Kebun Bunga Poppy

2 0 0
                                    

Suara klakson panjang yang saling bersahut-sahutan menyambut Nala saat dia keluar dari kantornya. Kantor yang terletak di sudut perempatan jalan itu cukup membuat telinganya sakit jika pintu masuk kantor tidak menghalangi suara-suara itu. Lampu lalu lintas di perempatan itu sering kali jadi ajang beberapa pengendara untuk menguji kekuatan klakson kendaraan mereka, apalagi di jam sibuk seperti saat ini.

Nala meremuk amplop putih di tangan kanannya. Rumitnya lalu lintas di perempatan membuat pikiran Nala semraut. Dia tidak tahu harus ke mana setelah ini. Selembar kertas yang diberikan atasannya cukup membuat Nala terkejut.

Dia mendapat telepon dari pimpinan redaksi di pagi hari bahkan sebelum dia berangkat ke kantor. Telepon itu adalah yang pertama kalinya. Nala berpikir mungkin ada hal baik dari berita yang selama ini ditulisnya, sayangnya dia terlalu berpikir positif.

"Kamu ini penulis berita atau novel sih?!"

Dahi Nala berkerut. "Saya penulis berita, Pak."

Pria berambut cepak mendorong tablet pc ke depannya. "Tulisan-tulisanmu ini enggak punya bukti kuat, ini lebih ke cerita fiksi. Kamu membuat cerpen dan melibatkan perasaan pribadi. Meskipun kamu menulis berita tentang pembunuhan orang tuamu, kamu enggak boleh melibatkan perasaan pribadi dengan menyudutkan pelaku yang belum tentu benar."

Kedua tangan Nala bertautan, kepalanya tertunduk. Dia tidak bisa melawan pimpinannya dengan menyela bahwa semua beritanya bukan kurang bukti, tetapi karena menyerang perusahaan tertentu.

"Saya akan memperbaikinya, Pak," balas Nala.

Pria itu menggeleng lalu menyerahkan amplop putih. "Enggak perlu. Kamu udah berkali-kali diperingatkan. Ini pesangon kamu."

"Tapi, Pak-"

"Kamu bisa keluar sekarang," ketus pria itu.

Nala menghela napas panjang. Suara klakson menariknya kembali ke kenyataan. Dia pengangguran sekarang dan kembali ke rumah, mengurus toko adalah satu-satunya cara bertahan hidup.

Drrtt... Drrtt... Drrtt...

Dia melirik layar smartphonenya dan menemukan nama Helmy tertera di sana. Nala segera menerima panggilan itu sembari berjalan ke motornya.

"Halo. Assalamualaikum, Kak."

"Walaikum salam. Kamu bisa minta cuti besok?"

Alih-alih menjawab pertanyaan, dia memilih untuk menyalakan mesin motornya.

"Kamu lagi liputan?"

"Enggak. Sebenarnya hari ini terakhir kali aku kerja."

"Lah, kok bisa?"

"Aku dipecat karena alasan menulis berita Fasa dengan tidak professional." Nala menyelipkan smartphone di antara helm dan kepalanya untuk memudahkannya mengendarai motor tanpa memegang smartphonenya.

"Padahal baru kemarin aku peringatin kamu untuk berhenti menulis tentang Fasa ataupun Mia."

Nala meninggalkan parkiran kantornya. "Kenapa Kak Helmy minta aku cuti?"

"Aku udah tahu di mana kebun bunga poppy yang kamu bilang, dan kebun itu dekat dengan pabrik obat Artama Farma."

"Wah, relasi Kak Helmy emang luas."

Gadis itu yakin, di seberang sana seniornya sedang tersenyum sombong karena pujiannya.

"Oh iya, gimana kalau kamu kerja di surat kabar Mia aja? Perusahaannya pasti cari wartawan."

"Astaga, aku terlalu sedih karena mendadak dipecat sampai enggak kepikiran ke sana. Nanti aku hubungi Bunga. Besok kita berangkat jam berapa?"

"Mungkin pagi. Lokasinya agak jauh."

Proyek Bunuh DiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang