Memoir Kupu-Kupu Kertas

16 0 0
                                    



Yara masih saja sibuk melipat-lipat kertas origami yang kami beli tadi siang. Ia duduk menukuk di atas rerumputan halaman rumah kecil kami. Di sekelilingnya, origami berbentuk kelinci dan burung berhantaran. Esok umurnya akan menginjak 20 tahun. Entah kenapa, tingkah lakunya masih saja seperti anak-anak. Setiap pagi, kepalanya akan selalu terdongak ke langit, dan jari telunjuk kecilnya akan menunjuk-nunjuk samudra, sembari berteriak-teriak, "Kapan-kapan, ayo kita berenang sampai ke ujung langit! Kita cari harta karun!" lalu dia akan tersenyum dengan lebar, menunjukkan gigi-giginya yang tidak rapi dan mata daranya yang berbinar-binar

-----

Setiap minggu aku akan berangkat ke kota, membeli beberapa alat tulis dan kadang-kadang mengisi ulang tinta printer-ku. Dan Yara akan langsung berlari menuju ke kamarnya dan menggunakan daster biru kesukaannya, keluar rumah, dan melompat ke atas bak mobil pick-up ku. Aku sudah sering bilang untuk duduk di kursi penumpang di depan saja, lalu ia akan berceloteh kalau badanku bau dan dia lebih senang duduk dengan atap terbuka, menikmati hembusan angin barat dari laut, dan kadang-kadang memperhatikan ladang bunga milik tetangga kami.

Aku sudah memikirkan kado ulang-tahun untuknya, yang aku beli secara diam-diam ketika dia sedang berkeliling berjalan-jalan di area pertokoan karena kusuruh untuk mencari beberapa bahan makanan buat kami merayakan ulang tahunnya malam nanti. Kertas origami dan sebuah pita kecil berwarna merah yang kubungkus di dalam kotak kecil berwarna putih.

Sebelum kami berangkat pulang ke rumah, aku menaruh kado itu di atas bak belakang. Waktu aku bilang ada kado yang kutaruh di atas bak, dia langsung buru-buru loncat ke atas bak. Hampir saja sayur-mayur yang ia beli jatuh ke aspal, aku sempat menegur dan memarahinya sedikit, tapi dia sepertinya tidak mendengar dan langsung memakai pita merah yang aku belikan. Sepanjang perjalanan pulang, ia meloncat-loncat kegirangan di bak belakang, dan menari-menari di bawah terik matahari sore. Aku membiarkannya, dan memperlambat laju mobilku agar ia tidak terjatuh.

Sesampainya di rumah, ia buru-buru loncat dari bak mobil sembari mengangkat daster birunya hingga selutut, melepas alas kakinya dengan sembarangan, lalu duduk menukuk di atas rerumputan di halaman rumah dan menebarkan kertas-kertas origami. Hanya sibuk melipat-lipat kertas selama sejam penuh sampai sekarang ini.

Seusai menyelesaikan pekerjaanku, aku berjalan menghampirinya. Matanya sedang sibuk memilih-milih kertas origami yang berserakan. Seperti rambutnya yang awut-awutan setiap kali ditiup angin. Dan saat ini suaranya yang sopran sedang melantunkan nada-nada lagu yang biasa kami dengarkan setiap kali kami berkendara ke kota.

Saat aku sudah berjarak 5 meter darinya, ia menengok ke arahku dan tersenyum. Tangan kanannya kini memegang kertas origami berwarna merah, sedangkan tangan kirinya menunjuk-nunjuk pita merah di rambutnya. "Sekarang, poni Yara sudah nggak nutupin mata Yara lagi, berkat pita merah abang!" katanya, sembari tersenyum dan menunjukkan gigi-gigi yang tidak rapi itu lagi.

Aku hanya menjawabnya dengan senyum. Setiap kali aku melihat senyuman Yara, aku terkadang teringat pada pertemuan pertama kami. Pertemuan kami yang ditemani lampu remang-remang, asap rokok yang mengepul, dan turis-turis asing. Pertemuan kami di sebuah gang sempit, penuh dengan bau alkohol, dan orang-orang bertampang seram. Suara musik bercampur aduk dengan suara-suara tawa, terkadang suara-suara genit, dan orang-orang yang tawar-menawar.

---

Di sudut gang gelap itu aku bertemu Yara, tepat dua tahun yang lalu. Di depan sebuah tempat, aku tak tahu apa sebutannya. Bar? Wisma? Karaoke? Yang pasti di depan tempat itu, sama seperti rumah-rumah lain di gang itu, ada banyak perempuan berjejer dengan rok pendek, sepatu hak dan bibir yang berlipstik merah. Di paling ujung barisan perempuan itu, pasti akan ada satu orang setengah baya. Ada yang laki-laki berbadan besar dan berkumis, ada yang perempuan berkerut dengan make-up tebal, ada juga yang penampilannya biasa-biasa saja. Yang pasti mereka semua memiliki kemiripan, yakni hobi berteriak-teriak, seperti seorang pedagang pasar yang menawarkan barang dagangannya ke orang-orang yang lewat.

Lampu KotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang