10 : Afeksi

9.5K 1.4K 52
                                    

10 : Afeksi

Miwa baru selesai berganti pakaian untuk tidur saat menerima panggilan video dari Ibu. Mereka baru saja pulang dari acara makan malam di pinggir pantai. Fayas dan tim menyediakan ikan bakar sedangkan peserta trip bisa duduk di meja panjang yang tak jauh dari tepi pantai. Fayas dan tim juga menyediakan gitar sehingga makan malam mereka ditemani lantunan lagu yang lebih baik dikatakan berisik daripada mendayu. Semua orang bersorai riang. Hingar bingar kegembiraan itu tentu tak hanya dirasakan oleh mereka tetapi juga peserta trip dari travel lain atau orang-orang yang datang secara mandiri ke Pulau T. Saat malam, suasana Pulau T begitu ramai sekali, semua orang keluar dari penginapan maupun rumahnya. Seolah menjelaskan bahwa pulau wisata ini tak akan pernah sepi.

"Nggak apa-apa, Bu," Miwa menjelaskan ketika melihat raut wajah Ibu masih khawatir setelah ia menceritakan lecet yang dia dapatkan saat melompat snorkeling tadi. Ini pertama kalinya Miwa pergi sendirian. Benar-benar sendirian, tanpa teman dan itu bukan hanya menjadi buah pikir Nazira, adiknya, tapi juga kedua orang tuanya.

Ia memutuskan untuk duduk selonjoran di ruang tengah dan mengarahkan kamera ke luka kaki yang telah ditutupi beberapa plester. "Nggak sakit, Bu. Lusa, kan, kita semua mau diving sambil berlayar. Harusnya udah sembuh, Bu." Ia kembali menjelaskan dengan tenang, tanpa beban sama sekali.

Tepat saat itu, Elang keluar dari kamar. Miwa tersenyum tipis dan dibalas Elang dengan senyum serupa. Pemuda itu melewatinya, pergi ke teras yang memang terdapat kursi santai. Tangannya membawa ponsel, asbak dan rokok.

"Yakin itu nggak apa-apa, Miw? Kalau infeksi bagaimana? Kamu mau menyelam loh."

Miwa kembali mengarahkan kamera pada wajahnya, dia tersenyum sumringah. "Jangan didoain infeksi, dong, Bu. Indah banget soalnya. Kapan-kapan Miwa ajak Ayah dan Ibu ke sini, kita ambil trip yang private aja."

"Ziya juga."

Miwa terkekeh. "Ziya juga kalau nggak sibuk."

Ibu menganggukkan kepala. "Adikmu itu sejak kerja, sibuknya minta ampun. Katanya lagi masa orientasi, jadi harus menurut sama senior. Ibu takut, Miw, nanti Ziya dirundung kayak berita-berita. Adikmu itu nggak bisa bela diri kalau di depan orang lain. Takutan anaknya, beda sama kamu."

Miwa meringis kecil, mengingat keras kepala Nazira hanya berlaku di kelurga mereka. "Ibu tenang aja. Ziya pasti bisa menyesuaikan diri dengan baik. Trus ... bos besarnya Ziya kan, Ibu kenal."

Ibu menanggapi dengan senyuman. "Ibu nggak bahas Arsya ya, Miw, dari tadi."

"Faktanya kan, Ziya satu kantor sama dia, Bu," balas Miwa. Tampak dari layar ponselnya, Ibunya tengah salah tingkah. Pasalnya, tidak ada yang berani membahas hubungannya dengan Arsya pasca putus. Seolah-olah, semua anggota keluarganya sepakat diam dan membiarkan Miwa memilih jalan hidup berikutnya.

Miwa menarik napas panjang dan berusaha mengenyahkan pikiran tentang laki-laki itu. Lagi. Biasanya, jika sedang teleponan dengan Ibu begini, Miwa akan menceritakan terkait dirinya, Nazira dan Arsya. Semua perkembangan hidup mereka tak akan alpa diketahui oleh orang tuanya. Dan, meskipun hanya menceritakan objek yang sama ... tidak ada yang bosan sama sekali.

"Ayah mana Bu?" Tanya Miwa untuk memecah keheningan.

Ibu menunjuk salah satu sudut rumah dengan dagu. "Lagi packing-in lauk buat Ziya. Ziya kangen masakan Ibu."

Miwa membelalakkan matanya. "Belum juga sehari ditinggal. Ibu tumben mau masakin buat Ziya?"

"Ziya bilang kangen masakan rumah."

Miwa meringis, "Ih. Bohong itu, Bu. Itu karena nggak ada aku yang biasanya masak buat dia," Miwa mengulum bibir. Beberapa detik kemudian, sosok Ayah muncul di dalam layar ponselnya.

We Have To Break Up | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang