Hari Pertama Turunnya Salju

42 4 3
                                    

Terkutuklah orang-orang yang mengira pekerjaan sebagai seorang CEO itu mudah, berpikir bahwa mereka itu tinggal duduk di meja kerja menunggu sekertaris mereka mengetuk pintu lantas masuk ke dalam ruangan dengan membawa berkas yang harus ditandatangani. Aku adalah bukti hidup ketidaknyamanan itu. Bahkan saat orang-orang kantor sudah terlelap di peraduan mereka di rumah, aku masih ada di kantor. Apalagi hari ini adalah hari pertama turunnya salju, harusnya aku pulang lebih awal. Ada setumpukan berkas rancangan sialan yang menuntutku untuk menyelesaikannya larut malam itu juga. Esok adalah hari yang lain. Esok, aku akan bergelut dengan kegiatan lain; meeting dengan klien, meeting dengan bawahan serta hal-hal remeh yang membesarkanku seperti wawancara majalah mingguan pun aku ladeni. Belum lagi jika ada acara-acara lain seperti peresmian. Aku berasal dari bawah, jadi aku tak akan melupakan masa-masa itu dan orang-orang yang saat ini ada di sana. Justru orang-orang itulah yang berpotensi menguasai dunia atas suatu hari nanti. Kita tak pernah tahu.

Aku baru saja beranjak dari meja kerjaku, membuat kopi dan duduk memutar kursi itu sehingga menghadap ke pemandangan kota malam hari, ketika pintu ruanganku dibuka dan suara langkah kaki menghampiriku.

Mengira bahwa orang itu adalah Lusi, sekertarisku, aku pun bertanya, "Kamu tidak mendengar apa yang saya katakan? Saya menyuruh kamu pulang, Lusi. Kenapa kamu masih ada di kantor?" tanyaku.

Tapi Lusi tidak menjawab pertanyaanku, sementara derap langkah kian dekat.

"Lusi?" panggilku sembari memutar kursi.

Yang terjadi berikutnya benar-benar diluar dugaanku. Tubuhku terjungkal berikut kopi yang bahkan belum sempat aku nikmati. Seseorang yang mengenakan topeng telah menendang tubuhku, aku bahkan kesulitan bernafas karenanya.
Saat aku berusaha bangun, orang ini mengcengkeram bajuku hingga aku merasa tercekik. Ia kemudian mulai memukuli wajahku berkali-kali.

"S-siapa kamu?" tanyaku, kesal.

Dia tak bergeming. Satu-satunya yang dia lakukan adalah meraih sesuatu dari punggungnya. Hal berikutnya terjadi dengan begitu cepat. Aku merasakan perutku ditekan kuat-kuat dan sesuatu terbenam di sana. Aku mulai merasakan panas di mulai dari sekitaran sana. Dan ketika orang ini menghunuskan pisau dari perutku, darah juga menyembul dari mulutku dan aku ambruk ke lantai. Belum puas melukaiku, orang ini lantas menginjak-injak lukaku sehingga tanpa sadar aku berteriak kesakitan sampai segala sesuatunya berangsur gelap, aku bahkan tak merasakan luka itu lagi.

***

Saat aku terjaga, aku terbaring di sebuah dipan di bawah pohon akasia tanpa sehelai pun daun. Aku pasti tertidur begitu lama. Aku berada di musim gugur saat ini dan ingat betul lembur di kantor saat hari pertama turunnya salju.

Entah mengapa aku tidak asing dengan tempat ini, dipan di luar ruangan dan pohon akasia. Sekelebat bayangan datang dan menetap di ingatanku. Aku mengingat tempat ini, aku mengingat panti asuhan ini dan teman-temanku. Aku mengingat para suster yang baik hati dan ibu panti yang sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri. Aku mengingat semua. Tak terasa sebutir air mata jatuh melewati pipi.

Saat aku bangkit, aku merasakan nyeri di perut. Aku membayangkan perutku koyak dan kehabisan darah. Dan diriku yang saat ini mungkin hanyalah arwah belaka. Namun ketika aku memeriksanya, luka itu sudah tidak ada. Apa yang terjadi?

Ketika aku dilanda kebingungan, seseorang memegangi wajahku dengan kedua tangan mungilnya sehingga aku mendongak melihat kepadanya. Betapa terkejutnya aku ketika menemukan anak kecil itu adalah diriku sendiri. Ia adalah diriku ketika berusia sepuluh tahun. Bagaimana hal semustahil ini bisa terjadi? Apakah ini mimpi?

When I Was Ten Years OldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang