22 | Di Jakarta Sebelah Sini

11.3K 2.2K 275
                                    

Gang itu masih terlihat sama.

Kalau gapura merah semi berkarat itu bisa bicara, sudah habis Ale ditertawai sejak tadi. Konyol rasanya mengingat apa saja yang sudah terjadi selama tiga bulan ini. Ada begitu banyak yang berubah, tapi banyak juga yang tetap.

Gadis itu mematri satu kaki di depan kaki lain, berjalan menyusuri setapak yang familiar. Ale pikir dia tidak akan pernah kembali lagi ke sini. Itu sebabnya ketika dia tiba-tiba punya alibi untuk datang, ada perasaan lega sekaligus bersalah. Lega karena ada alasan yang setidaknya cukup rasional untuk kembali, bersalah karena alasan itu berarti Bas akan mempertaruhkan nyawanya Sabtu nanti.

"Goblok."

Gadis itu memaki, menendang kerikil terdekat, mengupayakan kekesalannya tersalurkan. Ale tahu kondisi apa yang mungkin sedang dihadapi Bas, tapi tetap saja dia kesal. Laki-laki itu memutuskan terjun dalam pertarungan berdarah versus Re Dirgantara persis setelah kesepakatan mereka berakhir. Tapi mungkin yang paling membuat Ale kesal adalah dirinya sendiri yang repot-repot datang ke sini.

Ale tidak suka peduli pada orang lain. Peduli itu merepotkan. Tapi siapa juga yang bisa diam saja setelah tahu soal taruhan raksasa murid-murid Bina Indonesia? Gadis itu cuma bisa membayangkan seberapa besar komisi yang Bas raup dari satu fight besar-besaran ini, tapi tetap saja risikonya terlalu tinggi. Ya, kan? Fight semacam ini jelas tidak akan berhenti sampai ada korban.

Dan Ale tidak mau Bas jadi korban.

Gadis itu menghela napas. Langkahnya berhenti di depan rumah yang sudah sangat dia kenali. Memori Ale terputar ulang seperti kaset rusak. Kepalanya didongakkan sedikit, melawan matahari. Dulu Ale biasa memandangi seluruh gang dari jendela yang kacanya pecah itu.

Sekarang? Sekarang berdiri di depan pintu saja Ale setengah segan.

"Cari siapa, ya?"

Ale refleks berbalik. Seorang perempuan muda menatapnya bingung. Tangannya menenteng kresek belanjaan, dua ikat sayuran muncul dari dalam.

"Temennya Bas?"

Ale sedikit meneguk ludah waktu perempuan itu memandanginya dari atas ke bawah. Dalam hati, merutuki kenapa tadi dia tidak memakai jaket. Seragam Bina Indonesia pasti terlihat aneh di daerah sini.

"I...iya, Teh." Ale buru-buru menambahkan, "Teh Wulan, kan?"

Perempuan itu tersenyum kecil. Separuh beban Ale langsung luruh. Gadis itu membalas senyum canggung.

"Bas belum pulang. Mau nunggu di dalem aja?"

Ale memutar otak sementara Wulan berjalan mendahuluinya, membuka pintu rumah lebar-lebar.

"Ale, kan?"

Ale mengerjap. "Iya..."

Sebelum gadis itu benar-benar sadar, kakinya sudah bergerak mengikuti Wulan ke dalam. Rumah itu masih familiar. Senyum kaku Ale sedikit mencair. Dia melangkah masuk dan mendudukkan diri di sofa kayu ruang tamu. Ale melirik ke atas, ke lampu di langit-langit yang sesekali berkedip. Di belakang punggungnya, ada akuarium kosong yang entah sejak kapan belum dibersihkan. Aroma sesuatu yang digoreng memenuhi udara dari arah dapur.

"Bas udah cerita apa aja?"

Ale menoleh. Wulan sedang mengeluarkan isi belanjaannya di atas meja makan.

"Banyak," sahutnya setengah sungkan. "Tentang Teteh... tentang Ganis juga." Kepala Ale celingukan. "Ganis mana, Teh?"

"Di kamar," respons Wulan. "Abis minum susu, tidur dia. Makanya ini bisa belanja bentar."

Kita Butuh Kapasitas SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang