Happy reading
.
.
."KAU tidak mengajak istrimu pergi ke luar negeri, Hyung?"
"Tidak, Haechan sedang lemah saat ini. Dia tidak bisa terlalu kelelahan."
Di seberang sana aku melihat Jeno mengangguk mengerti. Aku juga menginginkan bulan madu yang biasa direncanakan oleh kedua pasangan setelah melaksanakan pernikahan. Namun aku mengerti, bahwa kondisi Haechan tak sekuat itu untuk mengelilingi dunia yang luas ini.
"Jika ada kemungkinan, bawalah istrimu ke sini, Hyung. Istriku ingin sekali bertemu dengan istrimu. Kau tentu mengerti jika Nana sangat antusias saat pernikahanmu dengan Haechan berlangsung."
"Jika memungkinkan, aku akan mengajaknya ke sana. Tunggu waktu yang tepat." Aku tersenyum simpul kemudian melanjutkan kalimatku, "Atau kau dan istrimu saja yang ke sini? Kau tidak merindukan Korea, hm? Apa di sana terlalu menyenangkan hingga melupakan tempatmu dilahirkan?"
"Aku ingin sekali. Tapi kondisi istriku juga tidak memungkinkan. Dia sedang hamil, Hyung. Berkali-kali mengeluh pusing dan mual."
"Istrimu hamil?"
Terkejut.
Namun, juga merasakan bahagia. Adikku terlihat sangat bahagia sekali. Jeno bahkan sudah ingin memiliki bayi yang lucu. Aku teringat pada masa kecil ketika Jeno baru saja dilahirkan ke dunia ini. Bayi Jeno sungguh menggemaskan dengan kedua pipi bulat yang menambah paras menggemaskannya.
Tapi sekarang, Jeno sudah ingin memiliki bayi. Aku senang dengan pertumbuhan dan perkembangannya.
"Selamat atas kehamilan istrimu. Aku akan mengatakan kabar bahagia ini pada Haechan. Dan ingat selalu pesan yang ayah sampaikan ketika kau ingin melamar Jaemin."
"Tentu aku selalu mengingat pesan ayah, Hyung." Kulihat Jeno mengukir senyum yang menyiratkan sebuah kehangatan serta kebahagiaan. "Cintai dan syukuri apa yang kau miliki saat ini, jangan sampai kau menyesal suatu saat nanti. Tidak ada yang namanya kebahagiaan menetap, maka tetap syukuri kebahagiaan yang telah kau miliki saat ini. Kebahagiaanku telah bertambah, bukan hanya Nana saja, tapi akan ada bayi kecil sebagai pelengkap di rumah kami. Hyung, rasanya aku ingin sekali menangis keras."
"Menangislah dengan sekeras yang kau inginkan."
"Tapi aku malu jika Nana mendengar tangisanku. Aku tidak ingin Nana menertawakanku, Hyung."
Kini aku yang tertawa keras. Ada-ada saja, pikirku. Bungsuku dan keluarga memang semenggemaskan itu meski sebentar lagi akan memiliki seorang bayi. Tingkahnya memang konyol dan sering kali membuat tertawa, tapi sebagian orang menganggap leluconnya itu hanyalah garing.
"Menangis karena bahagia tidak ada salahnya. Istrimu tidak mungkin menertawakanmu untuk sesuatu yang sebahagia ini."
Tapi di seberang sana justru Jeno tetap menggeleng. Lagi-lagi karena takut ditertawakan. Sejauh yang kutahu tentang Jaemin, dia tak akan bersikap seperti itu bila ada sesuatu yang mendebarkan hati; bahagia karena hadirnya seorang pelengkap.
Kuukir senyum yang lebih menghangatkan. Hadirnya pelengkap di antara pasangan yang sudah menikah tentu menjadi sebuah kebahagiaan yang tak terkira. Jeno dan Jaemin akan jauh lebih bahagia karena sebentar lagi pelengkap itu akan hadir ke dunia ini.
Tentang seorang bayi. Aku tak menuntut banyak pada Haechan untuk memberikanku seorang bayi yang lucu. Aku hanya ingin kesembuhan untuk orang yang kucintai. Bila tak ada bayi sekalipun, itu tak menjadi masalah untukku. Karena aku tahu bahwa keadaan Haechan tak memungkinkan untuk memberikan sebuah pelengkap kebahagiaan dalam pernikahan kami.
Tanpa seorang bayi pun, aku selalu bahagia bersama Haechan.
"JENOOOOO!!!"
Aku mendegar jelas teriakan Jaemin di seberang sana. "Istrimu sedang membutuhkanmu, Jen. Sekarang temui istrimu dan kita bisa melanjutkannya lain kali. Aku juga harus menemui istriku."
"Hyung, segera beri kami kabar bahagia! Kesembuhan istrimu dan hadirnya calon keponakanku! Aku tidak sabar mendengarnya langsung," katanya begitu antuasias. "Kelinci manisku semakin galak, Hyung. Baiklah, akan kututup sekarang. Lain kali kita harus berbicara lagi, dengan para istri yang menemani!"
"Tentu. Bahagia selalu untukmu dan keluargamu."
🌼🌼🌼
"Kau tahu Jaemin? Dia sedang hamil. Saya diberitahu Jeno tadi."
Haechan yang mendengar hal itu langsung menunjukkan wajah sedihnya. Kulihat kepalanya menunduk dan tak lama meneteskan air mata. Dengan segera kurengkuh tubuh ringkihnya, erat. Sekaligus memberikan kehangatan yang tiada henti.
"Tak apa. Saya tidak menuntutmu untuk hal itu. Hanya denganmu saja, hidup saya sudah lebih baik."
"Tapi Hyung menginginkan seorang anak dari saya, 'kan?"
Aku mengusap lembut punggung sempit itu sembari berkata, "Saya memang ingin. Tapi saya tidak menuntutmu. Diberikan anak atau tidak, bagi saya itu tak menjadi masalah. Sudah, jangan menangis lagi."
"Maafkan saya, Hyung..."
"Hei, tak apa, Sayang. Mengapa harus meminta maaf? Kau tidak bersalah. Yang lebih utama bagi saya adalah kesembuhanmu. Saya akan melakukan berbagai cara supaya rasa sakit ini hilang. Uang habis pun tak masalah."
Aku tersentak kala Haechan semakin menangis. Kukira semuanya akan baik-baik saja ketika aku selesai mengatakan hal tersebut. Ingin kurengkuh lebih erat, tapi aku takut rasa sakit itu kembali hadir.
"Hyung—hiks, akan bersama saya meski penyakit ini tak bisa disembuhkan? Hyung akan tetap setia?"
Aku mengangguk mantap. Kesetiaanku tak perlu diragukan lagi. "Jangan berbicara seperti itu. Dengar, kau akan sembuh dari segala rasa sakit. Saya tidak akan pernah meninggalkanmu meski semua orang meminta saya untuk pergi."
"Tentang setia, saya akan tetap setia. Mengapa pula saya harus pergi sementara kau di sini sedang berjuang?" lanjutku. Cintaku mulai melonggarkan pelukan kami, membuat wajah manis itu bisa kutatap sepenuhnya. Aku menangkup wajah bulat miliknya, kukecup singkat hidung mungil itu. "My soulmate, hanya kau satu-satunya. Hati ini sudah dipenuhi oleh dirimu. Semuanya terasa lebih hangat saat bersamamu."
"Mulai sekarang, jangan gunakan kata 'saya' lagi, ya? Terdengar formal sekali."
Haechan mengangguk lalu kembali memelukku. Akan kupastikan Sayangku akan secepatnya sembuh, rasa sakitnya segera hilang. Haechan memang harus mendapatkan kebahagiaan yang tak terkira.
Akan kupastikan Haechan akan selalu tersenyum dan tertawa di setiap waktunya. Haechan itu terlalu indah untuk kutinggalkan. Saat bersama dengannya, terasa jadi lebih istimewa.
"Hyung, ayo jalan-jalan di sekitar taman!"
Dia berujar semangat sembari menatap wajahku penuh senyuman. Inilah yang kusuka. Haechan banyak tersenyum hari ini, meski aku tahu bahwa rasa sakit itu selalu hadir tanpa sadar.
"Pernapasanmu sudah lebih baik?" tanyaku memastikan. "Jika belum, jangan dipaksa. Lain kali kita bisa menghabiskan waktu di sekitar taman."
"Aku baik-baik saja! Sungguh, tidak ada yang sakit lagi. Jika ada yang sakit, aku akan langsung mengatakannya."
Aku meraih tangan mungilnya kemudian mengecupnya lama. Tidak pernah sebahagia ini rasanya. Lagi-lagi karena seorang Jung Haechan.
Terima kasih banyak, Belahan Jiwaku.
Next?
Mark udah jatuh cinta sama pesona Haechi, jadi nggak mungkin ninggalin Haechi gitu aja. Lagian siapa sih yang mau ninggalin anak manis kaya Haechi? Kalau ada yang mau, sini ku getok kepalanya.
Jangan lupa vomment, ya, guys!❤
Thank youuuu and papaaiii~!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sun Shines [MarkHyuck]
FanfictionA MarkHyuck Fanfiction ❝Matahari akan selalu bersinar setiap waktu yang sudah ditetapkan. Tapi kamu- sang matahari indah yang selalu menyinari setiap langkahku, sang matahari indah yang selalu tersenyum membawa segala kebahagiaan dan kesempurnaan.❞ ...