need a new life

3 2 0
                                    

untuk kedua kalinya kamu pergi, seharusnya aku bisa lebih tenang. tetapi dugaanku salah, kamu seolah masih tinggal dan ripuh mengusik kenangan di hatiku.

⑅ • ⑅

Masa senantiasa melintas. Sejumlah perihal terkadang terbangai dengan sendirinya. Hanya sejumput yang dapat terkenang, yang sialnya malah cenderung menyakitkan.

Seandainya ada alat penghapus ingatan pahit, mungkin Zia akan menjadi salah satu yang memilikinya. Dia benar-benar ingin melenyapkan memori yang seringkali menghantui. Walau tak sampai menganggu kesehariannya, tetap saja terasa keki.

“Duh, kesel banget gue sama cowok ini. Dia gak bisa peka sama sekali. Jangankan ke si cewek, ke perasaannya sendiri aja gak nyadar. Pengen gue bejek-bejek deh!” Aya terdengar mencemooh gemas pemain film series yang tengah ditonton melalui laptop Zia petang ini.

“Kisah friend zone emang pandai mainin emosi. Gak usah buang tenaga lo maki-maki mereka, itu udah jalannya,” timpal Bhita. Percakapan mereka berhasil membuat Zia berhenti menyendokkan sereal yang menjadi camilan malamnya.

Aya menarik napas dalam lalu mengembuskannya kasar. “Bener sih. Udah ah, gue mau keluar dulu.”

“Ke mana?” Zia yang duduk di kursi belajar menghadap ke arah tempat tidur ikut nimbrung bertanya.

“Nyari angin aja. Mungkin beli street food kalo ketemu yang cocok. Nanti gue beliin untuk kita.” Aya menyampirkan jaket hoodie setelah mengecek ponsel sekilas, lantas berlalu dari dalam kamar. Gadis itu cukup keras membanting pintu, sehingga sukses melahirkan kerutan penasaran pada Zia dan Bhita.

I don't know.

Zia juga mengangkat bahu tanda tak tahu. Namun, gadis itu berpikir bahwa Aya mendapat sedikit perkara dengan Niyal. Perlu diketahui, mereka resmi jadian tepat ketika prom night sekolah mereka tempo lalu. Fakta yang cukup mengejutkan memang, karena Zia dan Bhita sendiri baru mengetahui sebulan kemudian. Pandai sekali Aya menyembunyikannya.

Zia turun dari kursi dan menuju wastafel kini guna mencuci mangkuk kotornya secepat mungkin. Lantas single bed menjadi destinasi berikutnya. Jari Zia meng-klik tombol pause, dia tak mengindahkan Bhita yang menatapnya tajam.

“Lo gak nonton, paket internet gue jadi terbuang percuma. Gue belum tahu password WiFi kosan,” kata gadis itu terang-terangan, lalu segera menyimpan laptop di nakas samping tempat tidur. Selepas itu, dia membaringkan tubuhnya seraya menutup wajah dengan sebuah bantal.

“Zia.”

Zia berdeham di balik bantal sebagai sahutan dari panggilan Bhita yang terlentang di ujung ranjang. Gadis itu menyingkirkan benda empuk persegi empat tersebut dari atas wajah, lantas menatap kosong plafon kamar indekos yang tengah ditempatinya hingga beberapa tahun ke depan.

Zia dan dua kawan karibnya resmi lulus SMA dan diterima di universitas impian masing-masing. Zia melanjutkan sekolahnya di provinsi yang sama, hanya saja jauh dari rumah. Jika dalam perjalanan, mungkin membutuhkan waktu lebih dari satu jam. Akhirnya gadis itu meminta untuk menetap. Lantaran Nilam dan Maren merasa sangat khawatir melepaskan anak satu-satunya untuk tinggal sendiri, alhasil, mereka sangat teliti mencarikan tempat tinggal untuk sang anak. Sehingga di ruangan indekos berukuran sedang inilah tempat tinggal Zia.

Sementara, Aya melanjutkan studinya di kota sebelah dan Bhita di salah satu universitas di kota yang memiliki julukan Paris Van Java. Dan pada malam ini keduanya memang berencana menginap di indekos Zia sebelum akhirnya disibukkan dengan urusan masing-masing.

Pal in Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang