Chapter 7 - Back to The Old Days

23 5 0
                                    


Singgah kemudian tinggal satu tahun di Jepang, memberikan Kyna dan Aine waktu dalam meresapi peristiwa; entah itu untuk merindu, atau untuk menetapkan tambatan hati di negeri orang. Kedua gadis ini tidak saling tahu menahu. Semuanya terjadi begitu saja. Rasa sayang yang dimiliki Aine terhadap Kyna bertambah besar meski sempat terpisah. Kyna sendiri membawa kenangan manis yang berujung pahit—akibat perpisahan—saat pulang ke negeri asal. Saat jarak mereka menipis, hari-hari mereka yang lalu, sudah dipastikan akan kembali menjadi rutinitas, namun dengan adanya perubahan drastis dari diri Kyna, Aine merasakan kerenggangan.

Pancaran mata Kyna terasa lain, jauh memandang ke depan; bukan pada masa depan, terasa seperti ia meninggalkan sesuatu di Jepang. Apakah itu sebuah penyesalan? Atau seseorang? Aine tak bisa menghentikan prasangka, semuanya datang dan mendengung di kepala. Oh biarlah, jika Kyna tetap bersembunyi di balik senyum hambar nan penuh kepalsuan itu, Aine hanya perlu menyelidiki. Ia tidak pandai dalam petak umpet, tidak piawai jika harus menjadi Sherlock Holmes—apalah daya, Irlandia dan Inggris punya masa lalu yang cukup gelap—dia akan menjadi dirinya sendiri kalau begitu. Bukan untuk sebuah pengakuan rahasia, sahabat mana yang bisa tenang jika sahabat tercintanya terus menerus bersedih? 

Memang, Kyna tak tampak sedih, tapi pancaran matanya akan menangis jika dibiarkan melamun lebih lama.

Rutinitas mereka kembali; pergi sekolah bersama, menikmati setiap pembelajaran, dan yang paling menyenangkan diantara itu semua ialah saat jam istirahat. Di meja tengah berisi enam orang gadis, empat diantara mereka secara antuasias melemparkan pertanyaan. Kyna menjawab satu per satu pertanyaan itu dengan linglung: dia takut ada yang tersisihkan.

"Matsuri, apa matsuri itu sungguhan ada? Itu bukan bualan dalam manga?"

"Hei hei, salju disana dan disini, apa bedanya?"

"Bagaimana kelasmu di Jepang? Mengasyikkan?"

Aine menikmati pemandangan tersebut. Selama perjalanan menuju sekolah, Kyna tampak kikuk dan canggung, seolah lupa bagaimana sensasi hidup di negerinya sendiri. Tentu, sedikit banyak, Aine menambahkan bumbu dramatis dalam pernyataannya itu. Jiwa Kyna masih ada di Jepang, tapi raganya sudah kembali: itu maksud Aine! Ia tidak sabar melihat Kyna kembali secara utuh, yakni Kyna yang ia kenali. Butuh waktu sampai semua yang ia harapkan terwujud. Dengan tabah dan deklarasi janji, Aine akan mengenalkan kembali apa itu Irlandia, apa itu Bray, dan semua partikel terkecil yang mampu membuat sahabatnya nyaman.

Setelah mendengarkan banyaknya jawaban, Aine terpaku pada satu kisah:

"Hari-hariku di sekolah, ya." Senyuman kecil mengembang, sarat akan nostalgia, Kyna tampilkan tanpa perlu merasa terpaksa. "Menyenangkan, sangat menyenangkan. Aku bertemu teman baru. Pada awalnya, mereka penasaran denganku, dan aku agak tidak nyaman dengan perilaku mereka." 

Kenapa hati Aine terasa dilapisi duri saat kekehan nostalgia disana tampil dan mengembang disela-sela cerita?

"Tapi mereka menjadi baik pada akhirnya! Di kelas begitu menyenangkan. Apalagi saat pelajaran sejarah dan sastra: sastra mereka juga elok. Ah iya, aku punya dua sahabat paling dekat di sana!" Kini pancaran mata Kyna jatuh ke jus apel dalam genggaman. "Mereka sahabatku dan kami tinggal satu atap. Ah, pengalaman yang paling seru ketika kami bertiga liburan ke Kyoto—," kemudian bel berbunyi dan kisah berhenti sampai di sana. 

Oh astaga, Aine penasaran. Siapa mereka itu? Jika Yuuka menempati rumah Kyna, berarti Kyna menempati rumah Yuuka. Dia sempat menyinggung soal kakaknya Yuuka. Berarti ia termasuk ke deretan sahabat, lalu pasti ada kaitannya dengan cincin! Aine tidak dibiarkan memikirkan persoalan ini lebih lama, Kyna menariknya ke kelas. 

"Aaaah! Aku sedang malas praktik!" keluh gadis itu dengan langkah gontai.

Selekas jam pulang dan kaki masih menapaki halaman sekolah, Kyna tiba-tiba saja berhenti. 

Journey of The Heart - ココロノタビTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang