27. End

1.6K 149 25
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*
*
*


"Bund...."

"Iya. Kenapa? Sepi? Nggak ada adek. Adeknya mana?"

Cowok berdada bidang dengan rambut berponi samping itu memeluk wanita yang dipanggilnya Bunda tadi. Lemas, memangku dagu pada bahunya. Penampilannya yang sudah rapi dan wangi tidak menghalangi kedekatan mereka padahal wanita itu masih mengenakan celemek kotor, terciprat minyak dan bumbu makanan yang tengah dimasak.

"Bunda ih, kebiasaan," rengek cowok itu.

"Ya kamu juga kebiasaan. Setiap pagi selalu menanyakan itu. Pit, Bunda juga dari dulu mau kasih kamu adek. Tapi Tuhan kan nggak kasih ijin."

"Emang sekarang nggak bisa. Piter pengin kaya Lav loh, Bund. Rumahnya rame."

"Ayah sudah konsultasi ke dokter kemaren. Bisa bayi tabung, tapi kamu mau, Bunda pergi ninggalin kita." kata Pion menjewer putra semata wayangnya itu, menarik hingga ia akhirnya  duduk.

"Yah, kok ngomongnya gitu."

"Ya emang gitu kenyataannya. Bunda itu udah nggak muda lagi, Pit. Ayah juga. Ya resiko kalau melahirkan jadi semakin besar. Jadi mau nih, punya adek. Kalau Bunda pergi, Ayah juga pergi. Kamu yang urus adek kamu sendiri."

"Yah ... masa tumbuh satu hilang dua. Nggak. Nggak mau. Jangan bikin Piter sedih kenapa si, Yah...." Penampilan maco, hati hello kitty. Piter sangat mudah tersentuh memang. Sedikit-sedikit nangis. Apalagi jika mengenai Bundanya.

"Ya kamu habisan rese minta adek terus. Tuh, Bunda sama Ayah sampai nanya ke dokter lagi. Ya itu jawabannya," kata Pion acuh. Bayangkan, dari umur Piter empat tahun sampai sekarang menginjak delapan belas, setiap pagi dia selalu meminta adik, adik dan adik.

"Ya maaf, Yah. Tapi...."

"Tapi apa? Tapi kenapa nggak adopsi anak lain gitu? Sudah Bunda jawab dari dulu. Sini biar Bunda jelasin lagi. Bunda nggak mau adopsi karena Bunda sadar dengan batas kesabaran Bunda yang tipis. Bunda nggak mau kalau ujungnya anak yang Bunda adopsi nggak diurus dengan baik. Dan dulu kamu juga bandel. Bandel banget sampai Bunda rasa, Tuhan memang nggak mau kasih anak lagi karena punya kamu saja Bunda udah kewalahan. Sekarang ngerti, kan. Bunda nggak mau marah-marah sepagi ini ya, Pit," jelas Tera. Celemeknya sudah terlepas, dia ikut duduk bersama. Menyendokan nasi ke atas piring suaminya.

"Iya, ngerti."

"Ngerti tapi besok gini lagi," lontar Pion malas.

"Nggak, Yah, enggak. Janji. Tapi sekarang masalahnya telor ceplok Piter mana? Kok nggak ada?"

Centong diletakkan, Tera memukul pelan ketiak Piter yang membuat cowok itu meringis kesakitan. "Bisulnya masih sakit, jadi nggak ada telor ceplok buat hari ini." katanya mengambil centongnya kembali.

"Males. Udahlah, Piter berangkat," pamit cowok itu tanpa bersalaman, beranjak begitu saja disertai raut masam.

"Nggak laper dia?" tanya Pion.

R U S U HTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang