Gadis Tanpa Suara

1 1 0
                                    

Bughh!

Pukulan mendarat begitu saja di sudut bibirku. Raga kembali menarik kerah seragam yang aku pakai, lalu kembali memukul perutku tanpa henti. Mulutku mengeluarkan darah segar, kacamata bulat hitam milikku entah di mana keberadaannya sekarang. Aku berusaha tidak menangis, aku ini laki-laki. Meski aku tak bisa melawannya, aku harus tetap bertahan.

Raga menertawakan keadaanku yang memprihatinkan. Mendorong tubuhku sampai tersungkur di lantai.

"Cupu!" ejeknya lalu berlalu begitu saja.

Koridor sekolah sudah sangat sepi, jam menunjukkan pulul lima sore. Tertatih aku berjalan keluar sekolah dengan sekujur tubuh sakit semua. Raga memang tak ada tandingannya di sekolah kami. Dia bad boy kelas atas yang entah mengapa begitu digilai kaum perempuan. Raga tampan, dia kaya raya. Hanya saja kelakuannya bejat. Berulang kali masuk ruang BK tak pernah ia pikirkan.

Berbeda dengan aku, Aidan Xavier. Si kutu buku sekolah. Introvert yang paling sering mendapat perlakuan buruk dari banyak orang. Alasannya karena aku indigo.

Bisa melihat apa yang tak bisa mereka lihat, bisa mendengar apa yang tak bisa mereka dengar. Hal yang hampir saja membuatku gila sebab rasa takut muncul setiap saat. Makhluk-makhluk ghaib itu sering datang mengganggu, jahil mereka berterbangan menakuti-nakutiku. Beruntung sekarang aku sudah bisa mengendalikan rasa takutku, menganggap mereka hanya film empat dimensi yang aku tonton dengan versi lebih nyata.

Aku terkejut saat seorang gadis menarik tasku dari belakang, bibirnya pucat. Rambut panjang yang hanya digerai berantakan diterbangkan angin sore.

"Ada apa?" tanyaku padanya.

Dia tak bersuara, aku tak bisa membaca pikirannya. Ketakutan, hanya itu yang dapat aku simpulkan dari gerak-geriknya.

Dia menunjuk kalung yang aku pakai. Kalung pemberian nenek saat aku demam tinggi dan hampir sekarat. Nenek bilang itu kalung keramat, tak boleh ada satupun yang mengambilnya dariku.

"Ada apa dengan kalungku?"

Dia malah menyatukan tangannya bergaya memohon padaku, memintaku memberikan kalung itu padanya.

"Kamu bisu?"

Dia menggeleng kuat, aku semakin bingung dibuatnya. "Lalu kenapa tak berbicara?"

Air matanya jatuh begitu saja, keringat dingin membasahi seragamnya. Aku amati dengan lebih teliti gadis itu, tertulis nama di baju seragamnya—Divine Arizky. Setelahnya aku baru sadar, ada noda darah di lengan sebelah kiri.

Tubuhnya tiba-tiba menegang, seperti ada yang merasukinya. Tak lama dia jatuh pingsan. Sekarang aku mengerti, dia diikuti mahluk lain.

Aku panik, tubuhku juga masih sakit akibat pukulan dari Raga. Satu-satunya cara agar gadis itu kembali sadar adalah mengalungkan kalungku di lehernya. Tapi apa bisa aku lakukan itu? Hal buruk bisa saja menimpaku.

Tuhan, aku harus bagaimana. Tak mungkin aku membiarkan gadis secantik dia tergeletak begitu saja di area sekolah yang sepi begini.

Aku memejamkan mata, perlahan tapi pasti melepas kalung berbandul liontin hitam pekat itu. Entah kenapa tubuhku tiba-tiba terasa berat.

Aku pasangkan kalung itu pada gadis yang terbaring lemas, rambutnya aku sibak perlahan agar tidak menghalangi wajahnya.

Dia membuka mata, terlihat kebingungan atas apa yang sudah terjadi. Dia menggerakan tangannya, memberi isyarat bertanya, "Kamu siapa?"

Jadi dia memang bisu? Ya Tuhan, memang hanya Engkau Maha Sempurna.

Aku refleks menariknya ke dalam pelukanku, entah apa yang mendasarinya aku tidak tahu. gadis itu sama sekali tidak menolak, dia seperti merasa nyaman?

"Kamu aman sekarang, aku akan menjagamu mulai sekarang."

Mulai saat itu Divine selalu mengikuti kemana aku pergi. Setidaknya selama berada di sekolah. Sedikit demi sedikit aku bisa memahami bahasa isyaratnya. Dia juga indigo, dia lebih tahu banyak tentang hal mistis.

Keterbatasan berbicara yang membuatnya kesulitan menjelaskan pada banyak orang apa yang dia ketahui. Divine terkadang tahu, kapan orang akan mati.

Mungkin itu alasan Tuhan membuat Divine tak bisa berbicara, bayangkan saja jika gadis itu berbicara, orang-orang akan sangat ketakutan mendapat kabar kapan dirinya akan mati.

Bagiku Divine adalah gadis yang istimewa, dia masih bertahan sejauh ini. Mungkinkah aku mulai mencintainya?

Aidan Xavier, mencintai Divine Arizky. Seorang gadis bisu yang memiliki nasib sama sepertinya. Terlahir sebagai seorang indigo, yang tak semua orang sanggup menjalaninya.

Suatu hari dia mengembalikan kalungku, sikapnya tiba-tiba berubah dingin. Aku mencoba meraihnya kembali, tapi rasanya terlalu jauh untuk aku gapai.

"Kamu kenapa?"

"Aku mencintaimu," ungkapnya dengan bahasa isyarat.

Air matanya jatuh lagi, wajahnya terlihat sangat sendu. Pucat bibirnya semakin membuatku khawatir.

"Lalu kenapa berubah? Jujur aku juga mencintaimu, Div. Ayo kita jalan beriringan, saling melengkapi sampai tua nanti."

Dia menggeleng, tangisnya semakin pecah. Berlari meninggalkan aku yang diam mematung. Baru kali ini hatiku rasanya sakit sekali, pengungkapan cinta? Lalu ditinggalkan tanpa kepastian. Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Div?

Aku memutuskan langsung pulang setelah bel dibunyikan. Raga kembali menghalau langkahku, di tambah dua orang temannya bernama Deren dan Braga. Mereka menyeret tubuhku ke gudang tak terpakai di ujung sekolah.

"Habisi dia!" perintah Raga pada kedua temannya. Kali ini aku memberanikan diri untuk berontak. Menendang selangkangan Braga dengan keras. Cowok itu berteriak, Raga langsung menutup mulutnya. Sementara Deren menahan tanganku agar tidak kabur. Aku gigit tangannya tanpa ampun. Secepat mungkin aku melepaskan diri dari mereka, tapi Raga tak tinggal diam, dia melemparku dengan kursi yang tak terpakai di sudut ruangan. Beruntung aku bisa menghindar.

Aku berlari dengan sangat kencang agar bisa keluar dari sekolah, tak peduli tatapan-tatapan aneh dari setiap orang. Aku masih mau hidup, aku masih ingin bertemu dengan Divine.

Tak kusangka Raga mengejarku sampai jalan raya, keringatnya juga mengucur sangat banyak. Kerasukan apa dia sampai begitu benci padaku.

Aku menyebrang jalan, sebisa mungkin menghindari mobil-mobil besar yang lewat. Decakan dan makian terdengar jelas. Raga nekat masih mengejar, aku sudah bingung harus bagaimana.

Truk datang dari arah kanan, melaju sangat cepat. Raga dapat dipastikan akan tertabrak. Aku masih punya hati, entah keberanian dari mana aku mendorong tubuh Raga dengan kuat. Tinggal aku sendiri menghadapi maut.

"ARGGHHHHHHHH!"

BRUK....

Darah segar mengalir disekujur tubuhku, kakiku patah. Tangan tak dapat digerakkan. Kepala bocor. Suasana ramai seketika. Anehnya aku masih sadarkan diri. Aku melihat Divine mengawasiku dari jauh.

Dia menangis terdendu-sendu melihat keadaanku. Ya Tuhan, aku ingin sekali memeluknya. Tapi ini sangat sakit, aku tak akan bertahan lebih lama lagi.

Raga entah bagaimana keadaannya sekarang. Aku harap dia selamat.

Aku seperti mendengar bisikan seseorang di telingaku, padahal di sini sangat bising. Orang-orang malah sibuk mengabadikan kecelakaan ini.

Napasku mulai tersenggal, aku ucapkan dua kalimat syahadat dalam hati. Ini sudah waktunya Tuhan memanggilku.

"Dengar aku, Aidan Xavier. Aku Divine Arizky, gadis bisu yang mencintaimu. Ini suara hatiku, dan kamu harus mendengarnya. Ini alasanku menjauhimu, aku takut kehilanganmu. Aku tahu kapan kamu mati. Kamu cinta pertamaku Aidan, kamu istimewa di hatiku. Aku tak menyangka ada orang sebaik dirimu di muka bumi ini. Aku tahu banyak sekali tentangmu, kamu lelaki hebat. Raga itu jahat, tapi kamu mau menyelamatkannya. Dia baik-baik saja sekarang. Sekarang kamu bangun, buka matamu. Aku ada di sisimu. Bagun Adidan ... bangun!"

Mataku terbelalak begitu saja, ruangan kumuh jelas menjadi pemandangan yang pertama kali aku lihat. Aku melihat Divine tersenyum manis di sampingku. Dia seperti biasa sudah lengkap dengan seragamnya. Lalu tadi itu apa?

Mimpi?







LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang