Dipertengahan bulan Juli, diantara dinginnya hembusan angin malam yang terasa menusuk kulit, melihat sosok nya masih terasa menyayat hatiku.
Entah kebetulan macam apa yang semesta perbuat kali ini sehingga aku bisa berdiri bersampingan dengannya. Bermula dari ketidaksengajaan bertemu di persimpangan jalan di Balai Kota, mengharuskan aku membuka kembali kotak patah hati yang selama ini coba ku rakit kembali.
"Kamu apa kabar?"
Suara laki-laki di sampingku mengudara, lalu perlahan membelai telingaku hanya untuk kembali mencabik serpihan yang bahkan masih berserakan di dalam sana.
"Baik. Selalu baik," ucapku yang menyerupai bisikan, karena untuk berbicara saja, rasanya sangat kelu.
Lalu, dia mengangguk. Setelahnya, laki-laki yang kali ini mengenakan jaket denim itu membiarkan jeda panjang membentang diantara kita. Entah apa yang dia pikirkan saat ini, tetapi sungguh, tidakkah dia tau? Berada sedekat ini dengannya seperti menari di atas serpihan kaca bagiku.
"Aku ... nyesel. Bener-bener nyesel udah ninggalin kamu, Sa."
Aku menoleh untuk memastikan, bahwa benar-benar dia yang mengucapkan hal itu. Lalu, saat mata kita akhirnya bertemu, remasan kuat di hatiku semakin terasa mengikat.
"Demi tuhan, Sa. Aku bener-bener nyesel udah khianatin kamu dulu. Aku-aku, argh!" Laki-laki itu mengusap kasar wajahnya. Setelah itu tatapannya kembali tertuju padaku.
"Aku udah nyakitin kamu, ya, Sa?"
Ditengah sunyinya malam dengan bintang yang bertaburan di atasnya, aku terkekeh pelan. Apa alasan dia tiba-tiba mengatakan hal ini? Kepalaku menengadah ke atas, hanya untuk memastikan, tidak ada air mata yang harus menetes lagi untuk laki-laki ini.
"Kamu masih nanya kaya gitu?" lirihku di akhiri dengan tawa kecil.
"Kamu masih nanya kaya gitu, Devan? Kamu masih nanya kaya gitu disaat aku harus ngelewatin ribuan malam cuma buat nangisin laki-laki kaya kamu?" Emosi yang selama ini belum sempat aku keluarkan rasanya ingin membeludak saat ini juga.
Kembali ku tatap laki-laki yang dulu selalu ku puja-puja, laki-laki yang selalu ku tunggu kehadirannya, bahkan yang sempat ku anggap sebagai rumah kedua ku.
"Otak kamu, kamu simpen di mana, Devan?"
"Sa, aku-aku gak maksud kaya gitu. Aku—-"
"Buat apa, sih, Dev, kamu datang lagi? Apa belum puas buat aku kaya gini? Belum puas buat aku menderita sampe rasanya hampir sekarat?"
Dadaku seperti di hantam benda yang sangat keras bertubi-tubi. Sungguh, apa laki-laki ini tidak paham, bahwa kehadirannya tak lebih dari sebuah bencana bagiku?
"Sa ... maafin aku. Aku, gak ada maksud buat bikin kamu sakit hati. Aku tau aku salah dan aku nyesel, Sa."
Aku tau, dari sorot mata yang di keluarkan olehnya, tidak ada kebohongan yang terbaca. Dia benar-benar menyesali perbuatanya. Tapi apa itu cukup? Bukankah sudah terlalu terlambat untuk menyesali hal yang bahkan sudah meluluh-lantahkan semuanya?
"Kenapa baru sadar sekarang, Devan? Kemana aja kamu selama ini? Kemana aja kamu disaat aku bener-bener butuh penjelasan dari kamu? Kemana aja kamu disaat aku berjuang mati-matian buat bertahan dari rasa sakit yang bahkan masih kamu pertanyakan keberadaanya tadi?" Kali ini aku menyerah. Aku tidak bisa lagi menahan emosi yang selama ini ku pendam tanpa pernah punya kesempatan untuk aku lampiaskan.
"Sa—"
"Kemana aja kamu selama ini, Devan?! Ninggalin aku dengan jutaan rasa sakit, yang bahkan buat ngilanginnya aja, aku harus tertatih dengan cabikan dimana-mana. Sekarang kamu kesini buat apa, hah?! Disaat aku perlahan bisa sembuh dari luka itu, ngapain kamu harus nunjukin muka sialan kamu itu lagi dihadapan aku? Ngapain kamu harus datang lagi disaat aku udah hampir lupain kamu?!" Tanpa sadar, air mata yang sedari tadi coba aku tahan turun tanpa bisa aku kendalikan. Satu isakan lolos dari mulutku diikuti isakan lainnya.
Demi tuhan, sakit nya masih terasa sama seperti ketika dia pergi dengan orang lain tanpa memberikan kejelasan untuk hubungan kita.
"Ngapain kamu datang lagi, Devan?" Suaraku mulai memelan, isakan yang keluar dari mulutku semakin terdengar menyayat hati. Satu pukulan lemah dariku akhirnya mendarat di dada laki-laki di hadapanku ini.
Satu detik kemudian, tangan besar terasa menangkup tubuhku untuk kemudian merengkuhnya ke dalam dekapan yang selama ini selalu ku rindukan. Maka tangis yang dari tadi keluar pun semakin keras terdengar.
"Kamu gak tau sehancur apa aku waktu kamu ninggalin aku, Devan. Kamu gak pernah tau sesakit apa rasanya ngeliat kamu jalan sama dia. Kamu juga gak bakal tau segila apa rasanya nyari-nyari kamu demi menuntut sebuah kejelasan. Kamu jahat banget, Dev," lirihku dengan sesak yang terasa terus menghimpit.
"Maafin aku, Sa. Maafin aku. Aku bodoh banget udah ninggalin aku. Demi tuhan, Sa. Maafin aku, aku nyesel udah buat kamu sehancur ini."
Walaupun aku tau, yang dikatakannya adalah sebuah kejujuran, tetapi hal itu sama sekali tidak bisa menyembuhkan luka yang dia torehkan.
"Sa ... aku mohon maafin aku. Aku bisa perbaiki semuanya, aku janji bakal perbaiki semuanya."
Dengan segenap tenaga yang masih tersisa, aku mendorong badannya untuk menjauh. Segampang itu dia mengatakannya?
"Perbaiki kamu bilang? Perbaiki apa, Devan?" Mataku menatapnya nyalang. Sunggu aku tidak habis fikir dengannya.
"Perbaiki hubungan kita, Sa. Hubungan kita belum berakhir, kan? Aku-aku belum akhirin ini dulu. Aku janji, Sa. Aku gabakal ulangin kesalahan ini."
Maka untuk begitu saja, satu tamparan berhasil mengenai rahangnya. Laki-laki itu hanya diam tanpa bereaksi.
"Masih berani kamu ngomong kaya gitu setelah semua yang udah kamu lakuin?"
Kali ini, rasanya amarahku berhamburan. Setelah semua hal yang dia lakukan, setelah semua rasa sakit yang dia berikan, masih berani dia mengatakal hal seperti itu?
"Kamu emang sialan, Devan. Akhirnya aku punya alasan yang lebih kuat buat bener-bener bisa lupain kamu."
Rasa sakitnya benar-benar terasa sekarang. Bahkan ketika aku menghela nafas, udara yang masuk ke dalam paru-paruku terasa seperi jarum yang menusuk kedalam.
"Hubungan kita dulu emang mungkin belum berakhir. Maka dari itu, sekarang, aku yang bakal mengakhiri semuanya, Devan. Mulai saat ini, kamu gaberhak nunjukin muka kamu lagi di depan aku dengan alasan apapun."
Setalah mengatakan hal itu, dengan tergesa aku berbalik untuk meninggalkan tempat ini. Meninggalkan laki-laki yang hanya bisa berteriak memanggilku untuk kembali dengan sisa-sisa luka yang harus ku obati kembali.
Mungkin memang benar, saat ini tuhan menjauhkan ku darinya, karena dia memang bukan laki-laki yang baik untuku.
Setalah berlari cukup jauh dari tempat menyakitkan itu, tubuhku akhirnya luruh. Bersimpuh dengan perasaan hancur sekaligus kelegaan yang selama ini aku inginkan.
Mungkin sekrang sudah saatnya bagiku untuk benar-benar bisa melangkah jauh dari bayang-bayangnya. Tanpa pernah harus melihat lagi ke belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anantara Rasa
Short StorySepenggalan kisah yang akan terus berlanjut sampai menemukan titik usai. Potongan kejadian yang dituangkan lewat kata-kata seiring dengan berjalannya rasa. Pengalaman yang mungkin tidak bisa dialami semua orang, namun, disini dapat ikut merasakan. D...