Sosok anak laki-laki yang memiliki tatapan hangat dan lembut itu memperhatikan rumah kami, entah karena apa. Kadang, aku lihat anak laki-laki itu bertegur sapa dengan Kakak, ia sepertinya orang yang ramah dan baik hati. Entah siapa.
***
Tok. Tok. Tok.
Aku sedang menyiapkan pancake untuk sarapan, meski sebenarnya aku tidak nafsu makan dan masih merasa sangat lemas. Epizone ada di dapur bersamaku, duduk dengan tenang dan nyaman, tanpa suara. Aku pun bergegas mematikan kompor dan pergi ke pintu depan untuk membukanya.
"Loh? Mas Aksa?" Aku membuka pintu lebar-lebar sambil merapatkan jaketku yang cukup tebal. "Masuk, Mas. Dingin di luar." Aku mempersilakannya masuk. Aku lihat ada bintik-bintik hujan kecil di jaketnya. "Mas udah sarapan belum? Saya lagi buat pancake."
"Biar saya yang buat. Kamu istirahat aja," katanya sambil menatapku. Tatapannya begitu hangat dan lembut, padahal kemarin aku sudah mendorongnya. "Kamu biasa sarapan cuma pancake aja?" tanyanya berbasa-basi selagi melanjutkan pekerjaanku. Aku ada di sebelahnya, menyiapkan susu coklat hangat untuk menemani pancake.
"Nggak juga. Tergantung. Sekarang lagi pingin pancake," jawabku. Jujur, aku merasa agak canggung dengan situasi ini. "Mas, aku boleh tanya?"
"Hm? Apa?" Ia menatapku hangat.
Jujur, aku sulit menerima kebaikan orang lain karena selama ini yang aku dapatkan hanyalah hal-hal buruk. Tapi, ucapan Bu Delina semalam, juga sikap yang Mas Aksa tunjukkan, semua membuatku seperti ingin memecahkan dinding kaca. Tapi, aku masih takut. Aku takut disakiti lagi, takut ditinggalkan.
"Kya?"
Aku mengerjap cepat, tersadar dari lamunanku. Tiba-tiba aku teringat cerita Bu Delina dan mimpi semalam. Mungkin karena cerita Bu Delina, aku jadi melihat memori yang aneh. Atau, mungkin itu memori milik Bu Delina. Tapi, rasanya pemandangan itu tidak asing untukku, bahkan ada Kak Fajar saat masih kecil di sana.
"Oh, um... Saya lupa mau tanya apa." Aku terkekeh-kekeh. Hampir saja aku ingin bertanya tentang kisah masa kecilnya yang diceritakan Bu Delina. Sungguh tidak sopan, bukan, jika aku menceritakan tentang ibunya yang sudah meninggal? "Mas mau pakai sirup apa? Saya punya madu, mapple, apel, dan blueberry." Aku pun berbalik dan pergi ke rak lain di dapur ini.
Agak lama sampai Mas Aksa memberikan jawaban. Sepertinya sedang berpikir, namun entah kenapa suasananya agak aneh. "Madu aja," jawabnya.
Aku pun mengeluarkan dua stoples yang sudah berlabel. Aku mengambil madu dan mapple. Lalu, aku pergi ke kulkas untuk mengambil butter dingin di sana yang akan memberikan rasa gurih yang khas. Aku membawanya ke meja makan yang memang satu ruangan dengan dapur. Aku pun duduk di kursi yang memunggungi pintu samping yang merupakan tempat cucian dan menjemur pakaian.
Mas Aksa datang membawa dua piring berisi tiga potong pancake yang tak ditumpuk seperti iklan-iklan itu. Pembuatannya sempurna, warnanya sangat emas dan menarik. Aromamya pun tercium dengan kuat. Aku harus memakannya saat dalam keadaan hangat, pasti akan sangat nikmat.
"Terima kasih." Aku pun sudah siap dengan garpu dan pisau di kedua tangannku usai menuangkan sirup mapple di atas semua pancake usah melelehkan butter di sana.
Mas Aksa tak langsung menikmati sarapan dengan lahap, dan aku pun mulai merasa bahwa sepertinya ia sedang menatapku. Tapi, sungguh aneh jika aku menatapnya balik. Pasti akan sangat canggung. Aku tak mau suasana yang hangat dan ringan ini menjadi rusak karena canggung.
"Apa saya boleh datang untuk makan denganmu setiap hari?"
"Eh?" Aku mendongak cepat dan langsung menatapnya tepat pada matanya. Jelas sekali ia sedang mencoba untuk semakin dekat denganku. "Oh, um. Boleh," jawabku. Aku spontan menjawab, meski sebenarnya aku tak yakin bahwa aku boleh seperti ini.
"Sesuai janji, saya akan menjadi support system kamu. Saya ingin bisa menemanimu setiap harinya, memastikan kalau kamu baik-baik aja dengan mata kepala sendiri," jelasnya.
Aku masih menatap tatapannya yang hangat dan lembut itu. "Kenapa?"
Ia tak langsung menjawab. "Saya nggak mau menyesal seperti saat saya masih kecil," jawabnya sambil tersenyum. Sepertinya, itu tentang cerita yang Bu Delina ceritakan padaku semalam. "Saya nggak akan maksa kamu dan buat kamu nggak nyaman. Kamu boleh terbuka pada saya. Senyamanmu aja."
Aku tak tahu harus menjawab apa kalau seperti ini. "Saya sadar bahwa saya menyusahkan, sulit sekali bagi orang-orang untuk menerima orang seperti saya. Saya sakit jantung, bisa tiba-tiba pingsan. Mental saya juga rusak, jadi saya bisa aja bertingkah aneh dsn menyebalkan. Aku yakin Mas udah tahu dari penjelasan dokter kemarin. Tapi, saya masih nggak tahu kenapa Mas mau melibatkan diri sampai seperti ini pada orang seperti saya ini," tuturku.
Ia menaruh tangannya yang lebar dan hangat itu di atas kepalaku, membelai kepalaku dengan santai seakan sudah biasa. Padahal, ini pertama kalinya ada seseorang yang memperlakukanku sehangat ini. Aku terkejut, tapi anehnya aku tak bisa menolak dan malah menikmatinya. Aku serakah sekali, bukan?
"Saya akan cerita lengkapnya pelan-pelan, nggak sekarang. Itu bisa bikin kamu kaget dan malah menjauhi saya," ujarnya sambil tersenyum. Ia terlihat seperti tersakiti. "Saya mau dekat denganmu. Boleh?"
Ia serius. Wajahnya benar-benar menunjukkan keseriusan. Aku sering melihat ekspresi seperti itu, tapi baru kali ini ada yang berhasil membuat jantungku berdebar-debar dengan aneh seperti ini. Jantungku berdebar dengan sangat cepat, membuat smartwatch di tangan kiriku ini berbunyi.
"Kya?!"
Aku menaruh tanganku di dada, rasanya aneh. Sama sekali tak sakit. "Nggak apa-apa, nggak sakit." Aku menatapnya bingung. Apakah ini yang dinamakan berdebar karena jatuh cinta? Atau, ini hanya perasaan tersentuh karena kebaikan seseorang saja.
"Be-Bener?" Ia terlihat panik.
Aku tertawa pelan. Ia benar-benar seperti orang baik hati yang mempedulikanku yang bukan siapa-siapa ini. "Iya, saya nggak apa-apa." Aku rasa, aku akan mencobanya untuk membuka hatiku sedikit saja untuknya. Hanya untuknya. "Kita udah deket, Mas. Kita tetanggaan. Mas malah dateng ke IGD begitu dapet kabar saya drop. Tapi, saya akan melakukannya pelan-pelan kalau Mas nggak masalah."
Senyum Mas Aksa merekah lebar sekali. Wajahnya bahkan terlihat berseri-seri sekali. Ia seperti anak kecil yang selalu bahagia. Syukurlah, aku bisa membuatnya berekspresi seperti ini, tidak lagi membuatnya tersakiti karena aku mendorongnya dan menolaknya. "Makasih, Kya."
Aku mengangguk. "Saya yang harusnya berterima kasih," ungkapku.
Mungkin tidak buruk jika aku mencoba menerimanya. Aku tidak akan langsung menerimanya, tentu saja. Aku akan tetap jaga jarak dan membatasi, jaga-jaga kalau nantinya dia meninggalkanku, setidaknya aku tak terlalu merasakan sakit hati nantinya. Setidaknya, jika aku terpuruk, aku bisa bangkit lagi dalam waktu lebih singkat.
Ah, sepertinya aku tahu maksud dari debaran tadi. Itu adalah ketukan yang ia lakukan pada dinding kaca yang aku pasang.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Only Need One Reason
General Fiction"Kamu suka hewan? Punya peliharaan?" "Iya, aku suka kucing. Punya kucing juga," jawabku dalam hati. "Dia membutuhkan kamu. Jadikan dia sebagai alasan kamu untuk berjuang dan bertahan hidup. Lupakan mereka yang nggak membutuhkanmu, apalagi yang menga...