala, lantas memasuki bangunan kaca sesuai destinasi hati gadis itu.

Huft ... tumben panas banget hari ini. Zia menarik nafas tenang tepat setelah tubuhnya berada dalam bangunan ber-AC tersebut. Tungkainya menyusuri lorong rak pendingin, mencari minuman isotonik.

Sosok jangkung di sebelahnya yang juga menatap penuh animo pada rak pendingin berisi beragam minuman di hadapannya menarik atensi Zia. Tentu gadis itu langsung menyilih kepala, dan dia bisa menemukan sosok berseragam sama yang lebih tinggi tengah berdiri di sampingnya.

Pal in Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang