Jerry terbangun saat aku tiba di sana. Tengah malam itu, dia keluar kamar dan duduk di ayunan—di dekat pohon akasia. Dia terisak-isak di sana, dan aku mulai mengingat bagaimana rasanya hidup pada saat itu. Jerry saat ini tengah kelaparan. Jatah makan yang diberikan panti asuhan tidaklah cukup baginya. Sialnya, ia tidak bisa meminta makanan lebih—khususnya di malam seperti kini.
"Jerry?" panggilku.
Dia balik badan sehingga dia dapat melihatku, "Ayah?" senyumnya langsung mengembang, "Apakah sudah saatnya bagi kita untuk pulang?" tanyanya.
"Pulang? Aku bahkan tak punya tempat tinggal di dunia ini—saat ini." gumamku.
"Apa? Aku gak dengar." tanya Jerry lagi.
"Kamu mau ikut denganku?"
Jerry mengangguk, "Tentu saja." dia berlari dan memelukku.Mungkin inilah saat yang tepat untuk menjauhi Bunda. Aku akan merawat Jerry. Aku akan mencari kerja dan aku akan menyewa kamar bagi kami.
Ah, aku baru ingat tentang kedatanganku lagi di tempat ini. Siapakah orang yang membekabku dengan bius itu? Apakah dia orang yang sama? Entahlah, aku mungkin mati kali ini. Aku mungkin abadi di waktu ini atau turut terbang ke dunia selanjutnya.
Aku baru ingat tentang pakaian yang aku kenakan sekarang. Seharusnya jika ini masih sama, ada satu kartu yang akan menentukan nasibku di dunia ini—saat ini. Aku mencarinya. Di saku jasku, antara percaya dan tak percaya, aku menemukan kartu itu. Kartu berwarna emas itu adalah VIP. Dia bisa membuatku mendapatkan apapun. Aku akan merawat Jerry dan menyewa kamar bagi kami, aku akan mengingkari 'mencari kerja' dan menikmati hidup bersama Jerry.Malam itu juga, aku membangunkan Bunda. Aku masih tak berani menatapnya, dan itu mungkin makin membuatnya penasaran dengan masa depannya sendiri.
"Ada perlu apa malam-malam begini?"
"Bu, saya ingin mengadopsi Jerry." kataku.
"Jerry sudah mengemas barang-barang Jerry, Bunda." tambah Jerry.
"Tidak bisa begitu Jer," Bunda nyaris keceplosan, aku mengedipkan satu mataku, "...ah, maksud saya, Pak. Kita harus mengikuti prosedur panti asuhan ini." jelasnya.
"Jadi, kapan saya bisa membawa Jerry?"
"Saat ketiga teman sekamarnya sudah diadopsi." jawab Bunda.Jerry harus berlapang hati dengan keputusan itu. Menurut penuturan Bunda, tanggal kepergian ketiganya sudah ditentukan. Hanya Jerry sendirilah yang belum dipilih untuk diadopsi. Semua teman-teman sekamarnya sebentar lagi akan memiliki orang tua mereka sendiri. Menurut Bunda pun, Jerry malah lebih dahulu akan diadopsi, tapi dia selalu menolak. Dan kini aku ingin menanyainya perihal itu.
Aku mengantar Jerry ke kamarnya. Dia tidak menyapa ketiga temannya yang sedang belajar dan segera berbaring di ranjangnya. Dia pasti merasa senang, sedih sekaligus kesal karena akan ditinggalkan. Dan anak sekecil itu belum bisa mengutarakan perasaannya.
Aku menyelimuti Jerry, aku mencium keningnya. Aku ingin lebih intim dengannya, dengan diriku.
"Bolehkah Ayah bertanya satu hal?" tanyaku.
"Boleh."
"Kata Bunda, Jerry sebenarnya sudah mau diadopsi, ya? Banyak ayah dan ibu yang menginginkan Jerry menjadi anak mereka. Nah, kenapa kemudian Jerry gak mau diadopsi oleh mereka?" tanyaku.
"Itu karena Jerry menunggu Ayah. Ayah kan sudah berjanji akan datang lagi. Sekarang, Ayah sudah datang." Jerry meletakkan tangan-tangan mungilnya di wajahku, ia menarik wajahku ke bawah dan aku memejamkan mata ketika ia mencium bibirku.Tapi aku bukan ayahmu, Jerry.
Ah, aku ingat sekarang. Ayah memang berjanji pada Jerry. Tapi Ayah tidak pernah datang lagi sejak janjinya hari itu. Menjadi seorang tentara itu harus siap meninggalkan. Sementara kita, anaknya, harus siap ditinggalkan kapanpun jua. Kematian selalu begitu dekat dengan Ayah. Dan Ayah meninggalkan Jerry saat itu, dia tak pernah kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
When I Was Ten Years Old
FantasíaSebagai seorang CEO muda, tentu banyak yang berniat menjatuhkan Jerry untuk merebut posisinya. Suatu malam, seorang bertopeng memasuki ruangan kerja Jerry. Jerry yang memang sudah kelelahan akibat kerja seharian sekaligus begadang itu tak dapat meng...