Chapter VII

306 52 4
                                    

Black Lake memang tempat yang paling nyaman untuk merenung. Tidak ada yang memandangiku dengan tatapan penuh rasa penasaran, tidak ada Golden Trio yang menanyakan hal-hal yang akan terjadi di masa depan, tidak ada Slytherin yang menatapku dengan tatapan benci. Hanya ada aku, merenung seperti orang kurang kerjaan.

Kedua netraku memandangi langit dengan kedua tangan terlipat di belakang kepalaku sebagai alas agar kepalaku tidak terlalu sakit. Tanah di sekitar sini agak lembab, untungnya aku menjadikan jubahku sebagai alas. Apakah Dumbledore akan menebas kepalaku jika aku melakukan ini? Yah, apa peduliku?

Samar-samar kudengar langkah kaki mendekat. Aku yang semula memejamkan mata pun membawa kedua kelopak mataku untuk terbuka. Kulirik orang yang ternyata sudah duduk di sampingku itu, Diggory.

"Apa aku mengganggumu?" tanyanya ramah.

Aku mendengkus seraya terkekeh kecil. "Tidak sama sekali."

Diggory tersenyum cerah kemudian. Tatapannya pun beralih pada danau di depan kami. "Kau sering merenung di sini?"

"Tidak juga, biasanya ke Menara Astronomi atau ke The Forbidden Forest atau ke tebing sekitar Hogwarts," akuku sambil menatap langit biru di atasku.

Diggory tergelak. "Tebing? Serius Filla?"

"Seriuslah, buat apa aku bercanda?" Aku mengalihkan padanganku padanya--yang ternyata juga tengah menatapku--seraya mengernyit. "Memang mukaku kelihatan seperti orang yang tidak bisa memanjat tebing?"

"Oh, kau memanjat? Kupikir kau menggunakan sapu," ucapnya tak percaya.

Aku mencebik. "Sapu di sini menyebalkan. Tadinya aku mau meminjam sapu milik Fred atau George, tapi tidak jadi soalnya mereka suka iseng. Yaudah, aku memanjat."

"Kupikir kau tipe perempuan feminim," ujarnya seraya terkekeh geli. Matanya tak lepas dariku, agak membuatku risih sebenarnya.

"Nah, Diggory, memangnya kenapa kalau perempuan feminim memanjat? Tidak ada pengaruh apapun juga, 'kan?" balasku seraya memutar bola mataku. Aku pun bangkit untuk mengubah posisiku menjadi duduk dan menyisiri rambut cantikku dengan jari-jemariku.

Diggory mengagguk. "Ya, tidak ada pengaruh apapun."

"Omong-omong, apa yang kau lakukan di sini, huh? Tidak ada jadwal?" tanyaku sembari memeluk kedua lututku dan menenggelamkan sebagian pipiku agar aku bisa menghadapnya.

Diggory tertawa, membuat wajahnya dihiasi senyuman manis. Memang dasar tampan orang ini. Kalau kami pacaran, kami pasti jadi seperti pangeran dan putri.

Akh, apa sih yang kupikirkan?!

"Ada, 30 menit lagi," jawabnya. Akh, memang laki-laki ini cocok untuk jadi pangeran.

Oiya itu mengingatkanku, sebentar lagi aku ada kelas. Bersama anak Slytherin. Dengan begitu, aku pun bangkit dan mengibaskan jubahku supaya debunya raib. "Aku pamit dulu, ada kelas setelah ini," pamitku seraya tersenyum tipis.

Diggory membalas dengan senyuman serta anggukan. Kemudian aku pun melangkah menjauh dari Black Lake.

Sepertinya bertemu dengan Wood sudah menjadi sebuah jadwal dalam urutan kehidupanku. Maksudku, lihat ini! Aku tidak punya alasan apapun tapi malah berjalan di jalan di mana Wood sering menabrak bahuku. Ish, ish, ish ....

"Zefilla!" Suara yang terdengar familiar menyambut pendengaranku. Dengan begitu aku pun menoleh ke belakang dengan aesthetic.

"Oh, Wood?" Kenapa Kayu itu memanggilku? "Ada apa?"

Laki-laki itu tersenyum. Membuatku menaikkan alis lantaran bingung dengan tujuannya meneriaki namaku seperti itu. Biasanya juga dia asal menabrakkan bahu saja. Ada angin apa?

"Kebetulan sekali kau di sini," katanya. Dih, aku memang sering jalan di sini. Lebih tepatnya terbiasa jalan-jalan di sini. "Di pertandingan Quiddicth selanjutnya kau bisa datang?" tanyanya dengan senyum malu-malu.

Aku curiga laki-laki ini kena santet dari penyihir lain. Biasanya juga wajahnya datar-datar saja kalau bersamaku. Terakhir kali saat mengajakku juga dia tidak senyum atau bagaimana. Datar lho!

"Hm, berhubung aku sedang ada masalah dengan Slytherin, kurasa aku bisa. Nanti aku datang bersama Hermione, kalau dia mau." Percaya padaku, sebenarnya aku ragu Hermione mau datang. Golden Trio masih sibuk dengan urusan mereka. Kalau aku tiba-tiba mengajak 'kan ... aneh. Nanti tiba-tiba dia bertanya yang aneh-aneh bagaimana?

"Aku menantikan kedatanganmu," ucap Wood terdengar tulus. Aku menaikkan alis saat Wood mengelus puncuk kepalaku kemudian berlalu begitu saja.

Orang-orang pada kenapa, sih, hari ini?

Dengan begitu, aku pun pergi ke dapur untuk mengambil makan. Yah, soalnya belakangan ini aku ingin makan makanan manusia, bukan sekedar makan apel saja. Dan situasiku sedang tidak mendukung untuk pergi makan.

*

Malamnya, Dumbledore memanggilku ke ruangannya. Akh, padahal aku ingin menghabiskan waktu di Menara Astronomi. Iseng-iseng melihat kejadian lucu di masa depan. Aku sedang butuh hiburan.

"Pamanmu sudah memberi izin," katanya antusias.

Aku mendengkus. "Ya, lalu kapan kita mulai sesi 'mencocokan ramalannya'? Jangan dadakan, ya!"

Terkadang, aku merasa diriku ini sangat kurang ajar. Maksudku, aku ini suka mengancam orang. Hebat sekali aku masih hidup sampai sekarang. Eh, tapi kalau pun aku diserang, aku tidak mudah mati. Ohoho, aku ini overpower.

"Aku akan memanggilmu lagi jika sudah waktunya."

Dengan begitu, aku pun melangkah pergi dari ruangan Dumbledore. Mood-ku sudah hancur untuk melihat humor. Mulanya aku memutuskan untuk pergi ke kamarku. Tapi teringat fakta bahwa para Slytherin sedang menjauhiku. Ih, mereka itu memang merepotkan.

Masa iya aku pergi ke hutan? Atau rumah Hagrid saja? Atau tetap ke Menara Astronomi? Halah, ribet, sudahlah, pergi ke kamar saja. Paling hanya mendapat tatapan benci saja dari mereka.

Begitu aku memasuki asrama, mereka langsung menatapku.

"Masih ada muka kau untuk kembali ke sini?" tanya seseorang sinis. Entah siapa yang bicara itu.

"Mukaku menempel di kepalaku," balasku tidak peduli seraya berjalan ke kamarku.

Seseorang kemudian menarik jubahku hingga aku hampir terjengkang. Begitu aku menoleh, Parkinson. Aduh, perempuan sialan ini. "Siapa bilang kau diizinkan pergi ke kamarku."

"Idih," aku mencebik seraya mengibaskan jubahku supaya tangan perempuan itu melepas jubahku. "Aku tidak perlu izin kalian untuk tidur di kamarku sendiri," balasku tak mau kalah.

Parkinson mendesis. Jelmaan wanita ular memang. "Coba saja sana kalau kau bisa masuk."

Eh, apa nih? Mereka memasang jebakan untuk kamarku? Kamarku yang sudah kusihir supaya tidak bisa diapa-apakan orang lain? Serius? Mereka mengancamku dengan kamarku sendiri?

Aku tergelak. "Ya, akan kucoba. Terima kasih sarannya."

Aku melambaikan tangan dan segera melangkah menuju kamarku. Kurasa beberapa dari mereka mengikutiku sambil cekikikan seperti setan. Padahal, tidak ada sihir apa pun di depan kamarku selain sihir pelindungku. Tidak ada pula hal aneh seperti jebakan. Mataku sudah sangat teliti soal jebakan. Terima kasih pada Fred dan George.

Dengan begitu, aku pun masuk dengan kamar dengan aman. Kudengar merrka memekik tak percaya. Membuat tawaku meledak begitu pintu kamarku tertutup.

Sudah kubilang, ini kamarku. Hanya aku yang bisa mengapa-apakan kamar ini.

-----***-----

Astaga .... sudah berapa lama cerita ini terlantarkan?

Sorry ya 👉🏻👈🏻

The Girl Who Got Lost in the StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang