08: Mind Control Drug

98 6 0
                                    

[Name] berusaha menenangkan Armin yang menangis histeris. Hadirin acara pemakaman yang lain pun menatap prihatin Armin. Eren, Jean, Connie, Sasha dan teman-teman yang lain berusaha menghibur [Name] dan Armin yang baru saja kehilangan keluarga mereka.

Setelah acara pemakaman selesai, polisi berbicara dengan Armin dan [Name]. "Kami menemukan hanya sidik jari nyonya Annie yang ada di pisau, dan juga kami menemukan surat wasiatnya. Dia mengaku kalau dia menculik anak kalian dan membunuhnya kemudian mengakhiri hidupnya sendiri karena merasa menyesal,"

"Ini surat wasiat yang kami temukan di TKP," Polisi itu memperlihatkan surat tersebut pada Armin dan [Name].

Armin memegang surat bernoda darah itu dan membacanya. Sementara [Name] membekap mulutnya sendiri seolah tak percaya dengan isi surat wasiat itu.

"Ini benar-benar tulisan Annie..." Lirih Armin. "Aku sangat mengenalinya."

"Kami turut prihatin," ucap polisi itu. Armin mengembalikan surat itu pada polisi kemudian menundukkan kepalanya dengan lesu di tempat duduknya. [Name] mengusap bahu Armin lembut untuk menenangkannya. Kemudian kedua petugas polisi itu pamit.

Armin masih duduk terdiam di tempatnya sambil menundukkan kepalanya. [Name] pun menemaninya sampai semua orang pulang dari rumah duka.

"Armin, maafkan aku karena aku tidak bisa menjaga Teresa." Ucap [Name].

"Itu bukan salahmu." Jawab Armin.

[Name] memeluk Armin untuk menenangkan hati suaminya itu. Armin terisak di dalam pelukan [Name].

"Aku tidak menyangka Annie akan berbuat begitu..." Isak Armin.

"Aku juga....." Balas [Name].

꒦꒷♡꒷꒦

Baris-baris tulisan di dokumen di atas mejanya tampak seperti semut yang berbaris. [Name] hanya termenung menatap dokumen itu. Hingga akhirnya--

"Dokter? Dokter [Name]?" Panggilan itu menyadarkan [Name] dari lamunannya.

"Oh, ya?" [Name] menatap seorang perawat di sebelahnya.

"Apa anda baik-baik saja?" Tanya perawat berambut pendek itu.

"Ya, aku hanya..."

"Saya mendengar kabar tentang anak tiri anda..." Ucap perawat itu ragu. "Saya turut prihatin... Anda pasti sangat terpukul,"

[Name] memaksakan senyum. "Terimakasih, Petra,"

"Apa anda sudah selesai membaca dokumennya?" Tanya perawat yang bernama Petra itu. "Itu adalah laporan pasien minggu ini."

"Oh, ya... Ya, aku harus lebih teliti membacanya," Ucap [Name].

"Kalau tidak ada yang akan anda sampaikan pada saya, saya akan pergi dulu mengurus para pasien," Ucap Petra.

"Ya, silahkan," balas [Name].

Petra pun keluar ruangan dan kembali menutup pintu kantor [Name]. Sementara [Name] kembali mencoba fokus membaca dokumen di mejanya. Namun ia tetap tidak bisa fokus. Bayangan Teresa yang sudah tidak bernyawa dengan mata terbuka lebar seolah menatapnya dengan kosong kembali terlintas di kepalanya. Ia pun menggelengkan kepalanya untuk mengusir ingatan itu.

"Tenanglah... Itu semua karena Annie... Benar, itu bukan salahku..." Gumam [Name] mencoba membohongi dirinya sendiri.

Ia pun bangkit dari kursinya dan pergi keluar ruangan kantornya. Menaiki lift turun ke lantai satu dan pergi ke parkiran. Ia menaiki mobilnya setelah mengatakan pada perawat bahwa ia hanya akan pergi sebentar.

Obsess [Armin X Reader]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang