01 : Kunjungan

27 3 0
                                    

Semarang, 1998.

Suara rintik hujan mulai terdengar. Selang beberapa menit, berganti hujan deras. Guyuran air yang gemericik, membuat seluruh tanah basah dibuatnya.

Pelan-pelan jendela tertutup rapat. Mahika menatap ke luar jendela, hujan kian menderas seolah mengikuti irama.

"Besok sudah harus berangkat. Padahal, aku ingin lebih lama lagi di rumah." ucapnya sedikit tidak rela.

Mahika menutup bukunya kemudian. Ia merasa penat juga rasa kantuk yang mulai datang. Melihat jam dinding, Mahika lantas beranjak dan berniat untuk membasuh wajah.

Pukul sembilan lebih lima belas menit, Mahika keluar dari toilet. Saat berjalan menuju kamarnya, dua rungunya mendengar seseorang berbicara dengan bahasa yang tidak asing.

Penasaran, ia pun mendekat ke arah jendela untuk mendengarkan lebih jelas.

Mag ik je huis kopen? Dit huis ziet er zeer comfortabel uit."

Kening Mahika berkerut. Orang itu, apa maksudnya ingin membeli rumah ini? Bukankah di sini hanya desa kecil yang jauh dari kota? Kenapa tidak membeli rumah di kota saja?

Berbagai pertanyaan memenuhi otaknya. Mahika ingin sekali berlari sekarang dan berteriak tidak akan menjual rumah peninggalan kakeknya ini.

"Enak saja, orang-orang kaya ternyata bebas berbuat apa saja, ya!" ucap Mahika dengan nada kesal.

Gadis berkulit sawo matang itu kemudian berjalan tergesa menuju ayahnya yang sedang berbicara dengan seorang pria di teras rumah.

"Maaf, Sir. Rumah ini tidak akan saya jual." jawab Ayah Mahika, Djanoko.

"Tsk! ²Waarom wil je het niet verkopen? Ik zal betalen wat je wilt." balas pria paruh baya berkulit putih itu bernada kesal.

Djanoko tersenyum ramah. "³Je kunt een ander huis kopen. Dan saya katakan sekali lagi, bahwa saya tidak akan menjual rumah ini. Maafkan saya, Sir." kemudian ia membungkuk setengah badan setelah berucap bahwa ia menolak menjual rumah ini.

Mahika mematung. Rupanya, sang ayah bisa berbahasa Belanda. Setahu Mahika, ayahnya itu hanya bisa bahasa Jawa dan Indonesia saja. Namun, ternyata mahir bahasa Belanda.

"Sejak kapan Bapak bisa Bahasa Belanda, Bu?" tanya Mahika kepada sang ibu yang tengah duduk di sofa.

Sasmita terdiam. Tampaknya beliau sedang mengingat. "Mungkin dari kakekmu? Seingat Ibu, kakek dari Bapak kamu itu seorang—"

"Mahika." Djanoko tiba-tiba memanggil. Membuat ucapan dari Sasmita terpotong.

"Iya, Bapak?"

Djanoko meraih bahu putrinya. Menepuk berkali-kali, mengundang tatapan heran. "Besok, anak dari Sir Toontje akan berkunjung ke desa kita. Dia akan menginap di sini selama tiga hari." ucapnya memberitahu.

"Bukankah aku harus berangkat besok?" balas Mahika kemudian.

"Kamu diantar paman, Bapak yang bilang nanti."

***

Sesampainya di halte, Mahika bersalaman dengan pamannya yang merupakan adik kandung Djanoko. Untuk sampai di sekolah, Mahika harus menaiki bus dan menempuh waktu beberapa jam.

"Sampaikan ke Ibu, kalau aku berangkat, Om." ucap Mahika sebelum menaiki bus.

Gadis itu sudah melangkah masuk, namun teringat suatu hal. "Om! Sampaikan juga ke Bapak, kalau kamarku tidak boleh ditempatkan siapapun, ya!" teriaknya diikuti bus yang mulai melaju pelan.

Mahika, zie je weer!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang