16 : Hanya Sesaat

8.9K 1.3K 96
                                    

16 : Hanya Sesaat

Paginya masih buruk. Miwa keluar dari kamarnya dengan gontai dan menemukan Nazira tengah kesusahan mendorong sebuah kardus ke dalam unit mereka. Jantungnya sedikit tersentak apalagi melihat seseorang sudah lama tak ia lihat, Rendi, turut membawakan satu kardus lagi di tangannya, yang tentunya jauh lebih kecil.

Rendi turut terkejut mengetahui Miwa sudah akan berangkat kantor karena biasanya ... perempuan itu tak jauh beda dari waktu berangkat Arsya.

Laki-laki itu masuk lebih dalam dan meletakkan kardus yang ada di tangannya di meja makan. "Ini makanan dan camilan," dia kemudian menujuk kardus yang telah tergeletak di lantai, "Yang itu buku-buku," sambungnya memberitahu.

Miwa tak menjawab sama sekali, perempuan itu masih shock dan hanya bisa diam terpaku. Hingga beberapa kali Nazira menoleh padanya, Miwa masih bergeming.

Nazira lagi-lagi menoleh padanya, memberikan kode. Melihat Miwa tidak akan mengucapkan terima kasih sama sekali, gadis itu memutuskan agar dia saja yang mengucapkan, "Maka-"

"Nggak ada yang minta ini semua," potong Miwa. Nada suaranya dingin dan tegas. Dia menatap lurus ke manik mata Rendi yang tengah memandangnya datar.

"Kalau mau lo buang juga silakan. Tugas gue cuma mengantar agar sampai ke pemiliknya," Rendi menoleh pada Nazira yang sedikit mundur dan menunduk, menyadari ketegangan dalam ruangan ini. "Saya balik kantor dulu," pamitnya.

Nazira mengangkat wajahnya, "Kak Arsya udah balik, Kak?"

"Belum. Dia masih di sana beberapa waktu," Rendi sedikit menyipit menatap Miwa. "Jangan hubungi nomornya, sementara ini nggak aktif."

Merasa tertuduh, Miwa lagi-lagi dengan perasaan sebal menjawab. "Nggak akan ada yang mau menghubungi dia."

Rendi tak menggubris sama sekali. Selama empat tahun berada di dekat Arsya tentu dia sudah mengenal bagaimana sifat keduanya dengan baik, termasuk sikap ketus Miwa saat ini. Laki-laki itu menggelengkan kepalanya sesaat sebelum berujar, "Arsya udah hidup kayak robot, gue tahu yang terjadi diantara kalian lagi buruk-buruknya. Tapi, gue harap lo nggak akan marah-marah pas dia balik nanti. Gue mohon. Dia butuh istirahat." Laki-laki itu berjalan menuju pintu yang memang masih terbuka dan menutupnya cepat, pergi begitu saja.

Sebagai asisten pribadi dan juga salah satu orang terdekat Arsya, Rendi tak pernah ikut campur atau mengomentari hubungan mereka selama ini. Mendengar laki-laki itu telah buka suara, tentu menjadi peringatan kepadanya. Menanggapi itu Miwa mengembuskan napas kasar dan berjalan ke dapur untuk meraih gunting, bersiap membuka paket-paket itu.

"Aku penasaran sama Kakak, kenapa Kakak jadi ketus banget ya sekarang?" Nazira, yang masih mengenakan piyama tidur mendekati Miwa, "Aku nggak akan komentar soal hubungan Kakak dan Kak Arsya, tapi bisa nggak ... Kakak nggak perlu sejahat tadi sama Kak Rendi?" Adiknya mengusap poninya yang jatuh ke depan pelipisnya. "Kakak kelihatan impulsid banget punya hidup baru yang langsung bebas dari nama Kak Arsya. Kakak tuh bukan healing, tapi lagi kabur!"

Miwa mendelik ke arah Nazira. "Ziya, lebih baik kamu diam."

Nazira hampir membuka mulutnya saat ponsel Miwa berdering. Miwa mengangkat sambungan telepon itu cepat. "Bentar lagi gue ke lobby, Lang. Tunggu sebentar ya?" Ujar Miwa, menatap Nazira yang makin menggelengkan kepalanya tak percaya.

Setelah panggilan itu berakhir, Nazira menghentakkan kakinya kasar. "Bilangin aku kasihan sama dia! Semoga kakak gue suka beneran deh sama lo, Elang."

"Ziya!"

Nazira menutup pintu kamarnya cepat, menghindari perdebatan dengan Miwa. Sejak Nazira mengetahui hubungannya yang semakin dekat dengan Elang, adiknya itu terang-terangan menentang langkahnya.

We Have To Break Up | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang