Sesuatu yang Lebih Menakutkan

14 1 0
                                    

Segera setelah Ben meninggalkan ruangan ini, aku menghubungi Deva. Dia adalah teman dekatku yang juga seorang polisi.

"Halo?" sapaku.
"Jerry? Bagaimana kabarmu? Kudengar kau diserang."
"Dev, aku mungkin tahu siapa orang yang menyerangku. Apakah kau bisa datang ke rumah sakit sekarang?" tanyaku.
"Apa? Baiklah. Aku akan ke sana."

Aku dan Deva menghabiskan tiga puluh menit untuk hanya berdiam.

"Hei? Cepat katakan, siapa orang itu?" tanya Deva sembari merengut.
Aku menggaruk kepalaku yang sejujurnya tak gatal, "Maaf, Dev. Aku tak mengingatnya." kataku.
"Apakah kamu masih ragu untuk mengatakannya?" tanya Deva.
Aku diam, "Apakah dia orang dekatmu?" tanya Deva lagi.

Kali ini aku menoleh, aku menatap kedua mata Deva dan tak dapat bertahan. Aku berpaling, mengedarkan pandangan kepada yang lain. Aku memainkan jari-jariku, aku berdiri. Aku berjalan menuju jendela, aku memandangi pemandangan kota. Mendadak, aku ingin menghindari Deva. Aku menyesal telah mengundangnya kemari. Meski demikian, ia pasti makin penasaran.

"Kalau belum siap, kamu tidak harus mengatakannya sekarang, Jerry." kata Deva, "Aku pergi dulu. Aku banyak tugas." pamitnya sebelum keluar dari ruangan.

Sampai saat itu, aku masih tak berbicara satu kata pun.

***

Setelah menghabiskan waktu yang lama di rumah sakit, aku akhirnya diperbolehkan pulang. Pulang ke rumah orang tuaku. Aku tak ingin makin menambah pekerjaanku, jadi aku segera pergi ke kantor. Aku bahkan melewatkan sarapan karena pekerjaan-pekerjaan itu.

Tempat pertama yang aku kunjungi adalah ruangan keamanan. Orang-orang segera membungkuk begitu aku memasuki ruangan itu, padahal mereka lebih tua dariku dan aku telah melarang mereka melakukan yang demikian.

"Apakah kalian mempunyai rekaman di malam saat aku diserang?" tanyaku.
Mereka justru diam, "Ada apa?" tanyaku lagi.
"Maaf, Pak. Semua rekaman di hari itu hilang. Seseorang pasti telah menghapusnya." terang salah satu dari petugas keamanan itu.
"Bagaimana bisa? Memangnya kalian tidak berjaga malam itu?"
"Kami berjaga. Hanya saja ketika alarm kebakaran berbunyi, kami panik. Kami semua lari keluar gedung. Ah," tetiba kata-katanya terhenti, "...maafkan kami, Pak. Kami seharusnya menyelamatkan Anda jika memang ada kebakaran. Kami malah memikirkan diri kami sendiri. Maafkan kami, maaf." dan secara bersama-sama mereka membungkukkan badan lagi.

Alarm kebakaran? Saking sibuknya, aku bahkan tak mendengar suara itu.

"Jadi, apakah memang ada kebakaran waktu itu?"
Mereka menggeleng, "Tidak, Pak. Itu cuma alarm palsu."

Aku membuka flip ponselku ketika memasuki ruangan. Aku duduk di kursi dan Deva menyapaku dari ujung ponsel.

"Ada apa lagi?" tanyanya.
"Rekaman cctv malam itu hilang, Deva. Ada seseorang yang menyalakan alarm kebakaran, sehingga para petugas keamanan keluar gedung. Saat itulah rekaman itu hilang." terangku.
"Dia sangat cerdas, Jer. Dia juga bermain bersih. Dan aku makin antusias. Kalau sudah begini aku akan meminta izin kepada atasanku untuk mengambil kasusmu."
"Aku takut, Dev." akuku.
"Sudah kewajiban kita untuk menangkapnya, Jer. Dia harus mendapatkan hukuman, dia harus menetap di penjara. Apakah kau tahu apa yang lebih menakutkan lagi?" aku tak mengindahkannya-tapi Deva terus berbicara, "Itu adalah jika kau diserang lagi. Dan bagaimana jika saat itu kau tak bangun lagi? Betapa sedihnya kedua orang tuamu nanti."
"Sepertinya kita harus bertemu lagi, Dev. Kali ini aku akan menceritakan semuanya."
"Bagaimana jika nanti malam? Hari ini istriku minta ditemani ke supermarket."
Sejujurnya aku kecewa tentang Deva yang tak dapat menemuiku saat ini juga, "Baiklah. Di tempat biasa, ya." kataku.

Sambungan telepon terputus. Aku berkencan dengan pekerjaan hingga malam tergelar di langit kota. Aku bergegas ke parkiran dan memasuki mobil. Aku hendak menyalakan mobil itu ketika seseorang membekap mulutku dengan kain basah. Beberapa saat kemudian kesadaranku berangsur pudar. Semuanya berubah menjadi gulita.

When I Was Ten Years OldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang