Chapter III

408 60 5
                                    

Aku mendelik tajam ke arahnya. "Kalau aku menendang masa depanmu dan bilang tidak sengaja, apa kau akan memaafkanku, hm?"

Dia menaikkan kedua alisnya. "Kau ... berniat melakukan itu?"

"Ya, supaya kau dirawat dan tidak ikut main Quidditch," balasku disertai seringai. Cepat-cepat dia memegangi masa depannya dengan tatapan tajam ke arahku. Aku berdecak, "Aku bercanda, itu hanya perumpamaan."

Dia mendesah, tampak lega dengan jawabanku. "Kalau begitu aku pamit."

"Aku belum bilang akan memaafkanmu," ucapku seraya menaikkan kedua alis.

Dia mengumpat dalam gumaman. "Aku tidak  peduli, urusanku lebih penting." Kemudian dia berlalu begitu saja melewatiku.

Ih, sombong sekali. Aku tidak pernah mengerti kenapa dia sangat fanatik terhadap Quidditch. Bailah, abaikan saja kakak kelas tidak beradap itu. Mungkin sifatnya seperti itu karena aku adalah Slytherin.

Kulangkahkan kakiku dan berjalan melewati lorong-lorong Hogwarts yang sangat memesona. Sambil memakan apelku tentu saja.

*****

Di tempat yang sama, tetapi di hari yang berbeda, dia menabrakku lagi. Yang membuatku kesal, hari ini aku sedang membawa tumpukan buku yang kupinjam dari perpustakaan.

"Kau lagi?!" peikikku penuh emosi seraya menunduk untuk memunguti buku-bukuku.

Dia tidak berkata apa-apa, tapi langsung membantu memunguti bukuku. Hm, aneh. Tapi okelah, setidaknya dia mau bertanggung jawab.

"Badanmu kecil, untuk apa membawa buku sebanyak ini?"

Aku mendelik tajam. "Untuk kubacalah! Memang apa fungsi lain dari buku?"

"Yang pasti bukan untuk berlatih Qui—"

"Tahan ucapanmu Wood, aku tidak peduli. Sekarang jika kau tidak keberatan, berikan buku-buku itu dan silakan menyingkir!" potongku cepat. Aku menoleh ke belakang dengan was-was, takut Pansy menemukanku dan menarikku untuk pergi bersamanya.

Saat aku hendak mengambil buku yang ada di tangannya, dia malah mengangkat buku-buku itu tinggi-tinggi.

"Hei, apa yang kau lakukan!" ucapku seraya mencoba meraih buku itu.

"Mau dibawa ke mana?"

Aku berdecak, "Ke kamarkulah! Apa pula urusanmu dengan buku-buku itu?"

Dia hanya ber-'oh' kecil kemudian menumpuk buku-buku di tangannya ke buku yang kubawa. Setelah itu dia menepuk pelan puncuk kepalaku sambil berjalan pergi. Samar-samar kudengar dia berkata, "Rambutmu agak berantakan hari ini."

Aku menoleh cepat ke arahnya dengan salah satu tangan yang memegang puncuk kepalaku. Apaan sih, orang fanatik Quiddtch itu!

*****

Hari ini, dia kembali menabrakku! Astaga, betapa memuakkannya ini! Apa dia mengikutiku? Stalker?!

"Baiklah, Wood, kali ini aku yakin bukan sebuah kebetulan. Kau ini ada masalah apa, sih, sampai menabrak bahuku 3 hari berturut-tururt?!"

Katakanlah, bisa saja ini karena kecerobohanku yang sering tidak fokus pada jalan dan menikmati pemandangan Hogwarst yang luar biasa menakjubkan. Namun, kalau pun aku yang meleng, harusnya dia tidak menabrakku terus 'kan?

Paham maksudku?

"Memangnya jalan ini milikmu?" balasnya cuek.

"Aku tidak mempermasalahkan kau berjalan di sini, bodoh. Yang kupermasalahkan itu, KENAPA KAU MENABRAK BAHUKU TERUS?!" ujarku sambil menahan sumpah serapah dalam hati.

The Girl Who Got Lost in the StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang