Sepanjang perjalanan pulang, Sakura hanya menatap gelang di tangannya dengan kebingungan. Simbol yang sama dengan yang ada di kamar guru sejarah pengganti? Ia benar-benar tidak mengerti. Simbol lingkaran bulat yang semakin menjorok ke dalam seperti ini bukanlah satu-satunya. Ibunya, Mebuki juga memiliki kalung dengan simbol yang sama.
Seorang nenek naik ke dalam bus, di halte kedua setelah sekolahnya. Keadaan bus di jam pulang sekolah cukup padat, semua orang sibuk bercakap ria dan bersanda gurau tanpa menghiraukan kehadiran si nenek. Sakura kemudian berdiri, mempersilakan nenek itu menempati bangku yang sebelumnya ia duduki.
"Terima kasih, Nak."
Sakura tersenyum manis. "Sudah seharusnya aku memberikan kursi kepada yang lebih membutuhkan, Nek."
Kadang Sakura suka merasa kesal jika melihat orang tua yang sudah renta seperti ini tidak diperlakukan selayaknya. Nenek itu pasti kesulitan menyeimbangkan sekaligus menahan beban tubuhnya di saat bus sedang berjalan. Ia bahkan tidak mampu untuk menggapai alat bantu genggam yang menggantung di dalam bis karena tubuhnya sudah bungkuk.
"Kau gadis yang baik," puji nenek tua itu.
"Mungkin lebih tepatnya aku gadis yang normal Nek," koreksi Sakura dengan cengiran. Hal-hal mendasar seperti memberikan tempat duduk pada orang yang lebih tua seharusnya lumrah untuk dilakukan bukan? Itu bukan hal yang istimewa jika kau benar-benar tahu tentang tata krama.
"Ada hal besar yang akan menantimu," ungkap nenek tua yang membuat alis Sakura berkerut.
"Maaf?"
Nenek itu kemudian meraih tangan Sakura dan menyentuh gelang dengan simbol lingkaran bulat di tangannya. "Kau sang pemegang kunci, masa lalu dan masa depan mungkin akan berubah karenamu."
Sakura mengeluarkan cengiran canggung, dalam hati bertanya-tanya, apakah nenek ini seorang cenayang? atau ia hanya hobi membual?
"Kelak kau akan memahaminya, aku tidak membual," ujar sang nenek seolah bisa membaca isi kepala Sakura.
Sakura menggigit bibirnya, merasa malu seolah ditelanjangi, bagaimana nenek di hadapannya bisa mengetahui isi pikirannya?
"Kau sudah menginjak usia tujuh belas tahun bukan?" tanya Nenek itu. Sakura membeku di tempat. Nenek di hadapannya pasti orang sakti bisa menebak ulang tahunnya dengan tepat.
"Wajar saja jika mereka mulai bergerak."
Alis Sakura berkerut semakin dalam. "Mereka? Mereka siapa?" tanyanya kebingungan.
Sang nenek mengelus tangan Sakura. "Tangan ini, tangan yang telah menyelamatkan banyak nyawa."
Telah? Itu keterangan waktu lampau, ia mengingat-ingat kira-kira apa yang dimaksud nenek di hadapannya. Sakura bersumpah ia hanya menyelamatkan seekor kelinci yang terkena jebakan tikus yang dipasang oleh ayahnya di halaman belakang rumah. Banyak nyawa apanya?
Sakura memang memiliki cita-cita untuk menjadi seorang dokter, mengikuti jejak ibunya. Tapi kalau nenek itu membaca isi pikirannya bukankah seharusnya kalimatnya menjadi tangan yang akan menyelamatkan banyak nyawa?
"Tidak perlu terburu-buru untuk mengerti semuanya. Keadaan akan segera berubah. Sejarah memang tidak mungkin terulang, tapi sejarah selalu memiliki pola yang sama dan berulang."
"Sejarah?" Sakura membeo. Tampangnya terlihat linglung karena tak memahami ucapan nenek tua itu.
"Halte Sheido!" sang kondektur berteriak, memperingatkan para penumpang agar halte tujuan tidak terlewat.
"Kau harus turun di halte ini bukan?" ucap Nenek itu yang membuat bola mata Sakura membola.
Bagaimana ia bisa bicara seolah tahu segalanya tentangku?!
KAMU SEDANG MEMBACA
History of The Throne
FanfictionGuru sejarah baru yang datang memicu serangkaian event aneh yang terjadi pada hidup Sakura Sejarah dibuat oleh pemenang, bukan realita Sakura centrict. Naruto milik Masashi Kishimoto