Harapan

3 1 0
                                    

Rumah sakit selalu menjadi tempat yang ramai, terlebih lagi rumah sakit kepolisian. Setiap kali ada kasus pembunuhan atau penembakan terhadap pelaku kriminal saat penangkapan, tidak hanya keluarga yang memadati IGD, tetapi juga para wartawan dan polisi. Namun, kali ini Nala datang tidak untuk dua hal itu. Dia duduk di depan ruang IGD tanpa buku catatan dan alat perekam suara. Dia sedang menunggu kabar korban yang baru saja didorong masuk ke ruang tindakan. Kedua tangan Nala bergetar meski sudah terkepal, kini dia tahu bagaimana rasanya menjadi keluarga korban yang selama ini selalu dia wawancara.

Sepanjang jalan, gadis itu selalu berdoa, meski tidak mungkin dia tetap berharap Fasa membuka matanya sekali saja. Nala juga butuh alasan untuk berhenti menyalahkan dirinya. Seandainya dia bisa datang lebih awal. Seandainya dia tidak menemui jaksa itu karena sudah tahu akan berakhir seperti apa. Ada banyak kalimat penyesalan yang berputar di kepalanya.

Saat dokter keluar dan memberitahunya kenyataan bahwa Fasa sudah meninggalkannya, air mata berhenti mengalir di sepanjang pipinya. Menangis tidak lagi bisa mengungkapkan rasa sakit yang menyerangnya.

"Kamu menyarankan penyidik untuk melakukan autopsi?" Seorang pria jangkung menggantung botol minuman dingin di depan wajah Nala.

Gadis itu hanya mengangguk. Tenggorokannya terasa kering karena menangis sepanjang perjalanan ke rumah sakit. Belum lagi dia harus menjelaskan banyak hal kepada polisi yang bertugas menangani kasus ini.

Botol di depannya berdesis saat penutupnya dibuka. "Ambil. Kamu butuh cairan pengganti," lanjut pria itu.

Nala meraih botol minuman dan meneguknya dalam sekali helaan napas. Rasa asam yang dingin melewati tenggorokannya dengan cepat dan langsung menyegarkan perasaannya. Cuaca panas dan kehilangan cairan karena menangis membuat bibirnya sangat kering dan pria itu memberinya minuman dingin yang sangat tepat untuk mengembalikan cairan tubuhnya.

Dia melirik label biru pada botol sebelum melemparnya ke tempat sampah.

"Bagaimana keluarganya? Mereka setuju?" Kali ini pria itu mengambil tempat kosong di samping kanannya setelah sebelumnya dia harus membuang botol yang gagal masuk ke tempat sampah.

Nala mengangguk. "Aku udah jelasin ke mereka kalau ada yang salah dengan kematian Fasa."

"Apanya?"

"Ya, situasinya. Orang yang mau bunuh diri enggak akan merapikan kopernya dan mengiris pergelangan tangannya di saat kami mau berangkat liburan. Fasa bahkan belum selesai mengemas baju. Kalau memang dia mau bunuh diri, dia akan melakukannya sejak tadi malam. Dia juga enggak ninggalin surat wasiat apa pun."

"Bagaimana kalau dia sengaja, supaya kamu berpikir seperti ini?"

Kedua mata Nala menyipit. Dia memiringkan tubuh ke arah pria itu. "Aku enggak mau jadi narasumber Kak Helmy. Cari narasumber lain sana."

"Loh, kamu kan satu-satunya saksi dan juga orang yang mengajukan autopsi. Aku mau wawancara orang tua Fasa tapi mereka masih di perjalanan."

Nala mendengus. Dia memikirkan bagaimana nanti teman-teman wartawannya datang menginterogasi tentang kasus ini. Apalagi Nala adalah sahabat Fasa, orang-orang akan penasaran bagaimana kehidupan pribadi Fasa.

"Aku bisa menolak wawancara dengan wartawan, kan? Kakak bisa bilang kalau aku sangat terpukul dan enggak bisa diwawancarai."

"Aku mengerti. Mereka bisa menanyakan kesaksianmu lewat polisi."

Tangan Helmy menepuk puncak kepalanya. "Aku bukan anak anjing." Nala menepis tangan pria itu.

"Aw."

"Tangan kakak kenapa?"

Proyek Bunuh DiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang