Sampai di rumah Mirna, dari dalam rumah terdengar suara tangisan histeris seorang ibu dan adik, sedangkan ayah Mirna berusaha menenangkan diri dan menyambut pelayat di teras rumah.
" Pak Santo, turut berdukacita cita ya pak, ini pak kenalin mba Lia dan mas putra tentangga baru kita rumah nya di sebrang saya " ucap Bu tarsih memperkenalkan kami.
" Iya pak Santo, saya putra ini istri saya Lia dan ini Gilang anak saya, saya sekeluarga mengucapkan turut berdukacita ya pak " ucap mas putra dengan menjabat tangan pak Santo ayah Mirna.
" Iya Bu tarsih, mba Lia dan mas putra salam kenal dan terima kasih atas belasungkawa nya, silahkan masuk mba, mas dan Bu tarsih " ucap pak Santo mempersilahkan kami masuk.
" Mah kamu aja yang masuk ya, aku harus nemenin Gilang dan mau ngobrol sama bapak bapak disini " ucap mas putra menasehati ku.
" Iya mba Lia biar mas putra cepat akrab dengan bapak bapak disini, Ayuk kita masuk " ajak Bu tarsih dan dengan cepat aku iyakan.
Di dalam sudah ramai orang mengaji di samping jenazah, tak luput dari pandangan ku ada ibu ibu yang sedang menangisi kepergian Mirna dan ada anak Remaja di samping yang tak kalah deras air matanya.
" Assalamualaikum ibu ibu, ini mba Lia tentangga baru kami, kita berdua mengucapkan turut berdukacita ya Bu Yanti " ucap Bu tarsih pada bu Yanti ibu Mirna.
" Iya mba Lia Bu tarsih terima kasih atas prihatin nya, saya masih ga nyangka anak saya secepat ini meninggal kan kami " ucap Bu Yanti dengan air mata yang terus mengalir dari kedua matanya.
" Iya Bu yang sabar ya Bu, semoga mba mirna tenang di alam sana " ucap ku dibalas dengan anggukan oleh ibu Yanti.
Suasana sangat ramai, sesekali aku melihat mas putra yang cukup berbaur dengan warga tak jarang juga aku mendengar ia memperkenalkan aku kepada bapak bapak di sana, tak kalah dari mas putra aku dan ibu ibu disini juga mulai mengenal dan aku selalu menunjuk mas putra ketika ibu ibu menanyakan anak ku dan suami ku.
" Mba Lia, suami nya ganteng mba nya juga cantik, suami nya kerja dimana sekarang mba ? " Tanya salah satu ibu ibu.
" Hehe makasih bu, suami saya kerja di perusahaan ******* itu Bu awalnya dia dapat di kantor pusat di kota kami eh malah di pindah di kantor cabang Disini " jelas ku pada ibu itu yang di balas ber oh ria.
Setelah beberapa proses pada jenazah sudah dilaksanakan dan waktu nya untuk mengantarkan jenazah ke peristirahatan terakhir nya.
Kami sudah siap untuk berangkat ke pemakaman desa, jarak nya hampir 15 menit perjalanan kaki, aku menggandeng Gilang dan di sebelah ku ada Bu tarsih dan mas putra harus ikut mengangkat jenazah ke peristirahatan terakhir nya.
Di sepanjang perjalanan, banyak sekali ibu ibu yang membicarakan atas kematian mba mirna, tak jarang ibu ibu mengajakku untuk menggibah masalah ini, dengan halus aku tolak dengan mengucapkan...
" Ibu ga baik omongin orang yang sudah tidak ada, lebih baik kita doakan saja beliau semoga di terima di sisi tuhan "
" Tapi ya mba Lia, dan ibu ibu merasa aneh ga sih atas kematian Mirna ini " ucap Bu Wati berusaha memancing ibu ibu untuk mulai menggibah.
Tak sedikit ibu ibu yang terpancing dan akhirnya membicarakan itu di sepanjang perjalanan ke pemakaman, dan ada juga yang hanya diam tak ingin membicarakan hal seperti itu apalagi di saat ini.
Proses pemakaman pun selesai, bahkan sampai titik ini masih banyak yang membicarakan atas kematian Mirna yang tak wajar, memang jika dipikir pikir ini tak wajar tapi untuk di bicarakan bukan lah hal yang benar.
" Bu Yanti, pak Santo kami pamit dulu ya pak, bapak dan ibu yang tabah ya " ucap mas putra ke pada bu Yanti dan pak Santo.
" Iya mas putra terimakasih sudah membantu, dan makasih juga mba Lia nanti jangan lupa datang tahlilan ya mas putra " ucap pak Santo kepada kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
TEROR ARWAH MIRNA
Horror" kematian ku harus kau pertanggung jawabkan, atau semua warga desa ini taruhan nya " -Mirna- Kepindahan Lia dan putra ke kota kecil ini karena sang suami ( putra ) harus pindah tugas di kantor cabang yang terletak di kota itu. Namun, belum genap se...