Seharusnya aku memulai pekerjaanku hari Minggu kemarin, tapi karena kondisiku belum begitu pulih, baik Mas Aksa maupun seniorku yang memiliki klinik hewan itu, melarangku untuk bekerja agar aku beristirahat lebih lama lagi. Meski tak enak pada seniorku, tapi ia tahu bagaimana kondisi fisik dan mentalku. Meski dia adalah senior, tapi kami berteman dekat dan akrab semasa kuliah. Kalau aku boleh membanggakan, aku menganggapnya sahabat. Ia bernama Bagasditya Fasyin.
Mas Bagas sebenarnya dua tahun di atasku, tapi karena sempat kecelakaan cukup parah di awal koas, akhirnya ia menunda pendidikan koas sampai benar-benar pulih. Dan, ia pun baru bisa mengikuti koas setahun di atasku. Kami sering satu tandem saat koas, jadi kami cukup akrab. Ia pernah menyatakan perasaannya padaku, tapi aku menolaknya karena aku tahu bahwa ada perempuan yang sangat menyukainya, dan aku pun sadar bahwa rasa sukanya padaku bukan rasa suka yang membuat kami harus menjalin hubungan lebih dari sahabat. Ia pun sudah menikah dengan perempuan itu, teman seangkatanku, Rafania Everlyn. Dia juga akhirnya menjadi sahabatku, bahkan ia adalah sahabat dekatku sejak awal kuliah.
"Kya!" Fani -- begitu panggilannya -- memelukku dengan amat sangat erat dengan tubuh sedikit bergetar. "Kamu nggak apa-apa? Maaf, aku nggak bisa jenguk dan temenin kamu." Suaranya pun terdengar bergetar.
Aku mengelus punggungnya. "Malah, kalau kamu dateng, bakal aku usir. Lagi hamil besar gini, adanya aku yang ngurusin kamu," kataku dengan tenang, juga sedikit meledek. Setelah dua tahun menikah, akhirnya ia dan Mas Bagas akan dikaruniai anak. Saat ini, ia sedang hamil 8 bulan. Ia sudah mengambil cuti untuk melahirkan, karena itulah aku ada di sini untuk menggantikan posisinya. "Kamu sehat, 'kan, Fan?" Aku mendorong tubuhnya dan menatap wajahnya yang agak chubby.
"Sehat banget!" serunya dengan semangat. "Ayo, masuk. Aku nggak kuat berdiri lama-lama. Perut aku berat banget. Dan, kamu tahu?"
"Hm? Apa?"
Ia mendekat ke telinga dan berbisik. "Anaknya kembar laki-laki dan perempuan."
Aku menjauh dan menatapnya dengan berbinar-binar. "Wah! Gila! Seneng banget aku dengernya." Aku memeluknya sebentar, lalu membungkuk di depan perutnya yang pantas saja terlihat sangat besar. "Sehat-sehat, ya, keponakan. Jangan nakal sama Papa-Mama, ya?" Aku mengelus perutnya yang besar itu dengan banyak doa-doa baik yang aku rapal dalam hati. Aku yakin, ia akan menjadi anak yang bahagia karena lahir dari Mas Bagas dan Fani.
Fani membawaku masuk ke ruang periksa, ada Mas Bagas di sana, sedang duduk menulis catatan di kartu pasien. Aku pun menutup pintu ruang periksa agar ruangan ini tetap sejuk. Aku memberikan satu-satunya kursi yang ada di sana pada Fani. Kakinya sampai bengkak sekali karena menahan beban dua anak di dalam perutnya.
"Congrats, Mas, dapet anak kembar," kataku pada Mas Bagas sambil menepuk lengannya yang agak berisi. "Sehat?"
Mas Bagas itu sebenarnya tipe orang yang tidak bisa menunjukkan perasaannya lewan ekspresi dan kata-kata, tapi tatapan dan sikapnya yang berbicara. "Kamu gimana?"
Ia malah tak menjawab pertanyaanku. Yah, itu artinya ia sehat dan baik-baik saja. Yah, sudah pasti. Mereka sedang berbahagia. "Aku masih oke, lah. Begini-begini aja," jawabku. Tentu aku tak bisa memberikan jawaban akurat. "Oh, iya. Nanti pas Fani lahiran, apa Mas Bagas ikut cuti juga? Kalau iya, nggak apa-apa, kok. Biar aku yang stand by di sini." Aku pun mengalihkan topik.
Mas Bagas mengangguk. "Pas aku cuti nanti, bakal ada yang gantiin. Temen seangkatan pas S1 dulu, jadi kamu nggak berat. Mungkin dia baru masuk minggu depan, dia masih kerja di Malaysia," jelasnya. Aku hanya memanggapi dengan anggukan kepala. "Gimana rumah baru kamu? Aman?"
Aku tersenyum. "Aman. Ada tetangga yang baik, temennya dokterku. Ibunya udah meninggal, dan ikut jagain," jelasku singkat.
"Nggak jahat?" tanya Fani.
Aku menggeleng. Mereka berdua tahu bahwa aku sensitif, meski bukan Anak Indigo yang sebenarnya. "Dia ibu yang baik, sangat baik. Dia hangat dan perhatian. Kalau dia belum meninggal, aku mau jadi anaknya." Aku tertawa ringan. "Oh, terus, kapan aku bisa mulai kerja?"
Mas Bagas dan Fani sempat saling bertatapan, entah apa yang mereka bicarakan dengan batin mereka itu. "Aku bakal kenalin kamu ke karyawan, dan kamu bisa langsung kerja hari ini. Kebetulan, aku harus temenin Fani untuk USG sebenrar lagi," jelasnya.
"Siap."
Mas Bagas sempat keluar, lalu masuk kembali dengan membawa seluruh karyawannya. Bagian kasir dan admin ada dua orang, paramedis ada dua orang, asisten dokter ada dua orang, groomer dua orang, dan seorang driver pelayanan delivery. Sebenarnya, ada satu orang yang libur hari ini, yaitu asisten dokter, jadi akan diperkenalkan besok. Setiap hari akan ada satu atau dua orang yang libur, karena klinik ini buka setiap hari.
"Dokter Kya ini sakit jantung, jadi nggak bisa terlalu capek. Kalau Dok Kya jaga sendirian, pasien dibatasi aja, maksimal 15 orang. Kalau ada saya, nggak apa-apa yang banyak," kata Mas Bagas. Sejak awal, aku juga sudah memberitahunya bahwa aku hanya akan menerima maksimal 15 orang saat praktik. Bukan hanya karena aku sakit jantung, tapi aku juga harus menata hati dan pikiran agar tidak emosional saat kelelahan menghadapi beragam sifat pet owner. "Dan, kalau ada operasi besar, satu aja per hari kecual emergency. Dok Kya ini juga bisa operasi tulang, lebih baik daripada kemampuan saya. Jadi, dibantu, ya, Dok Kya-nya."
Aku membungkuk kecil. "Mohon bantuannya, ya. Silakan bersikap santai dengan saya." Aku tersenyum pada mereka semua. Dan, mereka membalasku juga dengan senyuman. Sepertinya, aku akan senang dan betah bekerja di sini. Tapi, sesuai perjanjian, kontrak kerjaku akan diperbaharui setiap 6 bulan. Semoga bisa bekerja lebih lama lagi di sini.
"Kalau gitu, Dok Kya, kami titip klinik untuk hari ini, ya? Kalau capek, istirahat. Jangan maksain diri," kata Mas Bagas, turut mewakili Fani.
Aku mengangguk sambil terkekeh. "Siap."
Ini akan menjadi langkah yang baru untukku. Pindah pekerjaan itu memang tak mudah, tapi karena Mas Bagas, Fani, dan karyawan klinik ini menerimaku dengan hangat, aku yakin aku akan baik-baik saja. Aku hanya bisa berharap bahwa aku bisa lebih bahagia dengan suasana yang baru ini.
Tak lama setelah Mas Bagas dan Fani pergi, pasien pun mulai berdatangan. Memang, katanya aku ini 'bau', mengundang pasien. Tapi, aku tak merasa begitu. Sebab, kadang aku juga bisa saja tak menerika pasien dalam sehari. Meski harus beradaptasi, tapi ternyata aku baik-baik saja. Bahkan, aku menikmati suasana yang baru ini.
Ah, aku benar-benar beruntung.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Only Need One Reason
Ficção Geral"Kamu suka hewan? Punya peliharaan?" "Iya, aku suka kucing. Punya kucing juga," jawabku dalam hati. "Dia membutuhkan kamu. Jadikan dia sebagai alasan kamu untuk berjuang dan bertahan hidup. Lupakan mereka yang nggak membutuhkanmu, apalagi yang menga...