Sejak Aku Menjadi Bagian Dari Keluarga Mereka

7 0 0
                                    

Saat terbangun, tangan dan kakiku terkekang. Mataku tertutup. Saat penutup mata itu dilepaskan, orang-orang ini yang entah suruhan siapa mulai memukuli perutku. Aku sampai terbatuk-batuk karenanya.

"Hei! Apa yang kalian lakukan?" hardik seseorang dari belakang.

Orang itu tinggi dan besar, mirip dengan seseorang yang menyerangku di kantor. Orang itu berjalan mendekati cahaya. Saat ia telah sampai, wajahnya terlihat jelas dan dia adalah Ben.

"Abang?"
Dia mendekatiku lalu memasang sikap kuda membelakangiku, "Beraninya kalian melakukan ini pada adikku." katanya sembari mengacungkan tongkat bisbol yang sejak sedari tadi ditentengnya.

Tongkat itu Ben ayunkan. Merasa cukup yakin bahwa setidaknya dengan ayunan sekuat itu ia akan mengenai salah satu dari mereka, tapi kemudian Ben memutar tubuhnya dan menghadap padaku. Ia lantas memukul kepalaku keras-keras.

Eh? Apakah dia terlalu bersemangat sampai tubuhnya terputar begitu? batinku.

Kepalaku berdenyut-denyut. Telingaku berdenging. Ben melakukannya lagi sehingga denyut dan dengingan itu makin buas.
Pandanganku mulai kabur. Darah mengalir melewati wajahku. Kendati demikian, aku masih dapat berbicara.

"A-apa yang kau lakukan, Bang?"

Aku memandang wajah Ben dan menemukan wajah orang lain padanya. Mata yang mengandung api itu, apakah dia benar-benar Ben? Senyum yang terbit setelah luka dan hujan darah, benarkah dia kakakku? Ben bahkan orang pertama yang berlari mengambilkan aku air ketika aku tersedak kue kering. Ia adalah orang pertama yang meniup lukaku saat aku terjatuh dan terluka dulu.

"Biar aku jelaskan, Jerry. Hidupmu akan berakhir di sini, saat ini juga."
"Tapi kenapa, Bang? Apa yang membuatmu jadi seperti ini?

Tanpa sadar, air mata jatuh dari mataku. Ben menyekanya, wajahnya begitu dekat dengan wajahku.

"Dengar, Ben. Sejak kau menjadi bagian dari keluarga kami, hidupku menjadi hancur. Kau selalu dapat peringkat tiga besar saat kita masih kecil dahulu, Ayah dan Ibu selalu membangga-banggakan hal itu sampai mereka melupakan aku karena aku tidak bisa melakukan hal yang sama. Sejak saat itu aku berubah menjadi orang lain, aku menjadi Ben yang sabar dan baik hati kepadamu agar Ayah dan Ibu memperhatikan aku lagi. Bahkan saat dewasa, kau berhasil membanggun perusahaanmu sendiri, kau menjadi seorang CEO muda. Mereka makin memujamu, Jerry. Mereka membicarakan tentang keberhasilanmu itu di pertemuan keluarga, mereka membicarakannya di mana-mana. Sementara aku, aku masih bekerja dengan Ayah. Dan aku tidak jauh berbeda dengan para bawahan Ayah. Aku begitu jauh darimu. Aku makin jauh dari mereka sekalipun aku tinggal bersama mereka. Tidak, Jerry. Cukup sampai di sini. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku yang kau renggut. Itu adalah milikku." Ben juga menangis ketika memuntahkan isi hatinya itu.

Aku memejamkan kedua mataku ketika Ben mengayunkan kembali tongkat bisbolnya, bersiap memecahkan kepalaku.

Akan tetapi,

Dor!!!

Ben ambruk menimpaku. Suara tembakan itu berasal dari revolver yang di acungkan Deva. Semua kacung Ben kucar-kacir, mereka berlarian dan suara tembakan terdengar di mana-mana. Sebagain besar dari mereka tiarap.
Deva menjelangiku. Dia melepaskan tali yang mengekang tangan dan kakiku.

"Kau tidak apa-apa?" tanyanya, kemudian—melihat berantakannya luka kepalaku, dia mulai menebak, "Ah, kau sangat buruk saat ini. Sepertinya aku juga telah buta." katanya.
Aku menilik Ben, "Dev, matanya terpejam. Cepat panggil ambulans!" perintahku.
"Tapi, Jer. Dia kan orang yang telah..."
"Cepat, Deva!!!" sergahku.
"B-baik, baiklah."

When I Was Ten Years OldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang