20 | Gemuruh

13.5K 2.5K 955
                                    

Mama tidak pernah menangis.

Mungkin seumur hidupnya.

Setolol apa pun tingkah laku Ale, Mama cuma akan marah. Memukul. Karena menangis cuma untuk orang lemah, dan Mama tidak lemah.

Menangis tidak menyembuhkan memar di garis pundak, goresan di bawah dagu, atau luka menahun di relung hati. Menangis tidak mengubah apa-apa. Itu sebabnya menangis selalu jadi rahasia memalukan bagi Ale. Rahasia yang sampai kapan pun juga, tidak akan pernah dia bagi-bagikan ke dunia. Sama seperti segala hal yang dia ledakkan pada Bas hari ini. Seumur hidup, Ale bahkan tidak pernah mengatakan apa yang dia katakan barusan pada dirinya sendiri, apalagi keras-keras seperti tadi.

Gue cinta Kenan. Dan sekali pun seumur hidup gue nggak nyatain perasaan gue, sekali pun pada akhirnya dia nggak akan pernah tahu, nggak berarti gue bakalan pernah berhenti cinta sama dia.

Ale menelan ludah. Selama ini dia tidak pernah tahu apa yang dia rasakan untuk sahabat sejak kecilnya itu. Dia tidak pernah mau tahu. Dia tidak pernah mau memikirkannya. Tapi segala desakan Bas dan rasa sakit bekas tonjokan di perutnya membuat Ale tidak perlu berpikir lagi. Segalanya tiba-tiba merebak ke permukaan.

Mungkin bukan cuma menangis yang menjadikan seseorang lemah. Mungkin jatuh cinta pada sahabat 17 tahun juga.

Ale menatap langkah Bas menjauh dari gapura gang. Kata maaf tersendat tak berdaya di tenggorokannya. Maaf untuk apa? Maaf untuk keras hati dan keras kepala? Maaf untuk terlalu jujur dan terlalu jahat di saat yang sama?

Gadis itu memejamkan mata.

Sejak awal mereka saling kenal, Bas tidak pernah jadi sempurna. Ada banyak hal brengsek tentangnya yang tidak Ale suka. Mungkin itu juga yang membuatnya terasa jauh lebih nyata. Dia bukan pangeran negeri dongeng atau karakter boy next door yang ada di drama romansa. Tapi Bas nyata. Bas di sini, dan Bas cinta Ale. Apa adanya.

Masalahnya cuma satu. Bas Kara bukan Kenan Aditya.

Ale menarik napas dalam-dalam.

Itu saja.

Gadis itu berbalik, siap pergi.

Langkahnya tiba-tiba terhenti.

"...Ken?"

***

"...Ken?"

Ada gemuruh aneh di telinga Kenan yang meredam segala suara dari luar, termasuk nada terkejut Ale. Gadis yang dia cari ke mana-mana hari ini. Gemuruh yang sama yang memenuhi kepalanya sejak di lapangan, sejak tembakan andalannya berubah salah sasaran, sejak beberapa minggu belakangan. Kenan merasa kehilangan, dan sekarang jadi jelas kenapa dia merasa begitu.

"Lo kenapa bisa— lo denger apa yang gue omongin sama Bas?"

Laki-laki itu menatap wajah Ale yang memucat, menahan keinginan untuk meledakkan satu Jakarta. "Gue nggak perlu denger."

"Gue tanya." Gadis itu menaikkan nadanya satu oktaf. "Lo denger apa enggak?"

"Emang apa?" bentak Kenan tiba-tiba, membuat Ale refleks mundur satu langkah. "Apa yang gue nggak boleh tahu? Apa yang segitu rahasianya sampe harus lo sembunyiin berdua sama bajingan itu?"

Kecewa. Gemuruh itu gemuruh kecewa.

Kenan menggeleng, menatap Ale dari atas ke bawah. "Ngapain sih lo di sini, Le?!"

Ale menelan ludah.

Kenan benci mengerti bahwa gadis itu lega dia tidak dengar apa-apa. Kenan benci mengerti Ale senang rahasianya masih aman.

Kita Butuh Kapasitas SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang