Vanilla.

39 1 0
                                    


Vanilla. Wangi Vanilla masih melekat di selimut kamar tidurku. 3 hari telah berlalu, dan aku masih bisa merasakan wanginya yang samar di apartemen kecil ini.

Di dapur, aku pun merasakan aroma yang sama. Vanilla. Tercampur dengan wangi biji kopi yang baru saja diseduh air panas. Mungkin bila dicampur dengan wangi kayu manis, aku sudah siap untuk duduk menatap jendela. Memandang hujan yang tiba-tiba saja turun di awal bulan desember.

Dari lantai 2, aku hanya bisa memandang orang-orang yang sedang berlalu-lalang di depan. Berjalan buru-buru, dengan warna-warni payung yang memenuhi abu-abu trotoar jalan. Kubuka jendela dapur untuk mencari sedikit udara segar.

Aku muak dengan wangi vanilla ini. Tidak butuh waktu lama, sebelum udara masuk melalui celah-celah jendela. Meniup tengkuk, lalu menjalar ke rambutku. Sesekali wangi tanah dan hujan mengiringi tiupan angin yang lembut. Terkadang, aku mencium wangi sepatu yang basah dari genangan air yang berkilau memantulkan cahaya lampu jalan. Terkadang, wangi asap bus yang sedang melaju menembus hujan.

Semua terlalu sibuk untuk menatap hujan. Semua terlalu sibuk untuk berhenti sejenak, dan duduk. Lalu, minum segelas kopi yang hangat. Atau, mungkin menuliskan nama di jendela yang berembun. Semua ingin lekas pergi, seperti ada yang ingin segera ditinggalkan.

Aku menutup jendela, dan beranjak ke sofa untuk menonton televisi. Kurebahkan diriku di sofa coklat kecil selebar satu meter. Wangi vanilla bercampur dengan coklat mengerayangi tubuhku yang kedinginan. Seakan ada yang memeluk.

8 jam 32 menit. Telah aku habiskan hanya untuk duduk. Aku bisa tahu dengan tepat karena mataku tidak pernah lepas menghitung detik demi detik, jarum jam coklat yang aku pajang di tengah ruangan. Di setiap detiknya, aku berharap untuk tiba-tiba tertidur dengan lekas dan aku terbangun tanpa mengingat apa pun. Akan lebih baik kalau aku tiba-tiba mati begitu saja.

3 hari ini aku belum juga dapat tidur, karena di setiap kali aku memejamkan mata. Aku mencium wangi Vanilla yang bercampur wangi lain, entah mungkin aroma pakaian yang buru-buru dikemas dalam koper tua. Atau mungkin, aroma keringat dan air mata yang tercampur dalam sekaan lengan baju.

Aku beranjak dari sofa dan meregangkan kaki-kakiku. Lalu, berjalan menuju ke kamar untuk mengambil minum dan asbak yang telah kusimpan sejak 3 tahun yang lalu.

Kurang dari 5 menit, wangi Vanilla itu akan lekas hilang dan tersapu oleh wangi tembakau dan alkohol.

Lampu KotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang