Sakuntala

3.2K 287 17
                                    

Di ruangan berukuran 4 x 4 meter dengan penerangan yang terbatas, seorang perempuan berusia 30 tahun itu hanya bisa diam membisu tanpa suara sejak pertama kali datang. Di seberangnya, seorang gadis berusia sekitar 28 tahun tengah menatap tajam dengan laptop yang menyala di depannya. Gadis itu hanya memberi satu pertanyaan sedari tadi, namun tak kunjung dijawab.

Merasa tak kunjung mendapatkan jawaban, gadis itu memilih mencari sesuatu di dalam laptopnya. Lalu ia memperlihatkan kepada perempuan tersebut.

"Pasal 80 ayat 3 UU nomor 35 tahun 2014 tentang kekerasan terhadap anak yang menyebabkan kematian, hukuman maksimal adalah 15 tahun penjara dan denda sebesar 3 miliar rupiah akan saya ajukan sebagai hukuman maksimal di pengadilan."

Suaranya begitu tajam dan tatapannya seperti panah yang siap menghunus siapa saja yang menjadi sasaran di depannya. Wajah kaku yang jarang tersenyum itu turut mengintimidasi setiap gadis itu berbicara dengan nada datarnya.

Perempuan di depan gadis itu perlahan menatap gadis berambut sepunggung dengan ikatan cepol yang terkesan asal. Perlahan perempuan itu tersenyum miring, seperti mengejek gadis itu.

"Kau hanya penyidik, kenapa aku harus mengikuti ucapanmu, gadis muda?" ucapnya dengan pelan, namun seperti meremehkan gadis penyidik di depannya itu.

Gadis penyidik itu tak terpengaruh sama sekali, bahkan tangannya kini melipat di depan dada. Perlahan gadis itu menyondongkan kepalanya ke arah sang perempuan yang bisa saja ia habisi dari tadi.

Tiba-tiba gadis penyidik itu tersenyum miring. Senyumannya begitu mengerikan bagi orang biasa. Ia terkenal kejam terhadap pelaku kejahatan. Tak memandang jenis kelamin, gadis itu akan menindaknya berdasarkan undang-undang yang berlaku.

"Hanya penyidik? Anda yakin jika saya hanya penyidik, ibu pembunuh?" ucapnya penuh penekanan hingga sang perempuan itu sedikit memundurkan kepalanya. Perlahan perempuan itu menunduk.

Gadis itu dengan cepat kembali duduk dengan tenang dan bersiap memberi pertanyaan. Ia berhasil mengendalikan lawan bicaranya itu.

"Identitas lengkap."

"Maya, 30 tahun, Surabaya. Pekerjaan asisten rumah tangga." Akhirnya perempuan itu membuka mulutnya setelah mendapatkan intimidasi. Dengan cepat gadis penyidik itu mencatat ucapan Maya.

"Alasan membunuh?"

Maya mengangkat wajahnya. Matanya berkilat setengah marah.

"Saya sudah membuat pernyataan di kantor polisi. Kenapa anda harus bertanya lagi? Lihat dan bacalah sendiri!" jawab Maya dengan nada kasar yang membuat gadis penyidik itu melayangkan tatapan tajamnya. Tak lama kemudian ia meraih kertas yang berada di depannya dan membacanya dengan penuh penekanan.

"Depresi, baby blues, dan gangguan bipolar?" gadis penyidik itu kembali menatap Maya. Lalu mendengus keras.

"Anda menganggap saya bodoh? Anda tahu mengapa anda diinterogasi ulang? Pernyataan anda tak masuk akal dan berbelit-belit padahal bukti mulai kuat. Anda menambah pekerjaan kami dan itu membuang waktu saya."

Gadis penyidik itu lantas bangkit dari duduknya. "Gangguan kejiwaan yang anda alami sudah empat tahun yang lalu dan rumah sakit menyatakan bahwa anda sudah sembuh. Lalu, anda menghilangkan nyawa anak berusia empat tahun dengan dalih depresi dan tidak kuat dengan suara tangisan anak anda. Apakah saya harus mengamini bualan tersebut?"

Gadis penyidik itu masih menatap Maya. Lalu kembali duduk dan membuka sesuatu di laptopnya.

Tak lama kemudian, gadis itu menunjukkan rekaman CCTV di sebuah mini market, lalu di sebuah toko, dan terakhir di sebuah rumah bordil.

"Apakah ini disebut sebagai depresi? Bersenang-senang dengan banyak laki-laki sampai subuh dan berganti-ganti pasangan? Menendang anak karena si anak hanya ingin makan es krim. Dan terakhir, mengumpati si anak dengan umpatan kejam. Kau pikir kau bipolar? Kau ibu yang tempramen dan buruk, sial*n!"

Matanya menatap tajam seperti hendak membunuh, lalu kembali mencari sesuatu di laptopnya dan menunjukkannya ke Maya. Sedangkan perempuan itu langsung terbungkam dengan wajah pucat pasi.

"Ini adalah rekaman CCTV satu tahun yang lalu. Anda juga menganiaya anak majikan anda, lalu kabur ke Surabaya dan menghilang tanpa jejak."

"Anda hanya lebih tua dua tahun dari saya, tapi mengapa anda menganggap remeh kami? Anda merasa aman dengan dalih kesehatan mental? Tidak semudah itu anda bisa berkelit dari saya."

"Dan anda tahu, kasus ini dilimpahkan kepada saya tiga hari yang lalu dan saya hanya butuh waktu dua hari dua malam untuk mencari bukti tambahan. Lalu dengan percaya diri, anda meremehkan kami, terutama saya?"

Gadis itu kembali menatap Maya dengan tajam. "Jangan buang-buang waktu, cukup jawab dengan jujur. Jika anda kembali berbohong, saya tidak menjamin anda akan aman di pengadilan. Bisa saja Jaksa Penuntut Umum akan memberatkan hukuman yang dijatuhkan oleh hakim."

"Anda boleh meremehkan saya hanya karena seorang polisi. Tetapi 95 persen kasus yang saya selidiki berakhir dengan hukuman yang sudah saya perkirakan sebelumnya, bahkan 85 persen di antaranya adalah hukuman maksimal."

"Tidak peduli jika anda adalah seorang wanita. Bagi saya, kriminal tetaplah kriminal, dan saya akan menuntaskannya sampai akhir."

Ucapan terakhir dari gadis penyidik itu mampu membuat Maya terdiam seribu bahasa. Tatapan tajam dan penuh intimidasi itu, berhasil membuat Maya tak bisa mengelak lagi. Gadis penyidik itu terlalu menyeramkan dan berbahaya.

.
.
.

Moshi-moshi...
Jangan bosan sama saya ya yang suka buat cerita tapi belum pada tuntas. Cerita ini dibuat karena... Ya karena pengen dibuat😎 Silahkan kalian yang kreatif mengait-ngaitkan sama apapun itu, berkomentar di sini. Tapi yang pasti cerita ini fiktif😉
Selamat menikmati cerita ini❤
.
.

Sakuntala, dalam mitologi Hindu, adalah nama permaisuri Raja Duswanta, leluhur Pandawa dan Korawa dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan Ibu dari Raja Bharata yang menurunkan keluarga Bharata. Ia juga merupakan anak angkat Bagawan Kanwa. Konon Ibu kandungnya adalah bidadari Menaka dari kahyangan.

Sang InspekturTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang