..

408 56 7
                                    

Sudah dua tahun lebih setelah kepergian Ayah dan Bunda. Junkyu, sebagai anak pertama harus berhenti kuliah dan mulai bekerja, secara sukarela menggantikan peran kedua orang tuanya. Harta peningglan Ayah dan Bunda tidak sedikit, tapi tidak banyak juga, cukup untuk menyambung hidup setidaknya sampai Junghwan selesai sekolah. Tapi mereka harus betul-betul mengatur keuangan mereka kalau tidak mau berakhir di kolong jembatan.

Tetap saja, meskipun pengeluaran sudah ditekan setipis mungkin, menanggung biaya tiga orang yang semuanya sekolah terlalu berat. Itulah yang menyebabkan Junkyu rela berhenti kuliah. Kedua adiknya tentu protes. Tapi dia kepala keluarga sekarang, ucapannya tidak boleh dibantah. Kedua adiknya harus tetap sekolah!

Untungnya warisan Ayah dan Bunda yang bukan cuma materi juga banyak, seperti kasih sayang, pengetahuan, moral, dan etika. Jadi Junkyu tidak terlalu sulit membuat kedua adiknya mengerti.

"Awan dapet beasiswa kuliah di Korea." Ujar Junkyu pelan saat dia dan Jaehyuk sedang makan martabak manis oleh-oleh pulang kerja darinya.

Buset, hebat banget nggak tuh anak? Belum juga lulus SMA, dia sudah diterima disalah satu universitas di Korea, pakai beasiswa pula.

"Beneran, Bang? Terus Awan bakal kesana, dong?"

"Iya, Desember ini dia berangkat." Junkyu menghela napas panjang, martabak yang sudah setengah jalan menuju mulutnya diletakkan kembali diatas piring. Tiba-tiba selera makannya hilang. "Awan bilang dia sengaja pilih Korea soalnya ada tante Dara disana, jadi dia bisa numpang tinggal selama kuliah disana."

Tante Dara, satu-satunya adik perempuan Ayah memang menetap di Korea karena menikah dengan orang sana. Jaehyuk bahkan belum pernah melihat Korea seperti apa, dia hanya lihat sekilas dari drama korea yang kadang tayang di TV.

Jaehyuk manggut-manggut, melirik abangnya sekilas, "Kok lo keliatan lesu gitu, Bang? Bukannya harusnya seneng ya?"

Junkyu mengedikkan bahu, "Iya, nggak tau... perasaan abang nggak enak gitu waktu tau Awan mau kuliah disana. Tapi mau bilang ke Awan juga takut nanti malah dikira ngehalangin."

"Nggak enaknya gimana, Bang?"

Junkyu menghela napas berat kemudian mengedikkan bahu lagi, "Nggak tau, tapi bawaannya sedih mulu, kayak agak nggak rela Awan pergi jauh dari kita, takut bakal kejadian apa-apa."

"Idih dih, apaan si lo, Bang, kayak nggak bakal ketemu Awan lagi aja, ntar kalo gue udah punya duit banyakan kita kesana, jengukin dia." balas Jaehyuk sambil terkekeh kecil.

"Lagian gue yakin Awan bakalan kelar cepet kuliahnya, secara dia pinter nggak kaya gue," lanjut Jaehyuk kemudian berdiri, mencomot satu lagi martabak manis dari piring kemudian cepat-cepat lari hendak merusuh dikamar sang adik, meninggalkan Junkyu yang masih tampak lesu sendirian.

"Awaaann.... weissst, gaya banget lo pake kuliah di Korea segala, entar pulang-pulang jadi kek Lee MinHo dong, manggil gue bukan kak Eyuk lagi tapi Eyuk Hyung."

"Berisik, Lo -yaaah kalah kan jadinya!" Si bungsu berdecak sebal, meletakkan controllernya asal.

"Hellowww -eh bukan, anyeonghaseyoo my name is Awanieyoo..." ledek Jaehyuk lagi sampai mendapat tatapan sebal mata si adik sedetik kemudian sebuah bantal melayang tepat mengenai wajah tampannya. Jaehyuk cuma nyengir sudah biasa kalau sedang sibuk main game di kamar dan diganggu begini, Awan pasti bakal ngamuk.

"Kok lo nggak bilang si, Wan, kalo dapet biasiswa ke Korea?" tanya Jaehyuk, sambil tiduran di atas tempat tidur, di samping Junghwan. "Mana cepet banget lagi, Desember udah cabut."

Junghwan hanya berdeham, tidak menunjukan ekspresi excited atau apapun itu. Atau mungkin bagi orang pintar seperti Junghwan, hal seperti ini memang sudah biasa?

SembuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang