Sore itu, Dilan pulang sekolah sendirian tanpa Antares. Biasanya, laki-laki dengan jaket kulit itu akan mengiring di belakang motor Dilan. Tapi hari ini tidak. Saat istirahat tadi pun, Antares juga tidak terlihat.
Banyak pesan Dilan kirimkan tetapi tidak kunjung di balas. Telepon pun tidak diangkat. Hanya suara operator yang menyambut Dilan. Semua teman Antares yang Dilan tahu juga ia tanyai, tapi tidak ada jawaban.
Bahkan Dilan sudah pergi ke markas Calderioz, tapi tempat itu terlihat sepi. Akhirnya Dilan putuskan untuk pulang ke rumah. Antares sudah besar, ia juga pandai berkelahi, tapi tetap saja, Dilan khawatir.
Dilan kembali ke teras rumahnya setelah berganti pakaian dan menaruh tas. Menunggu Antares pulang.
Sudah dua hari Antares menginap di rumahnya. Menemani Dilan yang ditinggal bundanya ke Bandung. Sebenarnya Dilan tidak apa-apa sendirian di rumah, tetapi Antares bersikeras untuk menemaninya.
DRRTTT DRRTTT
Ponsel di genggaman Dilan bergetar tanda ada panggilan masuk. Nama Moreo terpampang di layar. Dengan cepat Dilan menerimanya.
"Moreo, maneh teh kemana? Urang dari tadi telpon gak diang-"
"Dilan! Dengerin gue.."
"Antares dikeroyok, dia masuk rumah sakit."
Tidak ada jawaban yang Moreo dengar dari Dilan.
"Lan, lo denger kan? Pastiin diri lo tenang dulu baru kesini. Bahaya kalo lo naik motor pas lagi kalut. Atau mau gue jemput."
"Dilan? Lan?"
Genggaman tangan Dilan pada handphonenya melemas. Jantungnya berdetak kencang mendengar perkataan Moreo.
Tergesa Dilan raih kunci motor di meja kecil sampingnya. Menaiki motornya meninggalkan pekarangan rumah.
Disepanjang jalan, Dilan berusaha menyadarkan dirinya untuk tetap fokus membawa motornya ke tempat Antares dan gengnya berada. Rumah sakit yang bahkan Dilan tidak tahu.
Ia terlalu panik hingga tidak menanyakan alamatnya. Untung saja waktu di lampu merah ia mendapat pesan dari Moreo. Berisi nama rumah sakit lengkap dengan alamatnya.
Sampai di parkiran rumah sakit, Dilan melihat Moreo disana menunggunya. Moreo meraih tangan Dilan yang dingin. Menuntun Dilan ke dalam.
Dilan tidak mengeluarkan suara begitupun Moreo. Lalu pandangan matanya melihat Antares keluar dari UGD. Lutut Dilan melemas saat matanya bertatapan dengan Antares.
"Kontet~" Antares masih terlihat cengengesan menyapa Dilan.
BRUKK
Antares mengerjapkan matanya terkejut. Dilan memeluknya. Sangat erat.
"Cil.."
Tubuh Antares sedikit menunduk ke arah Dilan. Lengan kecil itu masih erat memeluk leher Antares.
Hati Antares mencelos saat merasakan seragam pada bahunya basah. Ia lepas pelukan Dilan untuk melihat kondisi yang lebih kecil.
"Dilan, hey.. Liat gue sebentar. Dilan?"
Antares menangkup kedua pipi berisi Dilan. Hanya sebentar, karena Dilan kembali menenggelamkan wajahnya di bahu Antares. Tapi itu sudah cukup bagi Antares untuk melihat wajah Dilan yang memerah karena menangis.
Antares balas merengkuh pinggang Dilan. Mengelus punggung sempit itu menenangkan. Antares menatap satu persatu temannya, memberi isyarat untuk pulang lebih dulu.
Antares merogoh saku celana Dilan untuk mengambil kunci motor. Lalu melemparnya pada Ardhan. Meminta temannya itu, untuk membawa motor Dilan.
Setelah kepergian teman-temannya, Antares menggiring Dilan untuk duduk di kursi panjang yang tersedia.
"Lan, gue gak apa-apa. Udah ya, berhenti nangisnya. Nanti pusing." Antares mengelus belakang kepala Dilan.
"Gue minta maaf gak ngabarin. Hpnya gue matiin. Maaf bikin lo khawatir."
Dilan mengusap sisa air mata di pipinya. Lalu mendongak menatap Antares. Tangannya mengelus pipi Antares.
Memang benar, Antares tidak mendapatkan luka yang parah. Tapi Dilan tetap meringis seolah ikut merasakan perih. Sudut bibir sobek, tulang pipi lebam, dan pelipis hampir dekat dengan mata.
"Lain kali kabarin. Tadi Moreo bilangnya maneh dikeroyok terus masuk rumah sakit. Gimana urang gak panik."
"Emang anjing Moreo." Antares mengumpat saat temannya memberi info dilebih-lebihkan.
"Gue dikeroyok gak separah yang lo pikirin, Lan. Gue masih bisa atasi. Lagian gak lama, anak-anak pada dateng."
"Dikeroyok ku saha?"
"Geng sebelah. Biasa, suka cari ribut."
"Tapi beneran, maneh gak apa-apa?"
"Sejujurnya gue takut Tet."
"K-kenapa Res? Ada yang sakit? Ada luka lain?" Dilan mengecek tubuh Antares panik.
"Gue takut muka gue gak ganteng lagi, gara-gara nih luka."
Ekspresi panik Dilan lenyap seketika. Ia geplak kepala Antares dan bangkit pergi.
"Ehh mau kemana?"
"Pulang, males urang liat maneh."
"Yeee kok gitu, tadi aja nangis-nangis sekarang ditinggalin."
"Tungguin Lan!" Antares berlari kecil menyusul langkah Dilan. Merangkul bahu Dilan.
"Pulang sendiri sana."
"Gak bisa dong, lo pulang bareng gue."
"Mbung." Dilan melepas rangkulan Antares.
"Mau pulang pake apa? Motor lo dibawa Ardhan."
Langkah kaki Dilan berhenti. Ia menatap Antares bertanya.
"Kok bisa?"
"Ya bisa. Tadi gue yang ngasih kuncinya."
Dilan merogoh saku celananya. Nihil. Tidak ada.
"Gak ada kan. Yok pulang, keburu malem." Antares meraih tangan kanan Dilan untuk digenggam. Dilan merengut pasrah dengan sikap Antares yang seenaknya.
Tapi di satu sisi, Dilan juga merasa lega Antares tidak apa-apa. Dilan bersyukur akan itu. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jika Antares berakhir lebih parah dari ini.
Dilan melepas genggaman tangan mereka saat sudah keluar. Lalu berlari meninggalkan Antares.
"Yang sampai parkiran terkahir, traktir makan sebulan!"
"Kontet anjing, lo curang!!" Antares berlari mengejar Dilan yang jauh di depan. Tertawa mengejeknya.
+++
KAMU SEDANG MEMBACA
Ares & Kontet | Dilantares/Leatherdenim
Fiksi Penggemarantares dan dilan ini temenan, walaupun antares gak mau ngakuin. dilan itu orangnya berisik, tapi kalo sehari antares gak denger celotehan dilan, dia bakal kelimpungan. jadi mereka ini apa? temen bukan, musuh bukan, pacar juga bukan. kalo kata antar...