Tepatnya sudah setahun kurang sebulan semenjak aku didiagnosa mengalami depresi dan gangguan kecemasan. Sebenarnya, gejala depresi sudah aku rasakan sejak pindah ke Surabaya. Aku kesepian dan cemas karena keluargaku tidak pernah menanyakan kabarku kalau aku tidak menghubungi mereka lebih dulu. Awalnya, aku hanya konsultasi di psikolog dan terkendali tanpa obat-obatan. Lalu, semenjak bekerja, aku mulai mendapatkan tambahan tekanan karena tuntutan klien dan atasan. Meski itu normal, tapi memang pada dasarnya mentalku sudah tak bagus, maka semakin rusak hingga aku harus menemui psikiater. Aku mengkonsumsi obat-obatan yang harus hati-hati kuminum, karena aku juga menderita lemah jantung.
Sejak menemui psikiater, aku mengurangi jam kerja sebagai dokter hewan. Aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang menyenangkan, seperti hiking, renang, dan melakukan yoga. Aku memelihara kucing sebagai teman dan penghibur. Aku memiliki hobi baru dan bahkan mendapatkan uang dari itu. Aku merasa kualitas hidupku lebih baik. Saat ini, aku pun masih berusaha untuk terus membaik secara mental. Sejujurnya, aku sudah lelah, tapi aku masih ingin hidup. Dokter Jasmin selalu berkata, "Cobalah cari satu alasan kecil saja untuk membuatmu bertahan, seperti Epizon."
Namun, satu hal yang perlu aku cemaskan. Dokter Jasmin bilang, Dokter Rashif memang minim ekspresi, tapi ia menyuruhku fokus pada suaranya, bukan ekspresi. Dokter Rashif pernah mengalami sakit yang membuat otot-otot wajahnya kaku, sehingga ia sulit berekspresi. Tapi, ia orang yang tulus dan perhatian. Masalahnya, aku selama ini selalu memperhatikan ekspresi seseorang untuk melihat apakah ia orang baik atau tidak.
"Mbak Adzkya, mari." Perawat perempuan itu tersenyum ramah padaku ketika memanggilku untuk masuk ke ruang periksa.
Benar saja. Laki-laki berwajah dingin itu memberi kesan yang kurang ramah. Tampan, sih. Tapi, bisa-bisa ia kehilangan pasien. Namun, mengingat ia punya kondisi medis, tentu aku tak bisa menghakimi seperti itu. Aku benar-benar harus fokus pada suara Dokter Rashif.
"Pagi, Mbak. Bagaimana perasaan Mbak sejak pindah ke Malang? Kalau nggak salah, baru kemarin, ya?" Nadanya terdengar ramah, tapi itu sangat tak cocok dengan ekspresinya. "Saya sudah dengar sedikit tentang Mbak dari Dokter Jasmin. Dokter Jasmin itu sahabat saya saat kuliah. Kami sama-sama lulusan UNAIR. Mbak juga lulusan UNAIR, 'kan? Katanya, Mbak dokter hewan, ya?" Di luar dugaanku, ia banyak sekali bicara.
Aku tersenyum. "Iya, saya dokter hewan. Alhamdulillah keterima kerja di klinik hewan nggak jauh dari sini, kliniknya kakak kelas. Saya nggak ambil jadwal praktek full, hanya Minggu sampai Rabu, sisanya saya punya waktu luang untuk pekerjaan freelance, yoga, atau jalan-jalan," jelasku.
"Mbak suka jalan-jalan kemana?" tanyanya.
"Saya suka glamping, kadang kalau lagi fit saya pergi hiking. Mau coba naik gunung, tapi takut nggak kuat," jawabku, disusul kekehan. "Saya suka ajak kucing saya, Epizon, untuk jalan-jalan itu."
"Oh, iya? Dia kucing apa?" tanyanya.
"Domestik. Saya rescue dia, dia korban tabrak lari. Dia berkebutuhan khusus. Tapi, ia kucing yang pengertian dan bisa menghibur saya meski cuma dengar suaranya aja," jelasku. "Kondisi saya akhir-akhir ini stabil banget, Dok. Semenjak saya memutuskan untuk pindah ke Malang tiga bulan lalu, saya hepi banget. Kayaknya saya bakal betah di Malang, deh, apalagi tetangga rumah yang saya kontrakin orangnya ramah."
"Wah, bagus, dong. Kita jadi bisa sering ketemu," katanya. Aku yakin itu tak ada maksud lain. Hubungan kami hanya dokter dan pasien saja. "Kamu masih konsumsi obat yang diresepkan Dokter Jasmine?"
"Masih, tapi saya mulai coba lepas pelan-pelan sesuai anjuran. Udah tiga hari ini saya nggak minum obatnya," jawabku.
"Wah, syukurlah!" Ia tampak mencoba tersenyum, tapi wajahnya tak mampu melakukan itu. Ia benar-benar mirip Epizon, suaranya saja sudah membuatku yakin ia orang yang baik. "Kalau gitu, lanjutin aja dulu program kamu, ya? Jangan maksain diri, inget. Kalau ada apa-apa, kabarin saya. Dan, sebisa mungkin, kamu cari teman yang bisa jadi support system kamu selama di sini."
Aku mengangguk. "Baik, Dok."
"Lalu, bagaimana hubunganmu dengan keluargamu? Apa kamu udah coba untuk terbuka?" tanyanya. Ada keraguan di sana, seakan ia sudah mengetahui jawaban seperti apa yang akan aku lontarkan.
Aku mencoba untuk tersenyum. "Nggak bisa, Dok. Mereka nggak mau jadi pendengar. Jadi, daripada saya sakit hati dan perasaan saya nggak karuan lagi, saya diam. Saya tahu ini nggak bagus, karena mereka keluarga saya. Tapi, saya capek, Dok, kalau berusaha terus tapi mereka nggak mau ngerti," jelasku. "Saya hepi, kok. Memang saya kesepian, tapi saya masih bisa atasi itu selama saya melakukan kegiatan yang positif."
Dokter Rashif mengangguk. "Yang penting kamu nggak merasa kalau kamu harus berjuang sendirian. Masih ada saya, Dokter Idza, dan tetangga yang kamu bilang ramah itu, juga kucingmu, Epizon. Kami akan jadi alasan kamu untuk terus berjuang. Mengerti, 'kan?"
"Iya, Dok. Terima kasih, Dok."
Setelah sesi perkenalan dan konsultasi sedikit, aku pun keluar dari poli itu untuk bersiap pergi ke klinik hewan yang akan menjadi tempat kerjaku. Aku sudah mengurus administrasi, lalu aku pergi ke parkiran dan masuk ke dalam mobil. Baru saja aku menyalakan mesin mobil, ponselku bergetar-getar panjang, tanda ada panggilan masuk. Aku pun tak jadi melajukan mobil ini.
Layar yang menyala itu memperlihatkan nama penelepon, Ibu. Ia adalah salah satu penyebab aku depresi. Ia adalah orang yang membuatku terkucilkan di rumah. Aku pernah dengar ia berbicara dengan adikku, ia menyesal melahirkanku yang penyakitan ini. Aku memang sering merepotkan Ibu saat sakit, dan mungkin sejak aku SD aku mulai dilepas untuk diurus oleh baby sitter karena Ibu sudah mulai muak padaku. Aku tak menyalahkannya, meski aku tak pernah meminta untuk dilahirkan.
Padahal, aku baru saja membanggakan bahwa tiga hari ini aku bisa tak meminum obat dari Dokter Jasmine. Tapi, sepertinya malam ini aku harus kembali meminumnya.
"Halo, assalamu'alaikum."
"Ya, wa'alaikumsalam. Kamu di mana, Kya?" tanyanya.
"Baru mau jalan ke klinik. Ada apa, Bu?"
"Adikmu mau ambil S2. Kamu ada uang, nggak, buat tambahan uang kuliahnya? Ayah kamu, 'kan, udah pensiun. Uang pensiunnya kurang kalau untuk biaya kuliah adikmu. Adikmu kerja, tapi uangnya juga masih kurang. Kamu tahu kalau gaji Ibu terpakai untuk urusan rumah. Kakak kamu juga lagi nabung untuk persiapan nikahnya. Kamu bisa transfer untuk adikmu, 'kan? Dia butuh 10 juta," jelas Ibu tanpa basa-basi.
Aku memang berpenghasilan cukup banyak. Gajiku sebagai dokter hewan sudah ada di angka 10 sampai 12 juta. Gaji freelance juga setara itu tiap bulannya. Bisa dibilang, aku ini yang paling kaya dan sukses di keluarga. Tapi, mereka benar-benar tidak memikirkan kebutuhanku? Aku sakit, butuh biaya untuk berobat. Asuransi tidak berlaku, BPJS juga hanya membantu sedikit. Aku hidup sendiri dan harus membayar uang kontrakan. Dan, belum lagi dengan hutang Ayah yang harus aku bayarkan juga rutin setiap bulannya.
Aku bisa gila kalau terus terikat dengan keluarga ini. Tapi, apa aku bisa menolak? Aku takut dibuang, benar-benar dibuang karena menolak membantu keluarga.
"Nanti aku lihat uang tabunganku dulu. Ibu tahu, 'kan, aku baru aja pindah?"
"Iya, Ibu tahu. Tapi, bantulah adikmu sedikit."
Aku menghela napasku berat. "Hutang Ayah pun aku yang tanggung, terus biaya kuliah Maya juga aku yang tagung. Terus, nanti Ibu mau minta apa lagi? Bantu biaya nikahan Kak Fajar, iya?" Rasanya aku ingin mengatakan itu, tapi mulutku terkunci rapat.
"Baik."
"Nah, gitu, dong," tanggap Ibu. "Yaudah, Ibu tutup, ya. Hati-hati."
Bahkan, ia tak mengucapkan terima kasih. Ia benar-benar membuatku lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Only Need One Reason
Ficção Geral"Kamu suka hewan? Punya peliharaan?" "Iya, aku suka kucing. Punya kucing juga," jawabku dalam hati. "Dia membutuhkan kamu. Jadikan dia sebagai alasan kamu untuk berjuang dan bertahan hidup. Lupakan mereka yang nggak membutuhkanmu, apalagi yang menga...