"Dicuri? Maksudnya?!"
Kenan membetulkan posisi ransel di bahunya— separuh gugup, jujur saja. Dari tempat duduknya, suara Ale di ruang sebelah terdengar.
"Ini kantor polisi loh, Pak! Kok bisa ada maling lolos? Bapak makan gaji buta di sini?"
O... ke. Kenan berdiri, mendekat ke jendela. Laki-laki itu mengintip masuk ke dalam ruangan, kalau-kalau Ale butuh bantuan (meski seringnya tidak).
Gadis itu sedang melipat kedua lengan di depan dada, satu sisi rambutnya diselipkan ke belakang telinga. Matanya menyorot tajam ke arah pria berseragam yang sibuk menggerakkan tetikus komputer, kemudian berusaha menunjukkan sesuatu di layar. Ale mengangkat alis, sebelum menyipitkan mata. Gadis itu meminta layar diperbesar. Jemarinya mengepal.
Kenan sudah mengamati Ale praktis sepanjang hidup untuk mengenali gestur gadis itu. Amarah terkesan natural di sekelilingnya. Luka kecil di buku-buku jari karena menonjok sesuatu terlalu keras. Baret di siku karena tergores waktu menutup pintu dengan buru-buru. Plester di lutut karena jatuh membentur lapangan saat kabur dari guru BK.
"Dasar brengsek!"
Kenan mengerjap waktu pintu dibanting terbuka. Ale muncul dengan derap cepat, menyambar ranselnya, dan melaju keluar. Kenan bergegas menyusul.
"Le! Tungguin! Kenapa?"
Mereka menyusur trotoar seperti sedang mengejar sesuatu. Atau seseorang, Kenan tidak tahu.
"Cowok itu. Gue udah tahu dia emang bajingan dari pertama kali—"
"Cowok apa? Siapa?"
Ale mengerang frustasi. Gadis itu menyodorkan sebuah ponsel asing pada Kenan. "Waktu ditangkep polisi kemarin, HP kita semua disita di satu box. Harusnya gue ambil HP gue waktu pulang, tapi gue lupa. Abis gue pulang, anak-anak dari sekolah lain juga dibebasin. Petugasnya nyuruh mereka ambil HP masing-masing dari box tadi. Tapi—"
"Tapi cowok ini ngambil HP lo?"
"Emangnya kurang jelas?" gertak Ale. "Lo dengerin gue nggak, sih?"
"Dengerin." Kenan buru-buru menyahut. "Terus ini HP siapa?"
Ale melambatkan tempo napasnya dan menatap Kenan. "HP dia."
Alis Kenan terangkat. "HP cowok yang nyolong HP lo?"
"Iya, Ken, siapa lagi?" cebik Ale. "Dia pasti mikir kalau dia ambil dua HP bakal bikin curiga. Jadi dia ambil HP gue dan ninggalin HP-nya. Polisi otomatis mikir HP yang nggak diambil adalah punya gue yang ketinggalan."
Kenan mengerutkan kening. "Terus ngapain polisi kasih HP dia ke lo?"
"Mereka nggak ngasih." Ale mengedikkan bahu. "Gue curi balik."
Pertama, itu bodoh. Kedua, itu kedengaran seperti hal yang bakal Ale lakukan.
"Buat apa?" Kenan bertanya meski dia tahu jawabannya.
"Buat ngelacak bajingan ini karena polisi nggak mau kasih alamatnya."
Persis dugaan.
"Emangnya lo nggak ada Find My iPhone di laptop?"
"Nggak."
"Kenapa?"
"Ya karena gue nggak mikir HP gue bakal dicolong berandalan tengik di kantor polisi, apa lagi?!"
Kenan memijit pelipis. Ale selalu begitu. Sembarangan. Dia bukan tipe yang berjaga-jaga dan memastikan segala hal aman. Gadis itu lebih suka melompat sana-sini menghindari bahaya, dan kalau berpapasan, refleksnya adalah menyerang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Butuh Kapasitas Semesta
Teen FictionSPIN-OFF A+ | TERSEDIA DI GRAMEDIA Ale pikir Jakarta sudah mencuri cukup banyak hal darinya, sampai hari itu ponselnya hilang di kantor polisi. Muak karena aparat tidak becus, Ale turun tangan memburu si pencuri. Tentu saja Kenan, sahabat seumur hid...