Alden Untuk Arra

0 0 0
                                    



"Milyar milyar juta juta ratus ratus sekian. Kemungkinan orang di dunia kamu dapatnya aku. Tampang tak seberapa keren juga relatif. Tapi masalah funny, bolehlah skill di adu."

"Penuh senang kan ya? Jalani ini bersamaku. Meski sering kelakuanku, keras kepala kuganggu."

"Serta mulia, panjang umurnya. Damai sentosa, kita bersama. Serta mulia, panjang umurnya. Damai sentosa, kita bersama."

Saat itu aku tengah duduk berdua dengan Alden, berduet lagu berjudul Serta Mulia milik Sal Priyadi. Alden memainkan senar gitar dengan teliti. Kami berdua bersenandung menghabiskan bait demi bait bergantian sampai selesai.

"Mulai dingin, Ra. Ayo masuk."

Aku menggeleng. "Gak mau Alden, Arra mau nyanyi satu lagu lagi boleh?"

Aku menyukai suasana seperti ini, tenang sejuk. Rasanya tak ingin menyudahi momen berdua dengan Alden kali ini. Cowok itu selalu membuatku merasa nyaman.

"Besok lagi ya, Ra."

"Alden, jadi pacar Arra, ya?" tanya gadis itu entah untuk keberapa kali dalam satu bulan ini. Alden masih menjawab dengan satu gelengan kepala.

"Aku pulang dulu."

Alden pergi dengan menenteng gitar di tangannya. Sementara aku hanya bisa mengangguk dan tetap tersenyum. Aku yakin suatu saat akan mendapat jawaban yang kuinginkan. Sebuah penerimaan.

"Hati-hati Alden. Jangan lupa besok jemput Arra."

"Iya, Arra jangan tidur kemaleman."

"Okey. Alden juga."

Rumah Alden tidak jauh. Hanya terhalang beberapa rumah saja. Setiap hari berkunjung ke rumahku hanya untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja. Wanita mana yang tidak akan luluh jika diperlakukan sangat baik oleh seorang pria yang penuh dengan rasa sayang seperti Alden.

Dulu, saat masih ada Raina. Alden tak seperhatian ini. Dia baik pada kami berdua. Tapi hanya sebatas baik pada sahabat. Sewajarnya. Namun setelah dua tahun yang lalu Rain meninggal sebab positif covid, Alden berubah. Perhatiannya padaku bertambah berkali-kali lipat. Katanya, dia takut kehilangan.

Perhatian Alden yang tak biasa itu membuat aku menginginkannya lebih dari sahabat. Aku tak mau ambil risiko dengan tidak mengatakannya. Aku takut Alden bersama yang lain. Maka dari itu aku terus meminta untuk menjadi pacar Alden. Namun sayang, entah apa yang Alden pikirkan tentangku. Dia sama sekali tak mau membuka hati.

Setelah Alden pergi, aku merebahkan tubuhku di kasur. Menatap langit-langit kamar berwarna putih bersih. Meraih handphone yang tergeletak di atas nakas. Berniat mengirimi pesan singkat pada Alden seperti biasanya.

"Good night Alden," ucapku setelah selesai. Sudah malam, aku harus tidur agar besok bisa cepat bertemu lagi dengan Alden. Bagaimana bisa baru ditinggal sebentar aku sudah rindu. Alden, kamu memang candu.

Keesokan harinya, alarm membangunkanku. Secepatnya aku bergegas mandi dan bersiap. Kota bekal sudah tersedia di atas meja. Di atasnya ada kertas memo bertuliskan 'Mama berangkat kerja dulu, kamu jaga diri baik-baik. Sarapannya jangan lupa dihabiskan. Mama sayang Arra.'

Sempurna sekali rasanya. Aku juga punya orang tua yang perhatian. Ya, meski selalu sibuk dengan pekerjaan yang tak ada habisnya. Mama, Papa, sama saja. Bahkan hari libur saja terkadang tetap ada yang mesti dikerjakan. Untung ada Alden yang selalu menemani.

Alden, lagi-lagi tentang Alden. Cowok itu begitu memesona sampai aku tergila-gila begini.

Saat ini dia sudah di depan rumahku. Pakaian putih biru dan tatanan rambut yang keren semakin menjadi daya tarik. Tampan sekali dia hari ini dimataku. Eits, bukan hari ini saja. Tapi setiap hari, setiap menit, setiap detik.

LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang