Mungkin, karena aku sering menonton video Tiktok yang serupa, maka muncullah video-video lain yang lewat di Tiktok-ku. Video tentang kesehatan mental. Memang, aku didiagnosa depresi hingga timbul red-flag. Aku masih dalam treatment, sudah setahun ini. Tapi, semakin hari, aku semakin merasakan perasaan yang mengganggu aktivitas dan kesehatanku. Seharusnya aku tidak membuka Tiktok, itu hanya akan memancing perasaan negatif itu untuk mencari kebenaran. Tapi, itu sedikit menghiburku, membuatku merasa bahwa aku tak menderita sendirian. Semua comment pada video itu membuatku tak sendirian.
"Kamu suka hewan? Punya hewan peliharaan? Kalau punya, jadikan dia sebagai alasan kamu untuk terus bertahan hidup. Buang saja semua orang yang mengabaikanmu atau menyakitimu."
Aku memelihara seekor kucing domestik yang aku tolong dari jalanan. Kondisinya cacat karena korban tabrak lari. Ia buta, pincang, bahkan mengalami keretakan rahang yang membuat ia kadang kesulitan makan. Meski begitu, ia kucing yang periang meski sangat pemalas. Ia adalah penghiburan untukku. Setiap kali aku menyakiti diri sendiri, aku pasti berhenti di tengah jalan kalau aku melihat wajahnya yang polos itu. Tapi, memang ada kalanya aku tak bisa menahan diri.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana diriku akan hancur jika aku kehilangan dia. Membayangkannya saja membuatku merinding.
"Mbak Adzkya Ayu Ningtyas!"
Aku mendongak cepat dan melihat ke arah suara perempuan yang memanggil namaku. Mungkin aku terlalu fokus menonton video-video Tiktok sampai lupa bahwa aku sedang menunggu giliran. Dan, ternyata benar. Perawat itu memanggil namaku. Ketika mata kami bertemu, ia tersenyum dan mengangguk. Aku pun cepat-cepat menyimpan ponselku ke dalam tas dan bergegas ke ruang pemeriksaan.
"Nggak usah buru-buru, Mbak. Nanti sesak," kata perawat itu dengan lembut dan penuh perhatian. Ia merangkulku ringan dan mengajakku masuk ke ruang pemeriksaan.
Aku hanya terkekeh-kekeh saja menanggapi ucapan khawatirnya. Meski itu hanya kekhawatiran sederhana karena ia seorang perawat, aku merasa senang.
Ah, dasar haus kasih sayang!
"Siang, Dok," sapaku pada dokter perempuan yang duduk di belakang meja kerjanya. Meski keramahan ini hanya basa-basi. Bagaimana pun juga, ia sudah menjadi dokterku selama 7 tahun ini. Kami cukup dekat. Ia adalah Rubiya Yusra.
Ia tak membalas salamku, malah menatapku dengan tatapan yang dingin. Tapi, aku paham. Aku malah menyeringai untuk merespon sikapnya itu. "Jadi, kamu benar-benar akan merantau lagi? Kita nggak ketemu lagi, nih?"
Aku terkekeh-kekeh. "Iya, Dok. Nyari suasana yang baru lagi. Juga, mumpung ada lowongan kerja yang menarik di sana," ungkapku. "Kita masih bisa video-call, 'kan? Lagian, nggak jauh, kok. Saya cuma pergi ke Malang aja. Naik motor aja cuma dua-tiga jam, naik mobil malah lebih cepet lagi, 'kan?" Aku terkekeh-kekeh lagi.
Ia mengendurkan ekspresinya. "Kamu harus rajin-rajin kontrol ke Dokter Idza dan Dokter Rashif. Jangan bolong-bolong. Inget makan, inget bahagia. Ya?"
Aku mengangguk sambil tersenyum. "Dokter tenang aja." Aku berdiri, lalu aku menghampirinya dan memeluknya. "Makasih, Dok, untuk 7 tahun ini." Aku pun menegakkan tubuhku dan tersenyum padanya.
Padahal, Dokter Rubi -- begitu panggilannya -- adalah orang yang terkenal dingin dan bermulut pedas, tapi sebenarnya Dokter Rubi adalah orang yang berhati lembut. Padahal, kami hanya terpisah jarak yang tak jauh, tapi matanya sampai berkaca-kaca seakan aku akan pergi selamanya. Yah, mungkin ia tahu seberapa besar peluangku untuk hidup lama.
"Aku bakal sering-sering chat Dokter. Kalau aku tiba-tiba telepon atau video-call, Dokter angkat, ya?"
Dia mengangguk. "Iya." Ia terlihat jelas sedang menahan diri agar tangisnya tak pecah. "Yaudah, sana. Hari ini keberangkatanmu, 'kan? Semua berkas-berkas pemeriksaanmu udah saya kirim ke Dokter Idza. Besok, kalau kamu nggak capek, kamu temui dia."
"Baik." Aku berjalan ke pintu. "Dadah, Dok Rubi. Dadah, Ners Liany." Aku melambaikan tanganku pada mereka berdua sebelum keluar dari ruang pemeriksaan.
Sedih karena harus meninggalkan orang sebaik Dokter Rubi. Ia telah menjadi dokter yang sangat perhatian dan sudah seperti teman dan kakak untukku. Dia orang yang akan marah kalau aku datang ke rumah sakit lewat pintu IGD. Meski tak rela, tapi aku ingin mencari kebahagiaanku. Pindah ke Malang mungkin akan membantuku mencari pengalaman baru, suasana baru, dan bertemu dengan orang-orang baru.
Aku lahir dan menghabiskan 17 tahun hidupku di Jakarta. Lulus SMA, aku kuliah ke Surabaya dan mengambil Kedokteran Hewan. Lima tahun aku menjalani pendidikan dan sudah menjadi dokter hewan. Begitu lulus, aku bekerja di klinik senior di Surabaya, sudah dua tahun. Dan, tahun lalu, sejak aku menerima diagnosa depresi dan kecemasan, aku memutuskan untuk pergi ke tempat baru. Aku pun menemukan lamaran yang menggiurkan di Malang. Jadi, aku mengambilnya.
Mungkin, orang-orang berpikir aku aneh. Dengan kondisiku yang sakit-sakitan dan bahkan menerita penyakit mental, seharusnya aku kembali ke keluargaku. Tapi, jika mereka tahu yang sebenarnya, keputusanku ini adalah keputusan yang tepat. Mungkin terkesan melarikan diri, tapi aku tak ingin peduli. Aku hanya ingin bahagia di sisa hidupku yang entah tinggal berapa lama lagi.
Kemarin, aku sudah berpamitan dengan psikiaterku, Dokter Jasmine. Jadi, setelah berpamitan dengan Dokter Rubi, aku langsung meluncur ke Malang menggunakan mobil. Semua barang-barangku sudah tertata di dalam mobil. Bahkan, Epizon -- kucingku -- sudah menunggu dengan sabar di mobil yang sengaja kubuka sedikit jendelanya. Ini akan menjadi langkah awalku untuk kedua kalinya. Langkah awalku yang pertama adalah ketika aku memutuskan untuk kuliah di Surabaya.
"Nyiaaa!!" seru Epizon.
Aku terkekeh dengan suaranya yang terdengar antusias. Ia yang duduk di kursi depan di sebelahku itu pun hanya mendongak dan melihat ke kanan dan kiri meski tak ada yang ia lihat. "Iya, kita jalan ke Malang. Kamu bakal suka sama rumah baru kita nanti."
Aku mengelus kepalanya, dan ia menikmati itu. "Nyaa!" Ia berseru paham dengan ucapanku. Jangan tanya kenapa suaranya tak normal seperti kucing lainnya. Dia memang spesial.
Aku pun tancap gas keluar dari parkiran rumah sakit. Aku membawa mobil ini keluar dari lingkungan rumah sakit, masuk ke jalan raya besar dan pergi ke arah tol. Tol yang akan mempersingkat waktu perjalananku dari Surabaya ke Malang. Apalagi, tol itu masih cukup sepi, perjalanan akan lancar, dan kami akan segera tiba di rumah baru kami. Aku sungguh bersemangat dan tidak sabar.
Dari hasil menabungku selama ini, juga uang tambahan yang aku dapatkan selain dari pekerjaan sebagai dokter hewan dengan menjadi graphic designer dan penerjemah, aku pun dapat membeli sebuah rumah kecil dan minimalis di Malang, rumah dengan dua kamar saja yang memiliki halaman luas dan jarak yang tak jauh dari klinik tempatku bekerja nanti. Rumah itu terdapat di lingkungan yang tak begitu ramai, berseberangan dengan sebuah taman yang menurutku juga cocok disebut sebagai hutan. Aku sudah survey ke sana sebelumnya, dan aku sangat menyukainya. Epizon pasti akan menyukainya juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Only Need One Reason
General Fiction"Kamu suka hewan? Punya peliharaan?" "Iya, aku suka kucing. Punya kucing juga," jawabku dalam hati. "Dia membutuhkan kamu. Jadikan dia sebagai alasan kamu untuk berjuang dan bertahan hidup. Lupakan mereka yang nggak membutuhkanmu, apalagi yang menga...