3

275 52 6
                                    

(Name) membuka matanya, langit yang menampilkan cahaya senja adalah yang ia lihat setelah membuka matanya.

Entah kenapa badannya terasa lemas, dengan napas yang sedikit tersengal dan keringat dingin yang membasahi tubuhnya.

Mata (Name) menengok kesana kemari mencari kakaknya.

(Name) ingin memanggil Izumi, namun tenggorokannya tidak bisa mengeluarkan suara apapun.

'Apakah aku sedang sakit?'

Beruntung Izumi datang, dengan handuk di kepalanya ia menatap adiknya yang sudah menatap penuh harap padanya.

"Hei, kau kenapa?" tanyanya mendekati (Name).

Karena tidak bisa mengucapkan apa-apa, gadis kecil itu memegang tangan Izumi dan meletakkannya di dahinya.

Hawa panas terasa begitu tangan Izumi menempel. Ia menatap sedikit kaget dan mengalihkan tangannya ke leher (Name).

"Sebentar, aku panggilkan Mama," ucap Izumi kecil yang berlari keluar.

(Name) hanya bisa terdiam menahannya di atas kasur. Jika dia sedikit lebih besar, pasti efek demam tidak sampai seperti ini.

'... kenapa bisa demam, ya?'

Jawaban itu belum terjawab ketika ibu beserta Izumi sudah masuk ke dalam dengan raut khawatir.

Ibunya mengecek suhunya menggunakan termometer.

"Berapa, Ma?"

"Tiga puluh sembilan derajat celcius, tolong jaga dulu ya, Mama mau mengambil kompres."

Izumi mengangguk paham. Dia menyelimuti adiknya dengan selimut hangat.

Tangan kecilnya mengelus-elus kepala adiknya dengan lembut. Membuat (Name) yang lemas tambah lemas.

Bayangkan saja dipat-pat seorang Izumi Sena dengan wujud anak-anaknya.

Jika saja dia sedang sehat, dia pasti akan langsung memeluk Izumi gemas dan mengunyel-unyel pipinya.

Izumi yang melihat wajah (Name) yang semakin tidak mengenakkan malah menjadi lebih khawatir, "ada yang sakit, kah?"

(Name) menarik selimut dan menggeleng pelan.

Pintu kembali terbuka, sang ibu datang dengan kompresan dan sedikit makanan, "(Name), buka dulu selimutnya sebentar, ya?"

Ia menurut. Kompres yang hangat dapat ia rasakan di dahinya, ibunya sudah bersiap untuk memasukkan sesendok makanan ke mulut (Name).

Tapi gadis itu menggeleng pelan. Nafsu makannya tidak ada sama sekali, padahal sebenarnya ia suka dengan makanan yang ibunya bawakan.

"Makan sedikit saja."

"Nda mau."

"Makan atau kau tidak boleh main denganku lagi."

(Name) menatap Izumi yang sedang mengancamnya kemudian dengan cepat membuka mulutnya lebar-lebar.

Mata biru laut yang berkaca-kaca, lagi-lagi ini bukan perintah dari otak melainkan respon dari tubuhnya.

"... nda enyak, Ma."

Ibu yang melihatnya langsung meletakkan makanan itu menjauh, "aduh, duh sayangku~ Sini, sini."

Ibu menggendong (Name) dan menepuk-nepuk punggungnya untuk menenangkannya.

"Sakit, ya? Tapi kalau mau sembuh (Name) harus makan, tiga sendok saja, ya?"

"Tapi nda enyak Ma ... pahit."

Dengan segala bujukan, (Name) akhirnya menyerah dan makan sesuai yang diinginkan.

Gadis itu tertidur pulas setelah meminum obat. Dengan perlahan ibunya meletakkan tubuhnya di kasur dan memberinya selimut yang cukup tebal.

"Izumi, (Name) sepertinya akan flu, mau tidur bersama Papa dulu supaya tidak tertular?" tanyanya berbisik pada Izumi.

Dengan ragu-ragu ia menatap (Name) yang masih meringkuk karena demam dan beralih pada ibunya.

Kepala Izumi menggeleng kecil, menolak tawaran itu.

"Eh? Tapi nanti kalau ketularan bagaimana?"

"Tidak apa-apa, nanti dia malah menangis jika tidak ada aku, aku kan kakak yang baik."

Ibunya tersenyum melihat anaknya. Bagaimana bisa dia mempunyai anak yang tidak mau berterus terang, sih?

"Terserah Izumi, tapi Izumi harus minum vitamin ya selama (Name) masih sakit?"

"Oke, Ma."

Jam sudah menunjukkan pukul setengah 9, waktunya tidur nyenyak setelah hari yang cukup panjang berlalu.

Ibunya mengecup dahi Izumi dan mengelus lembut surai abu-abu miliknya.

"Selamat malam, sayang." Ibunya menutup pintu kamar, meninggalkan kedua anaknya.

Anak bersurai abu-abu itu naik keatas kasur dan menempatkan dirinya di sebelah (Name) yang tertidur pulas.

Mata yang menatap tersirat rasa khawatir. Namun ia mencoba mengalihkan fokusnya dan mulai berusaha untuk tidur.

Hampir saja berada di alam bawah sadar, ia membuka matanya kembali.

Di sebelahnya (Name) bergerak gelisah, mengeratkan selimut yang ia pakai seakan-akan itu tidak cukup tebal untuknya.

Tangan Izumi kecil terangkat lembut, "tidak apa-apa, ada Kakak di sini," bisiknya.

Perlahan Izumi memeluk (Name) erat sembari menepuk-nepuk punggung (Name) berharap kehangatannya membuat adiknya tenang kembali.

→•←•→•←

Pagi hari datang. Izumi terbangun masih dalam posisi memeluk adiknya.

Tangan ia tempelkan pada dahi (Name), "masih demam walau tidak sepanas kemarin."

Wajah adiknya cukup pucat, ia memanggil orang tuanya untuk mengecek kondisi (Name) lebih lanjut.

Selama beberapa hari (Name) demam tinggi. Setiap saat yang bisa ia lakukan hanyalah menangis dan menangis.

(Name) sempat berpikir jika ini bukan demam, namun ia tidak punya ide lain apa yang sedang ia alami.

Dan benar, ketika (Name) sakit ia kembali bermimpi. Tempat yang sama seperti sebelumnya, tetapi sesuatu terlukis perlahan di hadapannya.

Kesempatan besar tanpa pengorbanan akan sesuatu hanyalah khayalan semata.

Jiwa adalah kelebihanmu, raga adalah pengorbananmu.’


Tak butuh waktu lama bagi (Name) untuk memahaminya. Kesempatan lahir untuk kedua kalinya membutuhkan imbalan.

Dan imbalan tersebut adalah fisiknya. Fisik yang tak terlalu sehat dan mudah merasakan rasa sakit.

(Name) bersyukur tidak sampai sakit parah.

'Tapi, kenapa baru muncul sekarang?'

→To be continue←

HELLOOOOOOOO! Aku sebenernya malu nge post book ini dan lanjutin chapter-chapternya. Aku takut kalo ceritanya malah jadi cringe dan ga masuk akal, penulisanku juga kurang di sana sini. (。•́︿•̀。)

But I hope y'all enjoy this book, thank you for reading!

𝔸𝕣𝕦𝕟𝕚𝕜𝕒 | 𝐈𝐳𝐮𝐦𝐢 𝐒𝐞𝐧𝐚 𝐟𝐭.𝐥𝐢𝐭𝐭𝐥𝐞 𝐬𝐢𝐬𝐭𝐞𝐫!𝐫𝐞𝐚𝐝𝐞𝐫Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang