6. Siapa yang salah?

21 2 0
                                    

Entah sudah berapa kali embusan nafas yang terdengar kasar itu keluar dari mulutku. Berada diantara ribuan orang yang sedang berlalu lalang seperti ini, malah membuatku semakin merasa sendiri.

Maka setelah kehabisan kata untuk merutuki diri, aku memutuskan untuk menepi. Duduk di kursi trotoar yang besi nya kini terasa sangat dingin.

Tetapi bahkan, ketika tubuh telah bersandar sepenuhnya pada kursi di belakangku, perasaan yang dari tadi bersarang dalam hatiku masih saja menganggu. Sudah ribuan kali aku mencoba menghalau, namun kenyataannya dia tak kunjung pergi.

Ingin aku berteriak sekencang mungkin agar semuanya menghilang. Tetapi ketika melihat orang berlalu-lalang di depanku sembari sesekali mereka tertawa juga bercanda, aku mengurungkan niatku. Mana mungkin aku mengganggu kebahagiaan orang dengan suaraku.

Lalu disaat semuanya terasa menarikku hingga terperosok ke dalam, suara deritan kursi yang aku duduki menginterupsi. Seseorang duduk disampingku dengan tatapan lurus ke depan.

"Gue udah tau semuanya." Aku menahan nafas ketika dia mengatakan itu. Cepat atau lambat, dia memang akan tau. Namun kini, rasanya bukan saat yang tepat bagiku untuk menjelaskan semuanya.

"Kenapa berhenti? Setelah semua hal yang lo lakuin, setalah banyak hal yang kita korbanin, kenapa harus berhenti?" Yang kudengar, suaranya seolah menghakimiku. Menyalahkan ku atas semua yang terjadi saat ini.

"Lo gak akan tau sesakit apa rasanya," desisku. Perkataannya tadi membangkitkan sesuatu dalam diriku.

Pria di sampingku ini terkekeh pelan, lalu kepalanya menoleh kepadaku dengan tatapan menusuk.

"Lo buat dia nangis," tekannya.

"Dan lo percaya dia nangis gara-gara gue putusin?" Aku menggeleng tak percaya.

"Terus gara-gara siapa?! Dia sendiri yang ngadu sama gue! Dia nangis-nangis sambil bilang sakit hati! Lo pikir gara-gara siapa kalo bukan karna lo?!" Suaranya meninggi, membuatku sedikit memundurkan tubuh.

"Lo sia-siain kesempatan yang gue kasih buat bahagiain dia."

Perkataan terkahir nya benar-benar membuat emosi yang sedari tadi mengendap dalam diriku berhamburan.

"Gue gak pernah minta itu dari lo!" teriakku.

"Gue gak pernah minta lo relain dia buat gue! Seharusnya lo gak usah so' so'an ngorbanin diri dengan kasih hati dia buat gue. Karena dari awal, emang cuma lo orangnya! Cuma lo yang dia mau!" Nafasku tersengal. Sesak di dalam hatiku benar-benar menarikku hingga tak bisa keluar.

Pria di depanku ini menatap ku berang. "Gue ngelakuin itu karena gue peduli sama hati lo! Gue tau lo lebih dulu suka sama dia di banding gue, makanya gua relain di buat lo. Terus sekarang, setalah semua pengorbanan yang gue lakuin, lo malah sakitin dia?" Tatapannya menantangku.

"Karna emang semua yang lo lakuin itu gaada gunanya!"

Sepertinya, perkataaku barusan membuat emosinya semakin tersulut. Terbukti dengan tangannya yang menarik kerah kemejaku dengan kuat.

"Apa lo bilang?!"

Dengan sekuat tenaga aku melepaskan cengkeramannya di bajuku, lalu menghempasnya.

Kami bersitegang tanpa memperdulikan orang-orang di sekitar.

"Karna emang itu kenyataannya! Dari awal lo bilang kalau lo mau relain dia buat gue, gue udah gak setuju. Yang gue mau, kita sama-sama berjuang buat dapetin dia. Walau seandainya bukan gue yang dia pilih, gue nggak masalah!" Aku menjeda perkataanku sebentar. Emosi Yang meluap membuatku sulit untuk mengendalikan diri.

"Tapi lo, lo egois! Lo terus rayu dia supaya dia terima ajakan gue buat jadi pacarnya, dengan dalih lo lebih peduli sama hati gue. Tanpa pernah tau, kalo sebenernya yang dia mau itu cuma lo. Lo egois, Rev! Lo egois sama hati lo! Lo egois sama perasaan dia, dan lo egois sama kita semua!"

Pria yang sudah menjadi temanku hampir tiga tahun lamanya itu merapatkan bibirnya. Matanya memerah dengan nafas memburu.

Alasan mengapa perseteruan ini terjadi adalah karena dulu, saat aku menyukai kembali sesosok perempuan setelah sekian lamanya, perempuan yang selalu hadir di antara kita berdua. Semua hal tentang dia selalu kuceritakan kepada pria di depanku ini. Sampai suatu saat, dia mungkin menyadari bahwa dirinya memiliki perasaan yang sama kepada perempuan itu. Tetapi karena dia mengetahui bahwa aku menyukainya terlebih dahulu, dia memilih untuk berhenti. Tanpa pernah tahu bahwa perempuan yang aku sukai ternyata menyukai dirinya.

Sekilas memang terlihat tidak ada yang salah. Seseorang mengorbankan perasaannya demi untuk melihat sahabatnya bahagia. Tetapi kondisinya saat itu berbeda.

"Lo gak pernah tahu kan? Selama gue menjalani hubungan sama dia, gue gak pernah lihat diri gue di mata dia! Yang ada itu cuma lo! Lo pikir gua gak tersiksa selama ini, hah? Gua tiap hari berjuang buat dapetin hati dia, tapi gak pernah ada hasilnya. Karena dari awal emang cuma ada lo!"

Mungkin sekarang air mataku sudah berdesakan keluar. Mengingat selama ini aku yang selalu berjuang, namun pengabaian yang selalu aku dapatkan.

Sedangkan dia, sudah menunduk bersama dengan isakannya.

"Lo pikir dengan lo yang berkorban, cuma hati lo aja yang terluka?" ucapanku mulai memelan.

"Lo salah." Kepalanya perlahan mendongak. Tangisnya sudah reda, tersisa isakan kecil.

"Lo, dia, bahkan gue sama-sama terluka karena hal itu! Persahabatan kita yang hancur, lo yang harus korbanin hati sama perasaan lo dan dia yang terpaksa harus sama gue."

"Terus gue? Tiap hari gue harus makan hati selama pacaran sama dia." Aku menarik nafas sedalam yang aku bisa.

"Kalau dari awal lo gak egois sama hati lo, mungkin semuanya nggak bakal kayak gini, Rev. Lebih baik gue terluka sendiri dengan ngeliat dia lebih milih lo, daripada kayak sekarang, gue cuma bisa milikin raga dia enggak dengan hatinya." Bahkan ketika aku menghela nafas, rasa sakitnya mengiringi udara yang keluar dari paru-paru ku.

"Itu lebih sakit lagi kalo lo mau tau," ucapku dengan senyuman kecut. Dia hanya diam terpaku dengan pandangan menunduk.

"Terus lo sekarang ke sini cuma buat nyalahin gue? Cuma buat mojokin gue karena gue putusin dia, tanpa mau liat sudut pandang gue?"

"Gue juga manusia, Rev. Kalo cinta yang selama ini gue kasih bertubi-tubi buat dia disia-siain gitu aja, ya, gue juga nyerah, Rev. Gue berhenti, hati gue butuh istirahat. Kalo lo masih mau percaya kalo dia nangis gara-gara gue putusin, gara-gara dia gue sakitin, silakan." Untuk terakhir kalinya, aku menatap wajah pria di depanku dengan gamang. Dia menataku balik dengan pandangan bersalah. Aku tau.

"Pacarin aja sekalian, Rev. Gue selesai."

Setelahnya aku mencoba berdiri dengan rasa nyeri di sekujur tubuhku. Rasanya benar-benar nyata.

Setelah dirasa tidak ada lagi yang perlu dibahas Aku berjalan terseok menjauhinya. Meninggalkannya tanpa sepatah kata pun lagi.

Aku sadar, di saat seseorang terluka, dia akan selalu merasa menjadi orang yang paling tersakiti. Tanpa melihat apakah ada orang lain yang ikut terluka bersamanya.

Ketika sudah benar-benar menjauh dari jangkauan orang-orang, tubuhku meluruh. Bersimpuh dengan rasa sakit yang terus menghantam.

Ditemani isakan yang terus berdesakan, aku menangis. Menumpahkan semua perih yang sempat tertahan, berharap setelah meluapkan semua ini segalanya bisa kembali pulih secara perlahan.

Anantara RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang