Gapura itu tadinya merah. Sebelum kedua pilarnya berkarat dimakan korosi. Ale memandangi sungai raksasa yang membentang sepanjang sisi kanan gang dengan sangsi. Bertanya-tanya bagaimana kalau hujan deras dan airnya meluber. Permukiman itu pasti akan tergenang.
Langkah kaki Kenan masih terdengar di belakangnya.
"Lo yakin kita nggak nyasar?"
Hidung laki-laki itu setengah dikernyitkan, mungkin karena aroma limbah yang lumayan menusuk.
Ale menggeleng serta-merta. Ada lokasi yang dilabel 'rumah' di ponsel si pencuri. Meski aplikasi peta tidak secara spesifik menunjukkan jalannya, seolah daerah ini tidak begitu penting untuk digambarkan. Seolah tidak akan ada yang mampir ke sini kecuali memang penghuni.
Terik sudah sedikit turun dari atas kepala Ale. Mereka memutuskan untuk makan dulu tadi sebelum ke sini. Kata Kenan, kalau mereka dikeroyok sampai mati, setidaknya perut sudah terisi. Ale tidak terlalu mengerti apa korelasinya, tapi dia ikut saja daripada Kenan mengoceh kelaparan sepanjang jalan.
Gang itu tanpa nama. Langkah Ale membawa mereka menuruni tangga semen kecil. Membelah perkampungan, dua buah palang rel kereta api melintang. Ale melirik pos petugasnya yang kosong dan berdebu. Gadis itu sedikit menunduk waktu melewatinya.
"Awas!"
Baik Ale maupun Kenan tersentak oleh armada bocah SD yang berlari semburat ke sembarang arah. Di sebuah sudut depan warung sembako, setumpuk sandal disusun saling menyandar. Salah satu bocah memegang bongkahan kertas tebal berteriak, mengejar kawan-kawannya ke sana ke mari.
"BAIM! ITU PAK USTADZ ADZAN DARI TADI NGGAK DENGER? PULANG ATUH, MANDI! SIAP-SIAP NGAJI!"
Sama dadakan seperti permulaannya, kericuhan itu dengan cepat mereda. Keluh kecewa anak-anak bercampur dengan langkah gontai. Si pemegang bola kertas menggandeng tangan perempuan berdaster yang baru saja berteriak. Mereka terlihat melipir ke warung, sebelum pulang menenteng kresek biru muda transparan.
Sudut bibir Ale sedikit terangkat. Ada sesuatu yang membuat gang mati ini terasa hidup.
"Le."
Kenan menyenggol bahu Ale pelan, membuat perhatian gadis itu beralih pada sebuah tiang listrik tua. Ale membandingkannya dengan foto yang dia lihat di galeri ponsel si pencuri. Brosur yang sudah semi mengelupas di permukaan berkaratnya sama persis.
"Sekarang kita tinggal cari rumahnya," gumam Ale. "Mencar aja."
Kenan langsung mengerutkan kening tidak setuju. "Kalo lo kenapa-kenapa nanti gimana?"
Ale memutar mata malas. "Adanya juga lo yang kenapa-kenapa."
"Enak aj—"
"Ken," decak Ale tidak sabar. "Ayolah. Gue lurus, lo belok ke sana. Ini gangnya bercabang. Kalo kita bareng, bisa-bisa besok subuh baru ketemu tuh maling."
Kenan menghela napas, mengalah. "Yaudah. Tapi kalo lo yang ketemu rumahnya, call gue dulu. Jangan langsung masuk. Oke?"
"Bawel."
"Oke, gak?!"
"IYA, AH!"
Kenan sedikit tersenyum waktu dia akhirnya menuruti titah Ale. Langkahnya dipatri ke sebuah kelokan sempit. Ale sudah sempat menunjukkan foto-foto dari galeri si pencuri waktu mereka makan. Rumah yang mereka cari dilapisi cat abu-abu, tapi tidak seluruh permukaan dindingnya tertutup. Beberapa masih berupa bata merah dengan semen di sela-selanya. Pintu kayu cokelat, dua buah kursi rotan bundar, meja bertaplak kain brokat—
Langkah Kenan terhenti. Setelah keluar dari kelokan sempit tadi, rumah ketiga yang laki-laki itu lihat terdiri dari dua lantai tanpa balkon. Nyala lampu di lantai atas tampak dari jendela yang terbuka. Kacanya setengah pecah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Butuh Kapasitas Semesta
Dla nastolatkówSPIN-OFF A+ | TERSEDIA DI GRAMEDIA Ale pikir Jakarta sudah mencuri cukup banyak hal darinya, sampai hari itu ponselnya hilang di kantor polisi. Muak karena aparat tidak becus, Ale turun tangan memburu si pencuri. Tentu saja Kenan, sahabat seumur hid...