Kecil

1.5K 246 7
                                    

Dilan memarkirkan motornya di dekat kumpulan motor sport. Motornya yang terkesan jadul, terlihat mencolok.

"Woe Lan!" Moreo, teman Antares, yang pertama menyapa Dilan dan yang lain ikut mengalihkan perhatiannya, termasuk Antares. Alis laki-laki itu mengerut.

"Matiin rokoknya." Antares menatap satu-satu temannya untuk mematikan rokok mereka.

Dilan tersenyum kecil sambil menyapa satu persatu yang ada disana. Itu tempat nongkrong gengnya Antares. Calderioz.

Bukan rahasia lagi jika Dilan sering bergabung untuk sekedar berbincang atau mencari Antares. Walaupun tidak pernah ikut kegiatan geng, karena Antares tidak memperbolehkan Dilan masuk gengnya.

"Ngapain kesini?" Tanya Antares saat Dilan duduk di sampingnya.

"Urang mau main. Emangnya gak boleh kesini?"

"Boleh kok Lan. Udah gak usah dengerin si Antares." Kata-kata Laskar itu membuat Antares menatapnya tajam.

"Tuh, yang lain aja gak masalah urang disini. Laskar mah baik." Dilan merangkul Laskar yang berada disisi kanannya. Pemuda kekar itu tidak berani membalas rangkulan Dilan, saat mendapati tatapan Antares yang tidak enak padanya.

"Ayo pulang."

"Kumaha sih Res? Urang kan baru nyampe, masa udah disuruh pulang."

"Sama gue." Antares memakai jaket kulit miliknya.

Teman-teman Antares hanya melihat tanpa ikut campur. Sudah biasa dengan kelakuan pemimpin mereka jika menyangkut Dilan.

Dilan masih merengut saat turun dari motornya. Ia sudah sampai di rumah. Tentu saja bersama Antares di belakangnya.

"Padahal urang teh mau ngobrol sama yang lain. Tapi maneh malah ngajak pulang." Dilan menatap Antares yang sedang melepas helmnya.

"Ngobrol sama gue aja."

"Bosen atuh Res. Tiap hari sama maneh mulu."

Antares tidak mempedulikan ucapan Dilan. Ia langsung masuk rumah Dilan seolah itu rumahnya sendiri.

"Permisi bunda." Antares menghampiri bundanya Dilan yang sedang sibuk di dapur.

"Ehh Ares. Kebetulan ini bunda lagi masak. Sini makan siang dulu. Mana Dilan?"

"Ada bun, ini." Antares menarik Dilan untuk berdiri di sampingnya.

"Lo tuh kecil, jangan di belakang gue nanti gak keliatan." Bisik Antares dan mendapatkan delikan protes dari Dilan. Tak lupa geplakan ia layangkan di tengkuk Antares.

"Urang teu kecil ya. Sembarangan."

"Tapi lebih pendek dari gue."

"Itu mah maneh aja yang bongsor."

"Kalo kecil ya akuin aja sih, bocil."

"Lain bocil!"

"Bukan bocil tapi kontet."

"Ares!"

"Udah jangan berantem, sini makan dulu." Bunda melerai pertengkaran mereka.

"Bunda~ Ares nyebelin."

Antares yang tidak peduli langsung duduk dan mengambil nasi. Siap untuk makan. Diam-diam tersenyum saat menyuap nasi, melirik Dilan yang makan dengan cemberut.

Jika Dilan suka mengganggu Antares karena sifat jual mahalnya, maka ada Antares yang akan mengganggu balik Dilan dengan topik tinggi badannya.

Selesai dengan makan siang, Dilan terpaksa mengajak Antares ke kamarnya atas suruhan bunda. Disuruh istirahat katanya. Walaupun Antares sering main kesini dan masuk kamarnya, tetap saja itu menyebalkan untuk Dilan.

"Copot sepatu dulu Res! Nanti kasur urang kotor." Dilan menarik kedua kaki Antares yang menjuntai dari kasur.

"Gak gue naikin kakinya. Tenang aja gak bakalan kotor."

"Lepas dulu."

Antares bangun dari posisi tidurannya. Melepas sepatu dan kaos kaki miliknya. Lalu kembali ke posisi awal.

"Cuci kaki dulu Ares."

"Ribet banget anjir."

"Biar enak istirahatnya. Sekalian ganti baju."

"Baju maneh ada yang disini." Dilan berdiri di depan lemari pakaian mencari baju Antares yang memang suka ditinggal disana.

"Nih. Maneh duluan, nanti urang terakhir." Dilan melempar baju dan celana pendek pada Antares. Lalu yang lebih besar berjalan malas menuju kamar mandi di kamar itu.

"Tadi bunda bilang kalau mau jenguk saudara di Bandung." Dilan membuka suara sesaat setelah keluar dari kamar mandi.

"Lo ke Bandung dong?"

"Urang teu ikut, kan harus sekolah."

"Ohh." Entah kenapa Antares merasa lega saat Dilan tidak harus ikut ke Bandung.

"Berapa hari?" Antares menarik Dilan untuk merebahkan diri di sampingnya.

"5 hari."

"Mau nginep di rumah gue?" Dilan berpikir sejenak. Antares menyingkirkan helaian rambut Dilan yang menutupi matanya.

"Poni lo udah kepanjangan. Nanti gue potong ya?" Dilan mengangguk.

"Gimana? Mau gak nginep di gue?"

"Nanti yang jaga rumah gak ada."

"Kalau gitu gue aja yang nginep disini."

"Papa sama mama maneh gimana?"

"Ya gak gimana-gimana. Mereka kan kerja juga jarang pulang. Mendingan disini ada lo."

"Maksudnya teh ijin. Boleh apa gak?"

"Gampang itu. Mereka kalo denger kata Dilan juga langsung setuju."

"Beneran atuh Ares!" Dilan memukul lengan Antares main-main.

Antares tertawa. "Beneran Lan. Mereka seneng kalo gue main sama lo. Sama anak baik kayak lo."

"Urang bukan anak baik." Gumam Dilan yang tidak sampai di telinga Antares.

"Hah? Lo ngomong apa?"

Dilan menggeleng. Lalu bangkit dari kasur. Berkacak pinggang di hadapan Antares yang masih menatapnya bingung.

"Katanya mau potongin poni urang? Ayok sekarang aja."

Antares ikut berdiri di hadapan Dilan. Mencubit kecil hidung Dilan.

"Kecil mau potong poni ya?" Tanya Antares jahil.

"Urang teu kecil!" Dilan menatap sengit Antares yang berlalu masuk ke kamar mandi.

"Ayo kontet jadi gak?!"

"ARES!"

Tawa keras Antares terdengar di kamar mandi berbarengan dengan omelan Dilan. Dilan hanya berharap Antares tidak memotong poninya miring seperti sebelumnya. Gara-gara itu, Dilan harus memakai topi karena setelah poninya dirapihkan, malah jadi pendek sekali. Dilan malu dan Antares tertawa mengejeknya.

Menyebalkan.

+++

Ares & Kontet | Dilantares/Leatherdenim Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang