2. Semudah Itu?!

18 5 0
                                    

Malam itu, desah kasar angin terasa menusuk kulit. Namun dinginnya tak mampu memadamkan api yang membakar dada. Tapi meski begitu, aku tetap memilih untuk diam. Merasakan rintik hujan yang masih tersisa, sembari diam-diam menghitung waktu yang terus bergerak.

Sepuluh, sebelas ... Aku menghela nafas panjang. Seharusnya aku tidak berada dalam situasi seperti ini. Menahan diri untuk tidak melampiaskan emosi. Dan terus mencoba untuk menenangkan diri.

"Jadi?"

Setelah menghabiskan waktu berpuluh-puluh menit hanya untuk diam. Saling menyakiti tanpa perkataan. Akhirnya, aku memutuskan melontarkan pertanyaan. Untuk meminta sebuah penjelasan.

"Aku ... Gak mau." Bahkan kepalanya masih tertunduk, dengan tangan yang saling bertaut.

Aku menatapnya sekilas, lalu kembali membuang pandanganku ke depan. Sejujurnya rasa kecewa yang kemarin dia torehkan, masih sangat membekas dalam ingatan. Bahkan, berada dalam tempat yang sama dengannya terasa begitu menyesakkan.

"Lalu, kenapa?"

Aku bertanya hanya untuk menyakiti diri sendiri. Memikirkan alasan kenapa dia kembali saat ini.

"Aku-- aku gak tau, semuanya terjadi gitu aja. Ki-kita chattingan, terus dia minta buat ketemu, besoknya lagi, besoknya lagi, terus--'

"Kamu mulai nyaman sama dia?"

Kepalaku menoleh cepat. Memotong perkataannya. Lalu waktu terasa berhenti saat itu juga ketika akhirnya tatap kami bertemu. Mata itu, mata yang selalu membuatku jatuh cinta berkali-kali. Tatap yang selalu meneduhkan untuk di selami. Tetapi sekarang, menatap mata itu terasa begitu menyakitkan. Terasa begitu memuakkan.

"Maafin aku." Pandangannya semakin meredup. Tangannya berusaha menggapai jemariku.

Lalu--

"Aku mohon maafin aku."

--satu tetes air mata berhasil jatuh dari matanya, lalu turun dan menetes tepat di atas punggung tangan ku. Lalu setelahnya perempuan di depanku ini mulai terisak.

"Aku tau aku salah."

Karena memang begitu adanya.

"Aku tau aku udah nyakitin kamu."

Bahkan lebih dalam dari yang kamu kira.

"Aku gak mau kamu ninggalin aku."

Harusnya kamu sadar, siapa yang memulai.

"Aku mohon maafin aku."

Harusnya juga kamu tau, akhirnya akan seperti apa.

"Aku salah, aku pikir aku bakal nemuin apa yang aku dapet dari kamu di diri dia. Ternyata engga, setelah kamu pergi, aku gapernah nemuin orang lain yang bisa memahami aku kaya kamu. Gapernah ada orang lain yang bisa perlakuin aku sebaik kamu. Aku salah, aku salah."

Harusnya kamu sadar sejak awal.

Aku merapatkan bibirku. Sementara tatapanku tak lepas darinya. Diam diam merasakan sesuatu yang mulai merayap ke dalam dada ku, mengikatnya, lalu membuatku kepayahan. Menyesakkan.

"Aku mau kita perbaiki sama sama ya? Mulai kembali dari awal? Aku janji gak bakal ngilangin lagi kesalahan itu."

"Semudah itu?!"

Cukup.

Cukup dari tadi aku mencoba menahan diri. Tangangaku yang semula dia genggam, aku hentak dengan keras.

"Semudah itu kamu bilang maaf, terus minta buat kembali?! Semudah itu hah?" Suaraku meninggi.

Nafasku tersengal, semuanya terasa begitu memuakkan.

"Kamu ngomong semua itu seolah gak pernah ngelakuin apa-apa. Kamu gak tau gimana hancurnya aku liat kamu jalan sama dia, kamu gak pernah tau gimana sakit nya aku ngeliat kamu lebih milih sama dia dari pada sama aku. Kamu juga gak pernah tau gimana rasanya denger semua pengakuan sialan ini dari mulut kamu."

"Harus nya kamu sadar dari awal! Harusnya kamu tau kalo semua yang kamu lakuin itu salah!"

Tangisnya semakin keras, sedangkan aku, aku juga ikut terisak bersama semua perkataanku.

"Kamu gak pernah tau kan, ini, disini--

Kepalanya mendongak.

--hancur!"

Telunjukku tepat mengarah ke dada.

"Aku-aku, maaf aku--"

"Dan sekarang kamu datang lagi setelah semua usaha yang aku lakuin cuma buat lupain kamu? Setelah semua usaha yang aku lakuin cuma buat ngilangin rasa sakit nya. Tertatih-tatih buat pergi sejauh mungkin dari rasa sakit itu. Dan sekarang kamu datang lagi buat apa? Buat hancurin semua usaha aku?"

"Jawab! Buat apa kamu datang lagi setelah buat aku kaya gini?"

Hujan semakin deras, tapi dua manusia bodoh ini masih bertahan di bawahnya.

"Aku nyesel udah buat kamu kaya gini, aku nyesel udah nyakitin aku. Tapi a-aku mohon, kasih aku kesempatan sekali lagi. Aku mohon."

Aku menggelengkan kepalaku tidak percaya. Lalu terkekeh pelan.

"Kesempatan sekali lagi?" ulangku.

Aku membiarkan detak jantung yang dari tadi bertalu ini mengisi hening di antara derasnya suara hujan.

"Dan ngebiarin diri buat di sakiti kembali. Gitu?"

Dia menggeleng pelan.

"Engga. Kesempatan sekali lagi sama aja memasang diri buat tersakiti kembali. Luka kemarin aja belum sepenuhnya sembuh, dan sekarang kamu datang cuma buat minta kesempatan sekali lagi?" Aku terkekeh untuk kesekian kalinya.

"Bodoh!"

Lalu setalah itu aku berdiri, melangkah meninggalkan tempat yang menyesakkan itu. Meninggalkannya yang hanya bisa berteriak memohon untuk kembali.

Lihatlah, manusia. Yang bisa mereka lakukan setelah berbuat kesalahan, hanya menyesalinya. Lalu mereka berpikir bisa memperbaikinya kembali.

Tapi sayangnya tidak semua manusia bisa memberi kesempatan itu.

Karena,

Kesempatan hanyalah sebuah perantara untuk membuat kesalahan yang sama berulang kali. Lagi, dan lagi.

Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang