Chapter X

208 27 6
                                    

Aku sudah bilang ke Dumbledore kalau aku sibuk, kemungkinan absen sampai akhir tahun. Yah, jelas si Bucin Lily itu tidak setuju. Aku tidak tahu kenapa dia selalu menempel pada Dumbledore setiap aku minta berbicara. Tapi jelas Dumbledore mengizinkan begitu saja.

"Asal kau bersedia hadir saat kupanggil," katanya.

Ada beberapa alasan mengapa aku meminta absen. Kenyataannya, walau tahun kedua dan ketiga tidak memungut korban jiwa, aku harus mengurus banyak hal. Eksistensiku terlalu berbahaya. Aku menyaingi keberadaan Harry Potter. Dan aku yakin itu bukanlah hal baik. Bisa saja ada yang berubah.

Lagi pula, aku sayang Ginny. Sekesal apapun, aku tak mau Fred mati. Cedric orang baik yang tidak boleh mati sia-sia di tangan si Botak nirhidung. Syukur-syukur—tidak bisa dibilang bersyukur juga sih—yang mati sama seperti yang seharusnya, bagaimana jika korban jiwa malah bertambah hanya karena eksistensiku?

Maka dari itulah aku menemui pamanku. Simpelnya, untuk bertanya tentang keberadaanku. "Mustahil Paman tidak tahu kenyataan tentang siapa dan dari mana aku berasal. Dan paman juga pasti tahu yang seharusnya terjadi."

"Zefilla, kau harus tahu bahwa itu rahasia semesta." Meski sorot matanya datar, tapi dapat kulihat sedikit keresahan di mimik wajahnya. Aku bukannya tidak tahu apa yang pamanku takutkan. "Kami juga ragu—"

"—Tapi Paman, keberadaanku terlalu mencolok sebagai orang tersesat," potongku. Para Centaur selalu saja berhasil membuatku 'kicep' dan terdiam kalau kubiarkan bicara. "Trystyn seharusnya tidak pernah ada. Namun mengapa aku di sini?"

Pamanku terdiam. Dia hanya menghela napas dan menggeleng. "Yang jelas, jangan merubah apapun. Karena kau hanya akan bernasib sama seperti Ibumu."

Ketika mataku berkedip, aku telah keluar dari hutan. Sialan.

Hentakkan kakiku terdengar cukup kasar sampai-sampai menarik perhatian beberapa orang. Beberapa orang menyapaku, tetapi terpaksa kuabaikan karena mood ku benar-benar jelek. Mungkin aku bisa mengatur ekspresiku, tapi jelas mengatur mood adalah hal yang sulit—pokoknya, bukan salahku bila aku menggunakan mode 'senggol, bacok'.

"Filla!"

Aku tahu siapa yang memanggilku. Kalau laki-laki, ya Harry. Kalau perempuan, ya, Hermione. Combo H₂ yang bisa-bisa membuat mood ku semakin jelek. Jadi, sebisa mungkin kuabaikan dan justru mempercepat langkahku.

Seseorang menarik lengan pakaianku, terdengar napas tersenggal-senggal di sampingku. Tapi tetap saja aku berjalan. Sialan, mau kutepis tapi nanti aku tidak punya teman.

"Filla, tunggu dulu—"

"Aku ada urusan Hermione, tolong lepaskan," ucapku kalem, mencoba sebisa mungkin menahan emosi. "Lagi pula, kau ada kelas setelah ini."

Hermione jelas bukan orang yang mau kalah begitu saja. "Begitu pula denganmu, kelas kita sama."

ASTAGA, MUGGLEBORN INI! (Tidak kupanggil Mudblood karena aku sayang dia)

Kakiku akhirnya mengalah dan berhenti bergerak. Kulepaskan tangannya perlahan dan membawa tanganku untuk bersedekap. "Anak pintar sepertimu tidak akan mengejarku secara cuma-cuma. Apa yang ingin kau katakan?"

"Apa kau tau Harry ... Parseltongue?"

Mungkin saat ini sifatnya yang tidak basa-basi menjadi sangat kusukai. "Tentu saja."

Namun tepat sebelum ia bisa menanyakan hal lain, aku berkata, "Jangan tanya apapun padaku Hermione. Yang jelas, saranku, jangan pernah sendirian. Usahakan bersamalah dengan Ron atau Ginny—yah, pokoknya yang pureblood."

"Apa?" tanyanya sambil berkedip-kedip bingung. "Memangnya kenapa?"

"Oh, kau akan tahu nanti kalau sudah kejadian." Aku mendesah. Di tahun kedua mulutku sudah bisa menahan supaya tidak ikut campur. Walau masih gatal ingin bilang. "Sudah 'kan? Aku harus segera pergi."

***

Wood.

Hampir saja aku melupakannya.

Kali ini dia tidak menabrak bahuku, tapi mencengkram pergelangan tanganku. Ada semacam tatapan kecewa yang sulit kuartikan. Lucunya, ini pertama kalinya kami berpapasan di tempat selain di mana dia biasa menabrak bahuku.

"Kau lupa pertandinganku."

"Aku bukannya lupa, aku sibuk." Aku menghela napas, entah untuk ke yang berapa kalinya hari ini. Kutepis sedikit kasar tangannya. Motifnya apa, sih? Apa dia ge'er karena sering bertabrakkan bahu denganku? Duh, memang susah, ya, jadi orang yang penuh pesona. "Dan aku tidak suka kayu, makanya tahun lalu selalu membolos."

Wood terdiam. Keterkejutan yang ada di matanya membuatku sedikit merasa bersalah.

Hanya sedikit.

Setelah beberapa dia terdiam, dan aku sibuk mengetuk-ngetuk tanganku yang tersilang, dia perkata, "Apa anak Hufflepuff itu dekat denganmu?"

"Aku dekat dengan siapa saja pun bukan urusanmu." Mungkin yang dimaksudnya adalah Cedric. Yah, aku dekat dengannya hanya untuk cuci mata—sambil mengawasi dan memikirkan cara untuk menyelamatkannya kok. Memang belakangan sering kudengar rumor kalau Cedric mendekatiku. Tapi 'kan itu memang bukan urusannya. "Sudah, ya, aku sibuk."

Tidak perlu susah-susah menegur atas tindakanku barusan. Aku tahu yang kulakukan itu jahat. Tapi, sudah kubilang dari chapter I, aku harusnya tidak ada di sini. Kalau aku ikut campur, atau membuat perubahan pada karakter lain, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Maka, jangan marah atas tindakanku barusan.

Ngomong-omong, aku mendapat kamar di asrama lain. Sebenarnya, sebagai Trystyn, aku mendapat jatah kamar di setiap asrama. Tinggal pilih mau tidur di mana. Tapi karena para buyutku orang yang solid dengan asrama yang dipilihkan si topi jadi, yah, begitulah. Ini juga kali pertama aku melihat jatahku di asrama lain. Semoga tidak horor-horor amat.

Pilihanku jatuh ke asrama Ravenclaw. Lokasinya di atas, dan jatahku malah berada di loteng. Parah memang, tapi tidak masalah. Atapnya kaca jadi aku bisa melihat ramalan tanpa kedinginan.

Masalahnya adalah caraku naik. Gila, jemper kakiku kalau aku naik secara manual. Aku butuh orang dalam. Ternyata pepatah yang bilang kalau relasi itu penting sangat benar karena nyatanya, kini aku butuh teman minimal 1 dari masing-masing asrama.

Makanya sekarang aku sedang mencari Lovegood.

Yeah, Luna Lovegood yang aneh itu.

Luna itu orang baik, maka dari itulah dia mau-mau saja membantuku tanpa menginginkan balasan. Aku punya keyakinan kuat bahwa Luna adalah orang yang tulus. Dan aku tidak rugi-rugi amat kalau menjadikan dia teman. Justru hal bagus karena pola pikirnya yang kadang agak ... di luar nalar.

Tapi ... sumpah ... DIA DI MANA SIH?!

/////-----/////----/////

Haiii, lihat siapa yang kembali (/'-')/
Kebetulan tiba tiba aku kangen Zefilla dan Draco, cowoku (💋). Jadi aku balik ke akun ini HAHAHAHA

Ayok, sini yang masih nungguin absen duluuuu!!! Angkat keteknya '-')/

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 12, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Girl Who Got Lost in the StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang