Rokok

8 1 0
                                    

Sudah 24 jam sejak kamu pergi kemarin malam, dan aku sama sekali belum melangkahkan kaki keluar dari rumah.

Jarum jam mengarah ke pukul 11 malam tepat, lebih cepat 5 menit daripada waktu sebenarnya. Jam di rumah ini, sengaja aku percepat karena kamu yang suka bermalas-malasan dan bangun kesiangan, tapi sekarang rasanya nggak begitu berguna ya?

Kamu tahu aku sangat membenci asap rokok, jadi dulu kamu membeli sebuah kursi plastik untuk kamu duduk sambil merokok di balkon. Melihat gorden balkon yang bergoyang tertiup angin, membuat mataku terasa semakin sakit dan bengkak ---membayangkan kamu yang kini tak ada lagi di balkon, sedang menghisap rokokmu perlahan lalu menghembuskan asapnya ke atas, lalu tertiup angin malam ke langit-langit.

Kini, yang tersisa hanya beberapa puntung bekas rokokmu yang mengotori lantai, serta lingkaran-lingkaran hitam terbakar abu rokok di tembok balkon. Aku udah sering bilang, "Buang puntungnya di tempat sampah dong," "Jangan buang ke halaman rumah." Lalu kamu hanya mengangguk-angguk, dan mengambil sebungkus rokok dari saku celanamu.

***

"Tolong perhatiin aku!" Apa permintaanku terlalu berat buat kamu? "Tolong aku ingin kita lebih serius!" Kalau aku nggak ngomong begitu, apa mungkin kamu masih tetap berada di sini?

Padahal kamu selalu perhatian, kamu tahu seluk-belukku seperti punggung telapak tanganmu sendiri. Kamu tahu aku selalu merasa kepanasan ketika mengantuk, dan tanpa dipinta kamu membuang rokokmu, lalu membuka jendela balkon.

Dan aku selalu suka ciumanmu, walaupun singkat--ciuman dari bibirmu yang telah menghitam, dan terasa pahit.

Tapi, aku kemudian terpikir: Seberapa banyak aku tahu tentang kamu?

... Hal pertama yang terlintas di pikiranku adalah merk rokok favoritmu yang samar-samar tertutup peringatan larangan merokok, lengkap dengan gambar tenggorokan yang bolong.

"Nutupin foto seram itu pakai korek, nggak bikin kamu kebal kanker tenggorokan," kataku dulu ke kamu. Kamu hanya membalas dengan tawa kecil, sadar kalau yang kamu lakuin memang hal yang konyol. Lalu kamu memasukkan bungkus rokok berwarna merah itu kembali ke dalam saku, yang kuingat hanyalah huruf depan merk rokokmu, huruf M yang tercetak kecil dan hampir tak terbaca.

Bahkan hal sesederhana merk rokokmu pun aku tidak tahu. "Seandainya saja aku lebih memerhatikan kamu." Tapi, kalau dipikir-pikir juga rasanya percuma saja. "Coba aku lebih mengerti tentang kamu." Terus kenapa aku baru sadar sekarang?

***

Tanpa berbicara satu patah kata pun, kamu beranjak dari kursimu di balkon, mengambil tas dari dalam kamar. "Kamu mau kemana?" Kamu tidak menjawab. Malah mempercepat langkahmu, mengambil jaket yang tergantung di pintu. "Apa susahnya? Aku cuman ingin dimengerti." Kamu masih tidak menjawab. Kamu mengambil kunci rumah dari kantong, lalu menaruhnya ke atas meja. Tanpa kamu sadari, satu bungkus rokokmu terjatuh dari kantong. "Tunggu..."

***

Rokokmu yang kamu tinggalkan itu, aku begitu membencinya. Tapi entah kenapa, tanganku bergerak sendiri membuka bungkusnya. Mengambil satu batang, lalu berjalan menuju korek yang sengaja kamu gantung di balkon.

Setelah beberapa kali aku putar pemantik korek, api kecil muncul dari sisa-sisa gas korek yang hampir habis. Bara di ujung rokok memerah karena tertiup angin kecil hujan gerimis, terlihat begitu kontras dengan suasana sekitar yang terasa abu-abu.

"Bau asap ini..." Samar-samar aku mencium baumu. Ah. Ini benar-benar tercium seperti kamu.

Aku memejamkan mata, memasukkan ujung rokok ke dalam mulut, lalu menghirupnya dalam-dalam. Asap rokok berjalan memenuhi tenggorokan, paru-paru, lalu menuju hidung dan mata. Membuat dadaku panas, dan mataku berair.

"UHUK UHUK," aku terbatuk-batuk. Kenapa sih kamu suka menyiksa diri sendiri? Jadi satu tambahan pertanyaan tentang kamu--satu dari banyak hal yang nggak aku tahu dari kamu.

"Aku ingin kamu mengerti." Jika aku nggak berkata seperti itu, mungkinkah kamu masih ada di sini? Aku perlahan menangis di antara sisa-sisa bau pahit dirimu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 20, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lampu KotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang