ENAM: Dinding Kaca

18 2 0
                                    

Mas Aksa terlalu baik. Kasihan dia jika berurusan denganku yang kacau ini. Ia pasti akan sangat kesulitan hingga tidak bisa menjalani hidupnya sendiri. Dia pasti akan stres jika mengurusku. Meski itu yang Bu Delina inginkan, tapi aku tidak akan menerima seluruh kebaikan Mas Aksa. Aku takut jika ia terlalu baik, aku pasti akan bergantung padanya. Dan, aku akan jadi orang bodoh jika nanti ia meninggalkanku karena aku yang menyebalkan ini. Aku pasti tidak akan bisa mengikhlaskannya.

Dinding kaca, itulah yang selalu disebutkan Dokter Jasmine karena sifat defensifku. Aku terlalu takut untuk menerima orang-orang di sekelilingku, tak bisa mempercayai kebaikan mereka, tidak bisa membuka diri untuk mencoba satu kali lagi. Aku terlalu takut untuk ditinggalkan, takut akan kembali hancur dan memilih untuk menyerah. Aku masih ingin hidup, setidaknya sampai jantung yang lemah ini memutuskan untuk berhenti dengan sendirinya.

"Kamu yakin nggak mau ditemenin untuk malam ini?" tanya Mas Aksa saat kami tiba di pekarangan rumahku. Ia yang mengemudikan mobilku karena tak bisa membiarkan perempuan mengemudikan mobil untuknya. "Sa-Saya nggak akan lakuin apa-apa, kok! Saya akan tidur di ruang tamu. Ta-Tapi, jangan kunci pintu kamarnya. Kalau ada apa-apa, saya bisa langsung masuk." Ia terlihat gelagapan ketika aku menatapnya. Ia pasti mebgira aku berpikir ia adalah orang mesum.

Aku tertawa lirih. "Nggak usah, Mas. Mas juga pasti capek, 'kan, hari ini. Lagipula, saya akan baik-baik aja, kok. Saya akan langsung tidur." Aku tersenyum padanya, berharap ia percaya. "Makasih, ya, Mas."

Ia tak menanggapi ucapanku, tak juga beranjak pergi. "Nggak apa-apa kalau kamu masih ragu untuk menerima orang. Tapi, seenggaknya, kamu harus percaya kalau ada banyak orang baik di sekitarmu yang peduli sama kamu. Pelan-pelan, ya?" Ia tersenyum. Jujur, senyumnya terlihat agak menyakitkan. Aku pasti sudah menyakiti perasaannya karena penolakanku. Tapi, aku harus memikirkan diriku sendiri. Aku tidak mau sakit hati ditinggalkan.

Aku mengangguk. "Sebenernya, kenapa Mas peduli sama saya? Kita baru kenal hari ini."

Ia terlihat terkejut, tapi kemudian tersenyum canggung. "Saya nggak akan cerita sekarang. Tapi, kamu harus percaya, saya tulus mau jadi support system kamu mulai hari ini. Walaupun kamu pasang dinding, saya akan tetap bantuin kamu. Karena, dinding yang kamu pasang adalah dinding kaca, saya bisa lihat semuanya," jelasnya. Ia pun melangkah mundur satu kali. "Kalau gitu, saya pulang. Hape saya stand by, jadi kalau ada apa-apa, tolong langsung hubungi saya. Saya akan secepatnya ke sini."

Aku tak mengangguk. "Makasih, Mas."

Lalu, ia berbalik dan melangkah pergi keluar dari pekarangan rumahku. Aku masih melihatnya berjalan ke rumahnya sampai ia benar-benar masuk ke dalam rumah. Setelah itu, barulah aku masuk ke rumah yang sepi, gelap, dan dingin ini.

"Joon!"

"Nyia!" Suaranya terdengar dari arah ruang tengah. Aku pun bergegas ke sana dan mendapati diringa duduk di samping meja dengan wajah menghadap kolong meja. Aku sampai tertawa melihatnya. Ia benar-benar tak tahu apa-apa, dan ia percaya bahwa ia akan baik-baik saja. Itu pasti karena ia mempercayaiku. "Nyua!" serunya ketika aku menyentuh kepalanya.

Epizon bisa mempercayaiku dengan cepat, padahal ia tidak dapat melihat. Tapi, mungkin ia seperti itu karena dapat merasakan ketulusanku. Hewan seperti itu, bisa merasakan siapa manusia yang baik, siapa yang tidak. Tapi, aku sulit untuk seperti itu. Aku tahu Mas Aksa baik dan tulus untuk membantuku, tapi aku masih sulit untuk menerimanya. Pertama, karena dia orang asing. Kedua, karena lagi-lagi aku takut ditinggalkan.

Benar, bahwa aku memasang dinding untuk membatasiku dengan orang-orang, untuk mencegah agar aku tidak sakit hati lagi. Tapi, itu adalah dinding kaca yang transparan, sehingga orang-orang pasti akan tahu bahwa aku sebenarnya butu bantuan. Tanpa sadar, aku bertingkah seperti mendorong orang-orang, padahal sebenarnya aku juga menunjukkan pada mereka bahwa aku butuh bantuan. Memang aku egois dan bodoh. Tapi, aku tak tahu harus apa. Aku benar-benar takut.

"Kamu pasti laper, ya, Jon? Maaf, ya. Ayo, kita ke kamar dan makan." Aku pun menggendong Epizon yang gempal itu menuju kamar. Aku mengisi mangkok makanannya cukup banyak, karena ia memang cukup banyak makan. Aku juga mengisi dispenser minumnya yang sudah tinggal sedikit. Selagi ia makan, aku langsung merebahkan tubuhku di kasur. Tapi, aku tak bisa langsung tidur meski ingin.

Aku memikirkan semua ucapan dan sikap Mas Aksa. Aku juga memikirkan semua ucapan Bu Delina di rumah sakit tadi.

"Nak." Aku menoleh ke kanan begitu mendengar suara seorang wanita. Itu Bu Delina. "Apa Ibu boleh temenin kamu?"

Aku mengangguk, lalu aku menepuk kasur di sebelahku agar ia mendekat. "Saya iri Mas Aksa bisa memiliki Ibu sebaik dan sehangat Bu Delina," ungkapku, disusul kekehan. "Baru kali ini ada hantu yang bisa membuat saya tenang dan terhibur. Ternyata, nggak buruk juga punya kemampuan kayak gini." Aku menoleh untuk menatap wajah Bu Delina. "Makasih, Bu."

Ia tersenyum, lalu ia menaruh tangannya di atas kepalaku. Meski ia membelai kepalaku dengan tangannya yang dingin, entah kenapa aku dapat merasakan kehangatannya. "Apa kamu mau dengar cerita Ibu?"

"Ya, boleh," jawabku.

Bu Delina terdiam sejenak seakan mencoba untuk menata pikirannya. "Belasan tahun lalu, Ibu sekeluarga pernah tinggal di Jakarta. Tetangga kami orang kaya, sangat kaya. Bahkan, katanya berpengaruh di perpolitikan. Tapi, mereka bukan keluarga yang bahagia, sepertinga. Seenggaknya, untuk satu anak mereka. Saya minta Aksa untuk deketin anak itu, tapi Aksa takut. Ibu pun nggak bisa salahin Aksa, karena Ibu sendiri juga nggak berani ambil keputusan besar. Sekarang, Ibu menyesal, dan Aksa juga pasti menyesal."

"Apa anak itu mirip dengan saya? Karena itu, Ibu dan Mas Aksa mencoba menolong saya?"

Bu Delina mengangguk. "Kami dihantui rasa bersalah. Bahkan, setelah kami pindah, kami tetap memikirkan anak itu," ungkapnya.

"Kalian tahu gimana kabar anak itu?" tanyaku.

Bu Delina mengangguk. "Dia nggak baik-baik aja, bahkan sepertinya lebih hancur. Tapi, ada jarak yang jauh yang membuat kami kesulitan," ungkap Bu Delina. "Karena itu, melihatmu seperti ini, saya dan Aksa berpikir untuk membantumu. Kami nggak mau menyesal seperti sebelumnya."

Aku mengangguk mengerti.

"Saya tahu kamu takut ditinggalkan, dibuang. Karena itu, kamu memasang dinding. Tapi, dinding yang kamu pasang adalah dinding kaca transparan, jadi kami dapat melihat aoa yang terjadi padamu. Kami harus menolongmu. Orang-orang pasti juga akan tergerak untuk menolongmu jika mereka bisa melihat dinding kaca transparan itu. Karena itu --" ia mengelus kepalaku lagi --"Mau, 'kan, kamu coba untuk menerima Aksa? Pelan-pelan aja. Ibu akan jadi penjamin." Ia tersenyum penuh harap.

Aku juga ingin menerima Mas Aksa. Tapi, aku masih takut. Rasa takut itu sampai membuatku mual. "Akan saya coba," jawabku, meski aku masih belum yakin.

"Terima kasih, Nak."

"Hm."

Setidaknya, aku sudah memiliki niat untuk terbuka, bukan? Entah itu berhasil atau tidak, itu urusan nanti.

Setidaknya, aku sudah memiliki niat untuk terbuka, bukan? Entah itu berhasil atau tidak, itu urusan nanti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
I Only Need One ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang