Usai mengantre bensin hampir berjam-jam, sedan klasik Yan tiba di gerbang rumahnya. Satpam yang berjaga dengan sigap membuka lebar sayap kanan dan kiri pagar besi itu untuk dilewatinya.
Membunyikan klakson sebagai wujud rasa terima kasih dan hormat, pak satpam melembarkan rekahan hangatnya pada putra bungsu keluarga Halamette.
Yan membawa mobilnya ke dalam bengkel untuk dilakukan perbaikan yang mungkin saja terjadi saat sedang diperjalanan. Montir yang dipekerjakan oleh ayahnya selalu siaga 24 jam nonstop. Bahkan sekarang ada satu pelayan yang mengekor di belakang Yan untuk membawakan ranselnya.
Tak main-main, seorang pemegang kunci kendaraan Halamette juga direkrut yang tugasnya cuma buat megang puluhan mobil pribadi setiap anggota keluarganya. Terkadang Yan bingung, bagaimana bisa ayahnya mampu membayar gaji seluruh karyawan mereka setiap bulan?
Tak habis pikir dengan cara apa ayah meraup pundi-pundi dollar dalam sehari, Yan segera masuk rumah yang sudah seperti toko lampu istana. Sangking terangnya cahaya yang dihasilkan, jaket kulit yang Yan pakai ikut berkilau karena tersorot bohlamnya.
Dan diruang keluarga yang menghubungkan tangga lantai dua, Yan disambut oleh Dean yang sedang bersedekap dada menghadapnya.
"Kenapa?" Tanya Yan.
"Dari mana aja lo?" Dean malam bertanya balik.
"Perpustakaan lah, apa lagi?"
Melihat kekehan yang yang terdengar begitu miris ditelinganya membuat Dean membuang nafas dingin. "Lo belajar seharian, tapi gak juga dapat hasil yang ayah mau. Buat apa?"
"Seenggaknya gue udah berusaha," balas Yan.
"Percuma. Ayah belum yakin seratus persen sama kemampuan yang lo miliki," tohok Dean.
Yan menggigit ujung bibirnya yang masih menyisakan bekas lebam. Pernyataan yang Dean beri menimbulkan goresan cukup banyak dalam rongga hatinya.
Mengapa tak seorang pun pernah membelanya apalagi menyemangati usahanya berjuang?
"Lalu kenapa gak lo aja yang memuaskan keinginan ayah? Kenapa cuma gue yang dikekang selama ini?" Yan memojokkan Dean menggunakan pertanyaan banding.
Inilah tanda tanya terbesar yang selalu melekat pada dirinya. Sebuah tanya yang tak kunjung ia ungkapkan karena ketakutan yang teramat sangat.
Yan ingin bertanya mengapa harus dia yang dituntut? Mengapa tidak kakak-kakaknya saja yang usianya sudah lebih dewasa?
Bukan tentang masalah bisa atau tidaknya. Tetapi ini tentang Yan yang belum siap mengemban tugas seberat itu.
Menjadi tropi untuk menjunjung martabat serta jabatan bagi mereka?
Bukan itu yang diinginkannya.
Yan sama sekali tidak merasakan jika haknya sebagai seorang manusia disegani. Justru selama ini Yan hanya diperalat oleh kedua orang tuanya untuk memberi, melayani, serta memuaskan dunia mereka sendiri.
"Gue capek. Apa gue nyerah aja, De? Gak ada gunanya gue bertahan lebih lama disini. Gue gak mau jadi apa-apa. Gue gak mau menyandang gelar apapun di masa depan. Gue cuma mau dianggap anak sama mereka, bukan robot apalagi pemuas hawa nafsu."
"Yan..."
"Lo juga sama De. Sebagai kakak, harusnya lo belain adik lo. Tapi lo hanya menonton dan menyaksikan mereka membunuh batin gue perlahan-lahan,"
Dean menggeleng-gelengkan kepalanya merespon sarkasme Yan yang terasa menusuk jiwa. Seketika itu, ia langsung tersadar atas kesalahannya selama ini kepada Yan.
"Bukannya gue diam aja Yan. Gue udah berusaha---"
"Membantu dengan berdoa?" Sela Yan dengan mata memerah. Tatapannya berubah sangar saat menatap kembaran tak identiknya itu.
Dean langsung terbungkam.
"Percuma. Lo masih kelihatan sama kejamnya seperti mereka dimata gue," setelah mengatakan kalimat menohok kepada Dean, Yan berlalu begitu saja tanpa pamit.
Maaf Yan, tapi...
Lihat. Meski telah direnggut oleh rasa bersalahnya, Dean tetap tergagap mengemukakan alasannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Yan || Yoon Jaehyuk ✓
Short Story#boentry02 ❛❛Semesta bukan tempat mencari singgasana yang dikenal dunia❞ ------------------------------- start : 03 des end : 17 des ^22 It's my short story and happy reading guez! ©peachxyblss