dering

12 9 0
                                    

rindu yang kian meriap hanya memerlukan sebuah temu untuk membebaskannya. jika terjadi, maka kamu tak akan lagi tersiksa.

⑅ • ⑅

Waktu membawa semua hal berlalu.

Sepanjang Zia membawa dirinya melangkah pada suatu bangunan kafe, dia ingat salah satu quotes Aeschylus tentang waktu yang pernah ditemukannya di aplikasi sejuta umat untuk mendapatkan informasi itu. Pikir punya pikir, gadis itu amat mengakui jika waktu benar-benar bisa membuat banyak hal berubah.

Kendati demikian, Zia lupa bahwa waktu tak bisa merubah kenangan. Malah, bisa saja dia kembali datang. Entah sekadar dalam bentuk ingatan atau bahkan kenyataan. Namun, tentu saja gadis itu tak berharap hal itu terjadi. Sebab dia sudah merasa cukup tentram dengan dunianya saat ini.

“Hai, sorry gue telat.”

Waktu ini, Zia hanya berusaha menikmati setiap momen bersama kedua karibnya atau siapa pun yang ada di dekatnya. Nongkrong di kafe sembari belajar seperti apa yang mereka bertiga langsungkan sekarang adalah salah satunya. Sedikit pun Zia berupaya menampik hal sekecil debu tentang sosok Nathan.

Yaa, padahal cowok itu tak memberikan kesan banyak. Namun, entah mengapa itu cukup mengganggu bagi Zia. Katakan saja gadis itu yang lebay. Padahal sudah nyaris dua tahun mereka tak bertemu atau berkabar.

“Habis bareng Rafa, ya?” Aya bertanya selagi memperhatikan Zia yang tengah menyimpan buku novel ke dalam ranselnya setelah mendudukkan diri.

“Dia yang ngajak ketemu. Ngembaliin catatan sejarah yang dia pinjem dari gue waktu itu. Gue juga heran kenapa malah minjem ke gue yang bahkan gak satu kelas,” jawab Zia tenang. Lantas gadis itu mengerutkan kening melihat reaksi keduanya yang terlihat tak percaya. “Kenapa? Beneran kok.”

“Novel?” Itu celukan Bhita.

“Huh? Oh ... itu tadinya mau dibeliin, tapi gue tolak dan bayar sendiri. Kami habis dari toko buku. Kenapa natap gue gitu, sih, kalian?” Zia kontan menaikkan nada bicara satu oktaf lebih tinggi lantaran tak ada yang berubah dari ekspresi keduanya. “Huh, dia minta gue temenin ke toko buku. Gue ikut karena paksaan. Puas?”

“Oh gitu,” Aya menyahut tak minat dan langsung menyambar minuman berkafein miliknya.

“Gue gak akan jadiin Rafa kayak mantan-mantan gue kok. Gue gak mencoba untuk jatuh cinta lagi ke siapapun sekarang. Kami pure temenan. Kayak gue temenan sama Niyal,” Zia tiba-tiba menjelaskan.

“Entahlah.” Aya menghela nafas yang tak bisa Zia tangkap apa maksudnya. “Tapi gue percaya sama tuh orang.”

“Halah bicit lo,” Zia mencibir bersama bola mata memutar. Apa sih yang diharapkan Aya terhadap dirinya terkait hubungan asmara? Zia sudah cukup lelah sejak putus dengan pacar terakhirnya sekitar tujuh bulan lalu.

“Zia sedang tobat, Ay,” cetus Bhita. Zia mencebik walau sebenarnya membenarkan kalimat temannya.

“Syukur deh. Tapi—”

“Apa lagi?”

“Apa perasaan lo masih sama? Atau udah gak ada?”

“Gue harap begitu, sih. Tapi entahlah, gue ngerasa tentram karena bener-bener hilang rasa atau cuma karena gak ada dia. Gue gak tahu.” Zia menunduk lesu layaknya bunga layu. Tepat, sebenarnya gadis itu tak jelas tahu bagaimana dengan perasaannya saat ini.

“Runyam amat hati lo, Zi. Dah lah, ayo nyicil belajar buat persiapan ujian,” putus Bhita mengakhiri percakapan terkait Zia dan teman yang (dulu) disukainya.

Pal in Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang