36 : Mari Akhiri Segalanya

14K 1.6K 217
                                    

36 : Mari Akhiri Segalanya

Miwa suka berada di kamarnya. Di rumah masa kecilnya, jendela kamarnya menghadap tembok, jadi dia tidak bisa menikmati pemandangan luar sambil bermenung. Tetapi di rumahnya yang sekarang, Ayah mengabulkan permintaannya untuk membuatkan kamar dengan jendela menghadap ke barisan bukit dan hamparan sawah yang ada di belakang rumahnya.

Dia selalu suka duduk di depan jendela-dengan menarik kursi yang ada di meja belajarnya dan membuka tirai lebar-lebar. Wajahnya pasti terlihat dari luar sana-oleh orang-orang. Tidak apa-apa. Miwa ingin menikmati waktu singkat kepulangannya ini.

Dari jendela kamar, dia melihat para petani mulai memanen hasil sawahnya. Beberapa titik tampak berasap, menandakan bahwa tanaman sudah selesai dipanen. Tak jauh dari hamparan sawah itu, mobil-mobil berlalu lalang dari jalan besar.

Jika menikmati pemandangan ini dengan alunan musik, mungkin Miwa bisa kembali terlelap. Dia baru saja menghabiskan lima jam tertidur pulas karena rasa capek setelah pulang ke rumahnya.

Satu hal yang dia sadari, ternyata ... dia begitu rindu dengan segala kenyamanan yang tercipta di kampung halamannya.

Miwa menguap lagi. Kebanyakan tidur sebenarnya tak baik untuk kesehatan. Namun, dia tidak bisa menampik perasaan lelah. Tubuhnya menolak bangun dan suasana siang hari yang tak begitu terik mendukungnya untuk terus tertidur.

Ia akhirnya mengganti pakaian dan turun ke lantai bawah, mencari keberadaan ibunya. Tujuan Miwa pulang adalah untuk melepas rindu dengan orang tuanya. Tidak ada hal lain. Meskipun pada akhirnya, dia harus menelan fakta bahwa Ayah tidak berada di rumah dalam beberapa hari ke depan.

Ibu ternyata ada di dapur, sedang bercengkrama dengan Mbak Tanti dan Mbak Luki, dua pekerja di rumahnya yang juga membantu ayah dan ibunya dalam mengurusi banyak hal. Keduanya tersenyum mendapati Miwa datang sambil menguap dengan tangan yang tentu menutup mulutnya yang sedikit menganga.

"Kamu akhirnya bangun juga ya?" Ibu terkekeh, tangannya tengah memisahkan akar tauge dari batangnya. Miwa turut duduk di sebelah Ibu, lesehan, mengambil bagian untuk membantu beliau. Dari kecil, Miwa selalu mengambil alih peran Ibu dalam mengurus rumah apabila Ibu tak bisa melakukannya.

Meski sekarang keadaan mereka jauh lebih baik, Ibu dan dirinya sepertinya sudah terbiasa melakukan apapun sendirian.

"Aku capek banget, Bu," keluh Miwa ketika dia menguap lagi.

Tanpa diduga, Ibu mengangguk pengertian. "Tadi mau Ibu bangunkan, kamu malah pulas sekali. Ibu nggak tega."

Miwa tersenyum tipis. Dia mengambil wortel dan memotong pelan dengan potongan kecil-kecil. Sudah mengetahui menu masakan yang akan dimasak Ibu. Bagaimana tidak? Dia sudah seumur hidupnya mencicipi masakan Ibu.

"Bu, aku kangen ikan bakar Ibu," Miwa tersenyum. "Katanya Ibu mau bikin?"

"Besok ya, Miw? Bahan-bahannya belum lengkap. Sekalian, kamu bawain buat Ziya," Ibu tersenyum menanggapi. Ibu selalu perhatian dan pengertian kepada anak-anaknya, meski sewaktu kecil dulu ... Miwa sempat menyalahartikan ketika Ibu memerintahkannya untuk mengerjakan pekerjaan domestik sebagai hukuman kepada dirinya.

Pikiran Miwa kecil begitu naif sekali.

Dan, terbawa hingga sekarang.

Naif. Tidak ada kata yang bisa menggambarkan keadaannya sekarang selain satu kata itu. Meski sudah diberikan pertanda oleh alam semesta, Miwa tetap percaya akan ada keajaiban. Seolah memaksa takdir untuk menuruti kemauannya.

Ia menggeleng, sama sekali tak boleh bermenung saat ini. "Bu," Miwa berdeham, "Miwa minta maaf sama Ayah dan Ibu karena marah-marah hari itu ya?" Kedatangannya memang ingin meminta maaf secara langsung kepada orang tuanya.

We Have To Break Up | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang