Stasiun

22 0 0
                                    


Sudah 5 menit aku mondar-mandir di stasiun untuk mencari tempat duduk. Aku sudah terlalu lelah setelah berkerja lembur dan harus mengejar kereta malam yang akan berangkat pukul 02:00 dini hari ini.

Stasiun ini memang kecil, dan sepertinya memang dikhususkan untuk kereta ekonomi. Kelihatannya baru saja selesai direnovasi. Sistem komputer untuk parkir, membeli tiket, lantai yang dipoles berkilau dan beberapa TV berlayar lebar yang tergantung di ruang tunggu. Bangkunya pun telah didesain sedemikian rupa agar tidak ada penumpang yang berbaring di bangku ruang tunggu. Tetapi, para penumpang yang sudah terlalu lelah tetap saja tertidur dengan cara mereka sendiri. Aku melihat ada yang tertidur sambil duduk dengan jaket dan tas dalam pelukannya. Ada yang tertidur di lantai bersenderkan tiang, dan ada yang tertidur dengan menggunakan tasnya sebagai alas di lantai.

Aku merasa aku tidak perlu protes, layaknya orang-orang sekarang di media-sosial: "Liat orang yang nggak taat aturan!" "Liat nih ampe tiduran di lantai," dll. Mereka hanya lelah, dan begitu juga aku. Entah apa yang telah mereka jalani hanya supaya bisa membayar tiket kereta untuk pulang kampung. Mungkin bertemu anak mereka yang sudah bertahun-tahun tidak pernah bertemu.

Pada akhirnya, aku memilih untuk duduk di pintu stasiun untuk mencari sedikit udara segar dan memandang langit-langit malam. Mama selalu bilang, setiap kali aku merasa sedih, aku hanya perlu menatap bintang. Ketika aku kecil, yang aku mengerti ialah bintang-bintang itu cantik, dan melihat hal-hal yang cantik seperti bintang bisa membuat aku sedikit lebih bahagia. Mama selalu bilang, "Lia, kamu itu cantik seperti bintang. Kamu terlahir dari bintang dan ketika kamu nanti telah tiada, kamu akan terlahir kembali menjadi bintang." Aku mengusap mata dan pipiku yang tiba-tiba basah. Mama, apakah Mama sedang melihat aku sekarang? Apakah Mama bangga atau sebaliknya?

Semakin aku dewasa, semakin aku percaya dengan kata-kata Mama. Bahwasannya, alam semesta ini terlalu luas. Begitu juga Bumi. Masalah yang aku miliki hanyalah kilauan kecil yang redup dengan cepat di butiran debu yang kita panggil Rumah ini.

Renungan ini membuat aku semakin yakin untuk pulang, dan meminta maaf ke Papa dan adikku Riana. Dan, Mungkin juga untuk meminta maaf ke Mama. Aku membuka pesan-pesan singkat yang dikirim oleh Mama beberapa tahun yang lalu.

"Lia, kapan pulang? Papa pasti sudah lupa dengan masalah kemarin. Pulanglah."

"Lia. Mama sudah kangen dengan kamu."

"Lia, pulang."

Aku mengusap wajahku. Sejak kepergian Mama 3 tahun yang lalu, aku semakin takut untuk pulang. Sudah tidak ada Mama lagi yang akan membelaku dari Papa, dan Riana sendiri hanyalah seorang gadis pendiam. Aku bahkan tidak berani melihat wajah Mama yang sudah meninggal, dan entah apakah aku cukup kuat untuk berkunjung ke kuburannya.

Untuk kali ini, aku harus memberanikan diriku untuk pulang. Untuk apa aku berlari terus selama bertahun-tahun? Apa yang aku takuti sampai-sampai aku harus berlari?

Sayup-sayup suara peluit kereta dari kejauhan terdengar. Aku beranjak dari tempat duduk dan bergegas berjalan ke dalam. Orang-orang yang tadi tertidur di stasiun telah bangun dan mulai mengemas barang-barang mereka.

Kereta berwarna putih dengan 9 gerbong. Di sisi kirinya terdapat garis-garis berwarna oranye dan biru serta nama Kereta yang tertulis dengan besar berwarna merah. Aku membandingkan nama Kereta dengan nama di tiket yang aku buru-buru beli tadi siang. Nama yang aneh untuk sebuah nama Kereta.

Belum juga pintu kereta terbuka, Handphone-ku tiba-tiba berbunyi. Panggilan masuk dari Rania. Kenapa? Jarang sekali ia menghubungiku. Bahkan aku tidak tahu apakah aku dan Rania bisa dikatakan kakak-adik.
"Iya, Rania?"

"Kak, Papa..."

-------------------------------------------------------

Semua orang di stasiun memandangku yang tiba-tiba berlari ke luar stasiun, dengan wajah yang basah. Mau lari kemana lagi aku?

Lampu KotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang