Mengunjungi TKP

2 1 0
                                    

Di drama yang biasa Nala nonton katanya pelaku pembunuhan akan kembali ke tempat kejadian setelah beberapa hari. Setelah lewat dari empat hari pembunuhan sahabatnya, dia menantang diri untuk mengunjungi rumah Fasa. Pelaku mungkin akan datang untuk memastikan apakah dia tidak meninggalkan jejak apa pun di rumah itu.

Garis polisi terikat di sepanjang pagar besi rumah itu. Nala mendorong pagar pelan agar tidak menimbulkan suara, dia tidak ingin ada tetangga Fasa keluar karena mendengar suara pagar yang ribut dan menanyainya tentang kasus ini.

Padahal baru empat hari rumah itu kosong, tetapi rumput liar mulai tumbuh di antara pot bunga yang ada di halaman, Beberapa daun bunga yang berwarna merah juga berubah menjadi kuning, kering. Hanya tanaman kaktus yang masih terlihat segar. Ah, Nala tidak pernah ingat kalau sahabatnya merawat bunga-bunga itu dengan sepenuh hati.

Nala mengeluarkan kunci rumah dari tas selempangnya dan mengarahkannya ke pintu. Dahinya berkerut saat menyadari bahwa pintu rumah itu tidak terkunci, debu di atas gagang pintu juga mencetak bentuk jari-jari. Seketika dadanya berdesir, sisi buruknya mulai menebak segala kemungkinan. Bagaimana kalau Si Pembunuh benar-benar mengunjungi rumah Fasa, dia tidak punya apa-apa untuk menangkap orang itu.

"Apa aku harus menghubungi Daffa?" tanyanya dalam hati.

Dia menggeleng kemudian. "Tidak, tidak. Pembunuh itu bisa kabur sebelum Daffa sampai di sini."

Tangannya merogoh ke dalam tas selempang, memastikan apakah dia punya benda tajam. Dia menemukan alat kejut listrik yang diberikan Daffa untuk berjaga-jaga saat dia melakukan wawancara dengan pelaku kejahatan.

Nala menggenggam benda itu dengan erat dalam tasnya. Satu tangannya bergerak pelan menarik gagang pintu, dia mengendap-endap ke dalam rumah. Pandangannya mengikuti jejak kaki yang tercetak di atas debu lantai dan mulai berjalan di belakang jejak itu.

Telinganya menangkap suara pintu yang berderit. Nala siaga, tangan kanannya tidak lepas dari dalam tas. Matanya waspada ke seluruh sudut ruangan. Kepalanya tidak berhenti bergerak ke belakang lalu kembali fokus ke depan, takut-takut orang itu menyerangnya dari belakang.

Dia memeriksa ruang kerja Nala, kosong. Pintu kembali berderit, dia segera menoleh ke arah dapur, ruangan di sana juga kosong. Silir angin berembus, menyentuh kulit Nala yang mulai basah karena keringat. Rambut-rambut di atas pergelangan tangannya berdiri, memberi sinyal ketakutan. Rasanya suasana ini jauh lebih seram dibandingkan saat dia memasuki wahana rumah hantu.

Kakinya bergerak ke kamar Fasa, ruangan itu tempat yang tepat untuk pelaku bisa bersembunyi. Nala menyiapkan alat kejutnya, dia mendorong pintu kamar pelan-pelan, masih aman. Pelaku mungkin sembunyi di lemari, pikirnya.

Setelah kedua kakinya melewati ambang pintu, pintu di belakangnya berderit. Dia memutar tubuhnya, tetapi sebuah tangan lebih cepat membekap mulutnya dan menahan tangannya yang memegang alat kejut.

Nala memberontak, dia berusaha melepaskan tangan orang itu dengan satu tangannya yang bebas. Dia tidak akan mati dengan cara seperti ini.

"Hemmm..." Nala mencoba untuk menggigit tangan pria itu, tetapi gagal. Kekuatan orang itu berkali-kali lipat darinya.

"Sstt... Nala ini aku, Daffa."

Dahi Nala berkerut. "Daffa?"

Tubuhnya berhenti bergerak dan cengkraman pria itu mulai melemah dari tangan dan mulutnya. Dia memutar tubuh lalu mengangkat wajahnya.

"Tanganmu enggak apa-apa? Aku terpaksa melakukannya biar kamu enggak setrum aku. Kamu udah tahu cara menjaga diri sekarang." Pria itu mengelus tangan kanan Nala yang tadi dicengkramnya.

Proyek Bunuh DiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang