"Ah anjing! Lo harusnya jangan nyetujuin perjodohan ini, bangsat!" Umpatan itu keluar dari mulut seorang perempuan bertubuh kecil dengan perasaan penuh emosi.
Lawan bicara yang diberikan kata kata umpatan tersebut, tampak tidak menghiraukan. Ia malah asik bermain ponsel, entah apa yang ia lakukan. Yang jelas, itu membuat perempuan tersebut merasa semakin marah.
"Woi anjing! Gila lo, ya?! Gua ajak lo ngomong! Baru gini aja, lo gaada sopan santunnya, apalagi nanti! Stress gua anjing, kalo nikah sama lo!" amuk perempuan tersebut seraya memijat pelipisnya.
Lelaki yang tadinya hanya diam, kini menoleh malas kearah perempuan tersebut, "Nama saya, Azrael. Azrael, bukan anjing. Dan di sini gaada anjing, kamu gila ya ngomong ke sesuatu yang gaada di sini?" Tanya lelaki tersebut dengan nada santai, membuat amarah perempuan tersebut semakin naik drastis.
Perempuan tersebut menarik dasi yang tertata rapi pada kemeja Azrael, lalu menatap kedua bola mata Azrael dengan lekatnya, "ANJING!" teriak perempuan tersebut di depan muka Azrael, dengan kerasnya.
Sampai Azrael refleks menutup matanya, saking terkejutnya. Lalu tanpa rasa bersalah, perempuan tersebut langsung berlari pergi dari ruangan depan tv dan menuju ke arah kamarnya. Tidak lupa diiringi, bantingan pintu yang tertutup dengan suara sangat keras.
Azrael memijat pelipisnya, yang terasa pusing. Sudah pusing dibuat pekerjaan di kantor, sekarang ditambah Olivia, sang tunangan yang suka mengumpat dan marah marah kepadanya.
Padahal selama ini, tidak ada yang berani membentak bentaknya seperti tadi. Ayahnya saja tidak pernah, karena ia adalah anak yang selalu patuh dan jarang sekali membuat Ayahnya marah.
Tetapi Olivia, malah suka membentaknya cuma karena masalah menerima perjodohan yang sudah diatur oleh kedua belah pihak keluarga? Tapi rasanya lebih baik dibentak, daripada merasa durhaka.
Masalahnya, kenapa baru tunangan sudah disuruh tinggal serumah. Rumah yang lumayan besar, namun dengan desain yang sederhana. Dan ini juga, terlalu dini buat mereka harus tinggal serumah. Ego mereka berdua masih terlalu susah diatur.
Mereka disuruh tinggal berdua, dengan pembantu yang datang saat jam jam makan saja dan adik lelaki dari Olivia. Memang niatnya hanya untuk mendekatkan, tapi kenapa ini sungguh terasa berlebihan?
Belum lama ia memikirkan semuanya, ia melihat pintu kamar Olivia terbuka lalu keluarlah Olivia dari dalam dengan mengenakan kaos hitam yang dibalut dengan sweater ungu dan celana jeans.
Sebenarnya Olivia ini akan terlihat imut baginya, jika dirinya memakai dress selutut dengan warna warna kalem. Karena tubuh Olivia yang kecil dan juga rambut yang dikepang satu dengan poni tipis lucu di dahinya.
Cuma entah mengapa, Olivia ini selalu masa bodo dengan penampilannya. Yang penting, ia merasa nyaman saja maka ia akan memakai pakaian itu.
"Mau keluar kemana, malem malem?" Tanya Azrael, dengan posisi masih duduk di sofa.
"Gaada urusan sama lo y-"
"Saya telepon Bunda kamu, mau?" Tawar Azrael, memotong ucapan Olivia yang sudah hampir mencapai nada tertinggi di kamus perngegasannya.
"Lo kira, lo siapa? Ngancem ngancem gua, anjing!"
"Kamu ini bisa nggak, sih? Jangan kasar kasar ngomongnya?" tanya Azrael, tanpa menggubris ucapan Olivia.
Olivia yang mendengar pertanyaan itu seketika diam dengan kedua tangan yang terkepal. Ia berusaha meredam amarahnya. Wajar saja ia marah marah daritadi. Bagaimana tidak? Karena perjodohan yang ia anggap sialan ini, membuat dirinya yang seharusnya bisa bersenang senang lalu mencari pujaan hatinya sendiri, malah harus terkekang oleh hubungan yang dibangun karena rasa terpaksa ini.
"Kamu laper, nggak? Sebentar lagi adek kamu pulang dari mainnya, bawa makanan. Kamu duduk di sini buat nunggu, apa mau di kamar?" Tanya Azrael, tanpa menatap muka Olivia. Ia kembali asik bermain ponselnya.
"Bibi nggak bisa ke sini, katanya anaknya lagi sakit. Jadi dia tadi sore udah bilang, kalo nanti pas makan malem nggak bakal bisa ke sini. Makanya saya buru buru, suruh adek kamu yang masih main diluar buat bawain makanan kalo pulang," lanjut Azrael, dengan fokusnya yang masih kekeh ke arah ponselnya.
"Kenapa nggak lo aja, deh yang mesen makanan? Tinggal klik!"
"Saya males. Yaudah kamu aja yang mesen. Tinggal klikkan?"
"Gua.... Gu-gua gapunya uang! Lo kira anak SMA kelas 3 kaya gua gini, punya uang apa?! Semua uang gua habis, buat praktek beli alat buat persiapan ujian! Gila, lo ya?!"
"Kan nanti saya yang bayar. Kamu ini kok, bisa bisanya sih ngiranya kamu yang bayar? Udah kebiasa mbayarin makanan sendiri sendiri ya, padahal pas lagi sama pacar?" Tanya Azrael, yang murni hanya bertanya. Karena lagi lagi fokusnya masih kekeh ke ponselnya.
"Bacot Lo!"
***
Kicauan burung yang bersahutan ada di mana mana, diiringi dengan hembusan angin di pagi hari yang terasa menyejukkan badan. Embun tebal, menyelimuti pemandangan indah yang ada pada momen munculnya matahari.
Tetapi hipnotis menyejukkan yang menyuruh semua orang untuk terlelap pagi itu, tak mempan untuk seorang perempuan yang sudah rapi dengan seragam SMA-nya. Tapi bukannya tersenyum karena kesejukkan di pagi ini, perempuan tersebut malah merengut sembari mengumpat beberapa kali.
"Anjing! Gua berangkat naik apa? Motor gua, pake bocor segala. Mana si Zeno, berangkat sambil nganter motor gua ke bengkel sama temennya, gamau sama gua. Kan kalo gini, gua berangkat sama siapa?" Kesalnya, sembari memakan nasi goreng yang sudah disiapkan oleh pembantunya dengan ganas.
"Naik ojek, ajalah!"
Tangan Olivia merogoh saku seragamnya. Ketika melihat uang sakunya tidak ada, ia menepuk dahinya dengan keras.
"Goblok! Uang gua selama sekolahkan, dikasih ke Azrael. Tailah, kalo gini! Makin ga bebas, anjing!" Umpat Olivia.
Plug!
"Ini, uang saku kamu!"
Olivia menatap lembar demi lembar uang, yang tergeletak di meja makannya. Ia menaikkan satu alisnya, lalu mengambil uang itu tanpa basa basi dan menyimpannya di kantong saku seragamnya.
"Ini seragam sama rok kamu kekecilan banget, besok saya mau ini digant-"
"Ssstt!! Diem deh! Ah jadi ga napsu makankan gua!" Olivia menarik tasnya yang terletak di kursinya, lalu berjalan keluar tanpa mengucap salam, seolah olah Azrael tak ada di sana.
Azrael menoleh ke arah piring yang berisi nasi goreng bagian Olivia, yang sudah tersapu bersih.
Lelaki itu menaikkan satu alisnya, "Katanya ga napsu."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Soul Mate
Teen FictionDipaksa harus merelakan kebebasan masa muda, dengan beratnya sebuah hubungan pertunangan. Apalagi dalam hubungan tersebut, bersatunya seorang perempuan yang terbiasa hidup bebas dan seorang lelaki yang sangat gila akan pekerjaanya. Apakah mereka a...