Fear

234 33 10
                                    

.

.

.

Soobin POV

"Kalian gila, itu hubungan yang terlarang!"

Jongeui tampak terpukul saat aku memberitahukan mengenai hubunganku dan Yeonjun hyung. Mau bagaimana lagi? Dia memergoki kami yang sedang kencan di bioskop beberapa hari yang lalu. Wanita ini juga sedang berada di sana bersama beberapa temannya. Dan kami bagaimana pun juga terlihat seperti pasangan. Sedangkan kakakku hanya tertunduk pucat di sebelahku. Aku menggenggam tangannya, mencoba menguatkannya.

"Ya, kami tahu." jawabku sekenanya. Jujur saja aku tidak tahu lagi harus bilang apa. Jongeui pasti akan memberitahukan masalah ini pada orang tua kami. Bagaimana pun juga ini masalah serius kan?

"Ini masalah serius Soobin, kau sakit!"

Jongeui tampak sangat gelisah. Kurasa wajahnya memerah menahan tangis. Aku tahu dia begitu mencintai kakakku, tapi rasa kecewanya saat ini tertutup oleh berita yang jauh lebih penting. Aku mengangkat bahuku, entah aku setuju atau tidak dengan ucapannya bahwa aku ini sakit tapi yang jelas aku memang tidak normal.

"Lalu apa yang akan kau lakukan noona? Apa kau akan memberitahu orang tua kami?" tanyaku langsung. Kurasa tak perlu bertele-tele lagi.

Ia menatapku tajam, mungkin ia tersinggung atau marah karena berpikir aku sedang menantangnya.

"Well, maaf aku tidak bermaksud. Aku benar-benar hanya ingin tahu apa reaksimu selanjutnya, bukan ingin menatangmu." lanjutku lagi. Ekspresi wajahnya berubah, sepertinya ia agak sedikit terkejut saat tahu aku mudah sekali membaca orang lain.

"Entahlah, seharusnya aku memang bicara pada orang tua kalian. Tapi ahjussi dan ahjumma.. Kita tidak tahu kondisi kesehatan mereka seperti apa, aku khawatir mereka tidak dapat menerima kabar ini."

Harus kuakui. Jongeui memang jauh lebih dewasa, pemikirannya panjang.

"Tapi aku mendesak kalian berdua untuk menghentikan semua ini."

Dia menatapku tajam. Hatiku mencelos dan lututku lemas. Beginikah perasaan orang yang melakukan kesalahan? Terpojok.

Jongeui meraih tangan Yeonjun hyung dan menggenggamnya.

"Berusahalah Yeonjun, kalian harus hidup terpisah agar dapat memperbaiki keadaan ini. Aku tidak bisa banyak membantu, tapi aku punya kakak tingkat seorang psikiater. Maukah kalian menemuinya?" Tanya Jongeui. Ia menatap kami bergantian. Ternyata dia jauh lebih baik dari yang aku pikirkan.

"Tidak bisa,"

Aku dan Jongeui menoleh bersamaan ke arah Yeonjun hyung. Ia menatapku, wajahnya terlihat tirus dan lebih pucat.

"Aku tidak bisa, Jongeui-ya"

"Apa maksudmu Yeonjun? apa kau berniat melanjutkan hubungan kalian?" Jongeui melepas genggaman tangannya. Entah bagaimana aku harus bereaksi terhadap keputusan Yeonjun hyung, tapi jelas aku siap jika ia memintaku untuk membawanya kabur.

"Aku sudah terlanjur kotor!"

Jongeui melotot kaget akan kalimat yang keluar dari mulut Yeonjun hyung. Ia segera berdiri dan meraih kerah bajuku dengan penuh emosi.

"Kau- kau menidurinya? Kau meniduri kakakmu?"

Sedetik kemudian sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Aku tak melawan, dan sedikitpun tidak berniat begitu, meski pipiku terasa perih sekali. Jongeui melepas cengkeramannya, ia kembali duduk dan memegangi dahinya dengan tampang yang benar-benar frustasi.

"Kalian pulanglah, aku tidak tahu lagi apa yang harus aku bicarakan pada kalian" Jongeui beranjak dengan wajah penuh kekecewaan.

.

.

.

.

.

Aku menatap orang yang paling kucintai terbaring lemah di ranjang. Wajahnya menjadi semakin pucat karena ia sama sekali tidak mau makan. Apa yang ia makan dengan cepat ia muntahkan kembali. Aku benar-benar mengkhawatirkannya, terlebih lagi dua hari lagi eomma dan appa akan pulang. Jika mereka mendapati keadaan hyung yang seperti ini mereka pasti membawanya ke rumah sakit. Jika sampai harus dilakukan pemeriksaan seluruh tubuh, maka semua hal yang kami sembunyikan akan segera diketahui oleh mereka.

"Aku sudah memutuskan"

Aku menoleh pada Jongeui yang tengah berdiri di depan jendela kamar Yeonjun. Sudah beberapa hari ini ia berada di rumah kami semenjak keadaan hyung semakin melemah. Jujur saja kehadirannya sedikit menenangkan. Wanita ini cukup cepat dalam mengambil keputusan. Ia melangkah dan duduk di samping Yeonjun hyung yang masih terbaring lemah. Ia mengelus pipi hyungku dengan penuh kasih sayang, aku bisa merasakannya.

"Aku akan tetap menikah denganmu Yeonjun. Aku bisa pura-pura hamil dan bilang pada orang tuaku bahwa janin yang kukandung adalah anakmu, agar pernikahan ini bisa dipercepat dan orang tuamu tidak curiga pada kalian berdua"

Yeonjun hyung kembali menangis, dan memalingkan wajahnya menghindari tatapan Jongeui. Kurasa ia malu, malu karena Jongeui masih membantunya. Dan aku, aku bingung harus berbuat apa. Aku lebih memilih membawa kabur Yeonjun hyung dari pada melihatnya menikah dengan orang lain. Tapi bukankah keinginanku itu egois?

.

.

.

.

Yeonjun POV

Tubuhku terasa tidak selemah beberapa hari yang lalu. Berkat kakak tingkat Jongeui yang berprofesi sebagai dokter aku mendapat beberapa infus nutrisi. Aku tahu eomma sudah mulai curiga pada kami berdua. Tapi selama ia tidak membahas apapun aku memutuskan untuk tidak bergeming.

Sebenarnya aku sangat frustasi. Aku malu sekali pada Jongeui, aku juga merasa tidak enak padanya karena ia masih mau membantuku. Apakah aku dan Soobin pantas menerima pengorbanan dari orang sebaik Jongeui? dan Soobin, yah dia selalu saja meyakinkan aku bahwa ia siap untuk membawaku pergi kapan saja aku mau. Tapi mana boleh begitu kan? Itu keputusan nekat yang egois.

Hatiku sakit tiap kali mengingat hubunganku dan Soobin yang sangat menyimpang ini. Aku sudah sangat frustasi dengan keadaan ini, keadaan yang kubuat sendiri. Banyak sekali orang yang akan tersakiti hanya karena ulahku dan Soobin. Tapi aku mencintainya. Benar-benar mencintainya.

Aku ingin terus bersama Soobin tapi tak sanggup menyakiti orang-orang di sekitarku. Saat ini aku benar-benar rapuh, hatiku benar-benar lemah dan bimbang. Rasanya aku mau mati saja, dan menurutku itu bukan pilihan yang buruk.

Sudah hampir tiga puluh menit aku berendam di dalam bathub. Akhir-akhir ini kegiatan mandiku semakin lama saja. Aku merasa tubuhku ini kotor dan itu kurasakan tiap kali aku dan Soobin bersatu.

Aku memandangi silet yang sejak tadi kuletakkan di sampingku. Aku meraihnya tanpa rasa takut, kugoreskan di pergelangan nadiku dengan cepat dan pasti. Rasanya ngilu dan perih tapi juga lega, sangat lega. Kurendam pergelangan tanganku, seketika air dalam bathub menjadi merah. Ini darahku.

Rasanya tubuhku begitu ringan. Tak ada lagi beban pikiran di otakku, tak ada lagi rasa jijik pada diriku sendiri. Semua terasa hampa dan juga gelap.







TBC

.

.

.


Kalian suka happy ending / sad ending?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 31, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ares & Aphrodite [Soobjun]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang